UJIAN NASIONAL; Standardisasi UN 2010-2011

Oleh Mohammad Cahya, (Anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat/Ketua SDM MGMP Bahasa Indonesia Bandung Timur)

KOMPAS.com - Pada pengujung 2010 ini, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) menegaskan tetap mempertahankan standardisasi ujian nasional (UN). Hal ini bisa kita lihat dari langkah Kemendiknas yang sedang melakukan pendataan peserta UN 2010-2011 di tiap-tiap provinsi di Indonesia. Apabila kita runut ke belakang, awal penyelenggaraan UN oleh pemerintah (dulu Depdiknas) bertujuan mengetahui mutu pendidikan di Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, pemerintah (Depdiknas kala itu), melalui, misalnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 45 Tahun 2006 yang salah satu isinya mengatur batas kelulusan minimal peserta didik 5,00, UN akhirnya berperan sebagai penentu kelulusan peserta didik di setiap satuan pendidikan yang melaksanakan UN. Hal tersebut bertolak belakang dengan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 59 Ayat (1) yang berbunyi: ”Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.” Maka, tidak perlu heran jika timbul ketidaksetujuan dari pihak pendidik, peserta didik, termasuk orangtua peserta didik, dan LSM, terhadap kelulusan peserta didik yang ditentukan pemerintah. Tidak hanya masyarakat yang tidak setuju dengan adanya aturan penentuan kelulusan tersebut. Pada Desember 2007, Komisi X DPR 2004-2009 turut memperjuangkan aspirasi ketidaksetujuan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan UN. Namun, suara DPR kalah dari suara pemerintah sehingga terselenggaralah UN di jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Dari empat kali penyelenggaraan UN (2007, 2008, 2009, dan 2010), semua pembiayaan ditanggung pemerintah. Bahkan, rambu-rambu bahan soal UN pun oleh pemerintah disosialisasikan dengan sangat gencar ke seluruh sekolah di Indonesia. Namun, dari empat kali penyelenggaraan UN, didapat hasil fenomenal yang menimpa Provinsi Nusa Tenggara Timur, yakni tingkat kelulusan peserta didik selalu berada di posisi paling bawah. Hal ini tentu saja harus menjadi bahan renungan Kemendiknas untuk menemukan cara yang tepat bagi kebermutuan pendidikan, khususnya di provinsi-provinsi yang jauh dari pusat, termasuk NTT, dan umumnya di seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, penyelenggaraan UN 2009-2010 tercatat juga berbeda dengan UN tahun-tahun sebelumnya, yakni ada pemberlakuan UN susulan bagi peserta didik yang belum lulus.

Dampak UN

Kalangan peserta didik, termasuk orangtua peserta didik, menyatakan tidak setuju dengan diberlakukannya aturan nilai yang diterapkan bagi peserta didik berkategori belum lulus. Aturan itu berbunyi: ”Nilai tertinggi akan diambil sebagai nilai yang tertera di surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) dan peserta didik yang ber- kategori belum lulus bisa memperbaiki nilai yang kurang dari 6,00 menjadi nilai yang baru.” Berdasarkan aturan, nilai peserta didik yang berkategori lulus tidak tertutup kemungkinan bisa dikalahkan oleh nilai peserta didik yang berkategori (awalnya) belum lulus. Selain itu, kalangan pendidik yang mengajar kelas VII dan VIII juga merasakan adanya ketidakadilan pelaksanaan tugas mengajar (selama satu tahun) jika dibandingkan dengan pendidik yang mengajar kelas IX. Mengapa demikian? Ini karena kalender pendidikan 2009-2010 memuat rentang waktu proses belajar-mengajar (PBM) kelas VII dan VIII selama satu tahun diawali dari 13 Juli sampai dengan 19 Juni. PBM kelas IX selama satu tahun diawali dari 13 Juli sampai dengan 27 Maret. Hal ini berarti, waktu pelaksanaan tugas mengajar (selama satu tahun) pendidik yang mengajar kelas VII dan kelas VIII sekitar 12 bulan. Waktu pelaksanaan tugas mengajar (selama satu tahun) pendidik yang mengajar kelas IX sekitar 10 bulan. Pertanyaan yang timbul dari kenyataan di atas adalah apakah pendidik kelas IX, yang dua bulan kekurangan tugas mengajar, tidak digaji? Tentu saja tidak demikian alias digaji.

Solusi standardisasi UN

Adanya pernyataan ketidaksetujuan dan perasaan ketidakadilan (kecemburuan sosial), seperti dikemukakan di atas, menandakan bahwa penyelenggaraan UN 2009-2010 rentan terhadap dampak yang bersifat negatif. Bagaimana sikap kita agar dampak negatif dari UN hilang?

Tentu saja kita harus segera mengambil tiga sikap. Pertama, perimbangan tugas, yaitu adanya kesetaraan tugas antara Kemendiknas dan pendidik. Untuk itu, ujian terhadap peserta didik oleh pemerintah (Kemendiknas) silakan terus dilaksanakan asalkan penentuan kelulusannya ditentukan pendidik. Selanjutnya, Kemendiknas boleh menentukan kelulusan peserta didik dalam rangka penjaringan untuk masuk seleksi sekolah negeri. Kedua, kebijakan efektif. Apa pun nama pengganti UN ke depan, yang jelas penulis berharap kebijakan yang dibuat pemerintah (Kemendiknas) adalah kebijakan yang benar-benar bermuara pada kecerdasan komprehensif peserta didik. Contohnya, kebijakan tentang kriteria kelulusan peserta didik yang di dalamnya memadukan penilaian akademis, penilaian karakter atau akhlak mulia, dan penilaian absensi peserta didik. Ketiga, kalender pendidikan berkeadilan yang dibuat pemerintah (Kemendiknas) akan meminimalisasi kesenjangan rentang waktu antara PBM kelas VII dan VIII dan PBM kelas IX. Sebagai contoh, Kemendiknas membuat kalender pendidikan yang hari efektif belajar bagi peserta didik kelas VII, VIII, IX, X, XI, dan XII berjumlah sama. Dengan adanya tiga sikap di atas, penulis yakin bahwa dunia pendidikan Indonesia di era Reformasi sekarang ini akan bangkit, sekaligus menampakkan wajah baru nan cantik dan menarik serta senantiasa diberkati Tuhan Yang Maha Esa. Penulis berharap tiga sikap ini dapat menjadi poin-poin penting dari kebijakan yang diambil pemerintah (Kemendiknas).

Sumber: Kompas.com, Kamis, 23 Desember 2010

Segitiga Pengaman Cegah HIV/AIDS

Oleh: IRWAN JULIANTO

Akhir tahun 1991, kota Surabaya dihebohkan oleh berita seorang perempuan pekerja seks komersial (PSK) di kompleks pelacuran Dolly dinyatakan HIV positif. Akibatnya, kompleks pelacuran itu jadi sepi. Susahnya, si perempuan PSK itu sudah pindah dari Dolly. Setelah ia ditemukan di kompleks pelacuran lain di selatan Surabaya, ia pun ”diamankan” di Markas Koramil Sawahan sebagai ”titipan” Camat Sawahan agar bisnis jasa seks di Dolly berjalan seperti biasa lagi. Ada persepsi yang salah bahwa si PSK yang malang itu adalah sumber penularan HIV/ AIDS, padahal ia justru korban yang ”tertular” oleh para pelanggan mereka yang enggan menggunakan kondom. Pada gilirannya mereka kemudian memang menularkan HIV kepada pelanggan lainnya yang juga enggan menggunakan kondom. Dan pelanggan lainnya itu, ketika berhubungan seks dengan istrinya, si istri pun ikut tertular. Jika si istri hamil, maka akan menulari sang janin. Saat ini sudah ribuan kaum ibu yang tak pernah berselingkuh dan ribuan pula bayi yang lahir di Indonesia terinfeksi HIV. Semua ini terjadi karena kampanye penggunaan kondom terkendala oleh sikap puritan sebagian masyarakat yang memandang bahwa mempromosikan penggunaan kondom untuk pencegahan AIDS itu sama dengan mempromosikan perzinaan dan seks bebas. Hingga kini hampir semua stasiun TV di Indonesia enggan menyiarkan iklan layanan masyarakat (ILM) tentang perlunya penggunaan kondom bagi para pria yang doyan ”jajan”. Mereka mungkin masih trauma ketika ILM kondom dengan penyanyi Harry Roesli diprotes dan dituntut untuk dihentikan penayangannya.

Sudah tahap matang

Fenomena ribuan kaum ibu dan bayi di Indonesia tertular HIV menunjukkan epidemi AIDS di negeri ini sudah mencapai tahap matang, terutama memang terkonsentrasi di beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Papua, dan Papua Barat. Menurut dr Nafsiah Mboi, SpA MPH, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS, yang memicu penularan HIV di Indonesia adalah 3,1 juta pria dewasa yang membeli jasa seks komersial dari sekitar 230.000 perempuan PSK. Situasi ini mengancam 1,6 juta perempuan yang telah menikah. Data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS di kalangan perempuan di Indonesia hingga akhir Desember 2009 menunjukkan rekor tertinggi dipegang oleh ibu rumah tangga (sebanyak 1.970 kasus), sementara hanya 604 kasus pada penjaja seks. Kaum pria yang biasa membeli jasa seks komersial sesungguhnya adalah ”jembatan” (bridge) dalam jejaring atau mata rantai penularan HIV, bukan para perempuan PSK yang lebih statis dan pasif. Di sinilah peran sentral kaum pria, apakah mereka mau atau enggan melindungi diri sendiri dengan perilaku seks aman, termasuk memakai kondom jika berhubungan seks tak aman. Mengapa kondom yang sebenarnya secara internasional diakui sebagai sarana paling ampuh untuk membendung penularan HIV lewat hubungan seks justru kurang populer di Indonesia? Selain kampanye kondom masih dituding sebagai promosi seks bebas dan mitos kondom berpori, amat rendahnya kebiasaan (habitus) menggunakan kondom di Indonesia juga merupakan kesalahan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia yang memarginalkan peran kaum pria. Akibatnya, penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi hanya kurang dari 1 persen.

Penutupan satu demi satu lokalisasi pelacuran secara tidak langsung juga mempersulit penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Kramat Tunggak di Jakarta misalnya ditutup tahun 1999. Tersiar kabar, Dolly pun bakal mengikuti jejak Kramat Tunggak. Razia terhadap para perempuan PSK juga marak terjadi di mana-mana. Pelacuran sebagai ”profesi” tertua di muka Bumi akan selalu liat. Ditutup dan dirazia di suatu tempat, maka akan bermunculan di tempat-tempat lain. Semuanya mengikuti hukum supply and demand (penawaran dan permintaan). Selama demand hajat seks kaum pria masih tinggi, maka supply akan selalu mengimbanginya. Terbukti dengan ditutupnya Kramat Tunggak, lokasi pelacuran pun pindah ke kafé-kafé di jalan besar yang tak jauh dari Kramat Tunggak. Menyambut Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada hari ini, kiranya perlu dipikirkan bagaimana kita tidak mempertentangkan lagi pendekatan moral dan hukum di satu pihak dengan pendekatan kesehatan masyarakat di pihak lain. Pendekatan moral lazim berkaitan dengan upaya mengampanyekan hubungan seks yang ”halal” (hanya antara suami-istri yang sah). Misalnya kampanye ”Katakan Tidak untuk Seks di Luar Nikah” yang merupakan bentuk demand reduction (untuk seks komersial yang tidak ”halal”). Namun, tak bisa dimungkiri kenyataan, sereligius apa pun suatu bangsa, tetap saja sekitar 20 persen kaum pria dewasanya melakukan hubungan seks bukan dengan pasangan tetap atau istri mereka.

Pendekatan hukum nyata dalam bentuk penutupan lokalisasi pelacuran dan razia para PSK, yang merupakan bentuk supply reduction. Padahal, praktik prostitusi mustahil hanya dibendung di hilir jika tidak digarap di hulunya, yaitu kemiskinan di perkotaan/pedesaan yang jadi pemasok para PSK. Selama masih cukup banyak kaum pria ”jajan” dan sulit memberantas prostitusi, penggunaan kondom adalah upaya mengurangi kemudaratan (harm reduction), terutama bagi kaum pria yang tak bisa membendung hajat seksual mereka. Seyogianya pendekatan hukum (supply reduction) dan moral (demand reduction) dalam penanggulangan AIDS di Indonesia tidaklah perlu dipertentangkan dengan pendekatan kesehatan masyarakat (harm reduction). Idealnya, ketiga pendekatan ini dipadukan menjadi ”Segitiga Pengaman”. Penganut dua pendekatan pertama tak boleh merasa pendekatan mereka yang paling benar dan memojokkan pendekatan ketiga. Sayangnya, pendekatan kesehatan masyarakat masih menjadi anak tiri di Indonesia. Akankah kita biarkan makin banyak ibu rumah tangga dan bayi-bayi tertular HIV?

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Desember 2010

Target Penanggulangan AIDS 2015

Oleh: Nafsiah Mboi, (Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS)

Sepuluh tahun lalu kita berkomitmen mencapai target pembangunan milenium di tahun 2015. Penanggulangan AIDS adalah salah satu komitmen pembangunan milenium dengan target sangat jelas. Kita berjanji menghentikan infeksi baru HIV dan mengurangi laju epidemi AIDS. Seiring dengan perkembangan epidemi AIDS, saat ini kita berhasil mengurangi tingkat kematian karena AIDS. Pemerintah dengan dana domestik dan luar negeri berhasil memberikan pengobatan ARV bagi yang membutuhkan. Laporan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, tingkat kematian akibat AIDS dapat ditekan dari 46 persen di tahun 2006 menjadi 17 persen di tahun 2008. Tahun ini terdapat 789 tempat layanan tes dan konseling HIV dan 259 tempat layanan pengobatan ARV di rumah sakit maupun puskesmas, dan akan dikembangkan masing-masing jadi 872 dan 296 lokasi layanan pada tahun 2014. Tingkat penularan HIV melalui penggunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif (NPZA) suntik telah berkurang. Dalam lima tahun terakhir program pencegahan HIV di kalangan pengguna NPZA suntik yang dilaksanakan di puskesmas di sejumlah daerah telah membuka layanan alat suntik steril. Terjadi perkembangan positif pada kelompok ini. Berbagai penggunaan alat suntik menurun dari 44 persen ke 19 persen di tahun 2009. Fasilitas layanan rumatan metadon telah tersedia. Metadon yang diminum bertujuan menggantikan suntikan yang amat berisiko. Saat ini terdapat 60 fasilitas layanan kesehatan yang menyediakan terapi rumatan metadon di Indonesia dan akan dikembangkan menjadi 131 layanan di tahun 2014. Penularan HIV melalui hubungan seks berisiko terbukti dapat efektif dihentikan dengan penggunaan kondom secara konsisten. Karena itu, penggunaan kondom jadi salah satu indikator utama pencapaian pembangunan milenium untuk AIDS. Hal ini tertuang dalam Inpres No 3/2010.

Masih rendah

Sayangnya, tingkat penggunaan kondom masih rendah. Kebanyakan laki-laki pembeli seks tak mau pakai kondom walau sudah ditawarkan. Bahkan, telah dilaporkan temuan infeksi HIV baru pada ibu rumah tangga yang tertular dari suami yang melakukan hubungan seks berisiko tanpa menggunakan kondom. Kurangnya informasi dan pendidikan kesehatan seks untuk masyarakat umum mengakibatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kondom sebagai alat pelindung dari IMS dan HIV sangat rendah. Jika serius berkeinginan mencapai target pembangunan milenium, kita harus giatkan promosi kesehatan seks dan pencegahan HIV di masyarakat. Target itu tak akan tercapai dengan penutupan lokalisasi dan kriminalisasi pekerja seks. Kedua hal itu tak menghentikan terjadinya infeksi baru HIV atau menjerakan perilaku berisiko. Kedua hal itu hanya akan menyebabkan pekerja seks dan pelanggannya tersebar di lingkungan masyarakat sehingga menyulitkan program penjangkauan dan pencegahan HIV. Di tempat terjadi kriminalisasi pencandu NPZA, hukuman dan pemenjaraan tak menghentikan infeksi HIV baru. Penjara dapat jadi tempat penyebaran infeksi HIV yang baru. Sebuah lapas narkotik melaporkan: prevalensi HIV meningkat dari nol persen di tahun 1999 menjadi 25 persen di tahun 2002. Tanpa program pencegahan memadai di lapas dan rutan, infeksi baru HIV akan meningkat. Saat ini upaya pencegahan HIV di lapas dan rutan telah mengurangi angka kematian akibat AIDS dari 798 di tahun 2005 menjadi 285 di tahun 2009.

Tanggung jawab bersama

Negara menjamin dan melindungi hak warga negara mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak. Namun, pada akhirnya upaya penanggulangan HIV dan AIDS bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Seluruh lapisan masyarakat terlibat aktif menciptakan lingkungan kondusif bagi upaya penanggulangan. Pelibatan dan pemberdayaan populasi kunci dan jaringannya, bersama anggota masyarakat lain, terbukti berdampak positif pada upaya penanggulangan AIDS Di Indonesia. Sinergi pemerintah, masyarakat, dan jaringan populasi kunci mampu mendekatkan kita pada upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang efektif dan tepat sasaran. Karena itu, kita butuh lingkungan masyarakat yang saling menghargai dan bebas stigma-diskriminasi, lingkungan yang memberi informasi yang benar tentang penularan, pencegahan, dan pengobatan HIV yang dapat melindungi anak bangsa dari dampak HIV dan AIDS. Generasi muda perlu mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan seks, hubungan seks berisiko, dan NPZA. Namun, survei terakhir untuk tahu tingkat pengetahuan dasar HIV di kalangan usia 15-24 tahun: hanya sekitar 14 persen yang berpengetahuan dasar HIV yang komprehensif. Sedangkan komitmen pembangunan milenium 2015 menargetkan setidaknya 90 persen remaja Indonesia berpengetahuan dasar HIV komprehensif. Maukah kita mewujudkannya?

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Desember 2010

Hendarman Jakgung Ilegal?

Oleh M. Hadi Shubhan

KEABSAHAN jabatan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung dipersoalkan Yusril Ihza Mahendra. Yusril mempermasalahkan keabsahan Hendarman sebagai jaksa agung karena dilatarbelakangi penetapannya sebagai tersangka korupsi Sisminbakum oleh jaksa agung. Polemik ini menarik perhatian publik karena Yusril adalah (mantan) guru besar hukum tata negara dari universitas paling terkemuka di republik ini yang dianggap menguasai konsep dan konstruk hukum sekaligus mantan menteri sekretaris negara yang dianggap mengetahui liku-liku administrasi hukum di lingkungan istana. Perang urat saraf antara Hendarman yang didukung Sudi Silalahi selaku Mensesneg melawan Yusril terjadi sedemikian sengit (Jawa Pos, 3-6 Juli 2010). Perkembangan terakhir, Yusril menyambut tantangan jaksa agung dengan mengajukan permohonan pengujian UU Kejaksaaan ke Mahkamah Konstitusi (Jawa Pos, 7 Juli 2010). Yusril berpendapat bahwa Hendarman tidak sah menjabat jaksa agung karena dulu diangkat bersama-sama dengan beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu (jilid I) sehingga otomatis harus berhenti bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan kabinet tersebut. Menurut Yusril, jika Hendarman hendak meneruskan jabatannya sebagai jaksa agung, harus ada keppres pengangkatan serta pelantikan lagi. Faktanya tidak ada. Menurut Yusril, karena jabatan yang disandang Hendarman tidak sah, tindakan Hendarman yang dilakukan sejak 21 Oktober 2009 adalah tidak sah, termasuk tindakan menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus Sisminbakum.

Permasalahan legalitas Hendarman sebagai jaksa agung ini harus dikaji secara komprehensif dengan menelaah berbagai peraturan dan keputusan yang ada. Peraturan yang perlu dikaji antara lain UU No 38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Keputusan yang juga harus dicermati adalah Keppres No 31/P Tahun 2007 yang berisi, antara lain, pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung, Keppres 187/M Tahun 2004 yang berisi pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu (jilid I), dan Keppres No 84/P Tahun 2009 yang berisi pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Menurut UU Kementerian Negara, kedudukan jaksa agung sama sekali tidak diatur di dalamnya. Dalam UU Kementerian Negara tersebut tidak terdapat norma yang menyatakan bahwa jaksa agung disetarakan dengan jabatan menteri. Dengan demikian, jaksa agung bukanlah unsur dari suatu kabinet kementerian. Demikian pula dalam UU Kejaksaan RI tidak disinggung kedudukan jaksa agung terhadap kementerian. Hal ini perlu dikaji karena berkaitan dengan masa jabatan kabinet menteri dan masa jabatan jaksa agung. Jabatan kabinet menteri adalah periodisasi lima tahunan sesuai dengan jabatan presiden. Dalam Keppres No 84/P Tahun 2009 yang membentuk KIB II juga ditegaskan bahwa KIB II adalah periode 2010-2015. Konsekuensi lebih lanjut dari jabatan kabinet menteri dalam periodisasi tersebut adalah secara otomatis habis ketika periode tersebut habis tanpa perlu ada pencabutan keppres yang membentuknya.

Sedangkan jabatan jaksa agung, menurut UU Kejaksaan, adalah bukan periodisasi. Demikian pula dalam Keppres No 31/P Tahun 2007 yang di dalamnya terdapat pengangkatan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung, sama sekali tidak terdapat diktum yang menyatakan masa berakhirnya jaksa agung. Keppres pengangkatan ini hanya terdiri atas tiga diktum. Diktum pertama, memberhentikan beberapa pejabat, termasuk memberhentikan Abdul Rahman Saleh, dari jaksa agung. Diktum kedua, mengangkat beberapa pejabat, termasuk pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung. Diktum ketiga tentang pemberlakuan keppres sejak tanggal ditetapkan. Dengan demikian, jabatan yang disandang Hendarman Supandji saat ini tetap sah dan oleh karena itu termasuk legal. Juga terdapat asas contrarius actus. Asas ini bermakna bahwa pejabat yang mengeluarkan suatu keputusan, berwenang pula mencabutnya. Asas ini tecermin juga dalam pasal 19 ayat (1) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyatakan bahwa jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Keppres yang mengangkat Hendarman Supandji sebagai jaksa agung belum dicabut oleh presiden. Keppres tersebut tidak pula memiliki batasan masa jabatan. Keppres ini juga tidak pernah dibatalkan oleh pengadilan. Karena itu, keppres pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung masih sah dan mengikat.

Dalam hukum administrasi negara juga terdapat asas presumptio iustea causa, yang mengandung makna asas praduga bahwa tindakan pejabat dianggap benar sampai ada pembatalan. Semua tindakan hukum yang dilakukan Hendarman sebagai jaksa agung, tentu harus tetap dianggap sah sampai ada keppres pemberhentian atau ada pembatalan oleh pengadilan. Asas presumptio iustea causa tersebut lahir karena ada asas bahwa tindakan pejabat dianggap sah (rechtmatigheid). Asas ini diperlukan untuk memberikan suatu kepastian hukum terhadap semua tindakan yang dilakukan pejabat. Tindakan pejabat sah meski hal tersebut dipermasalahkan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Asas ini lahir karena adanya kebutuhan akan keberlangsungan kebijakan dan tindakan yang dilakukan pejabat. Dapat dibayangkan jika tindakan pejabat harus berhenti karena ada gugatan ke pengadilan, akan berhentilah semua roda pemerintahan ini dan pasti terjadi suatu kekacauan pemerintahan. Untuk menyudahi polemik ini, terdapat jalan keluar yang sangat simpel. Jika keabsahan Hendarman sebagai jaksa agung dianggap masuk wilayah syubhat (perkara yang samar-samar), jalan keluar itu berupa penerbitan keppres yang mengangkat Hendarman sebagai jaksa agung serta keppres ini mempunyai daya laku surut sejak 21 Oktober 2009. Namun, sebenarnya keppres ini tidak perlu karena overbodig (berlebihan pengaturan). Tanpa itu, legalitas Hendarman sebagai jaksa agung tidak diragukan lagi. Tapi, hal ini mungkin diperlukan untuk memuaskan seorang Yusril.

*) M. Hadi Shubhan , doktor ilmu hukum, dosen mata kuliah Sengketa Pemerintahan Fakultas Hukum dan Sekretaris Universitas Airlangga.

Sumber: Jawapos, Jum'at, 09 Juli 2010

Rapor Biru Kredit Perbankan

Oleh Agus Suman

TABURAN kredit perbankan sampai pertengahan tahun ini mengabarkan berita positif. Bahkan, pada pekan-pekan akhir menjelang ujung semester I/2010, keran kredit menyembur cukup kencang. Sepanjang sepekan saja, kredit dengan mata uang rupiah berhasil digenjot hingga Rp 10,91 triliun. Memang, kredit dengan valas melorot hingga hanya Rp 2,09 triliun. Tapi, bila dihitung, total kucuran kredit perbankan hingga akhir semester I/2010 meningkat Rp 239,88 triliun bila disandingkan tahun lalu atau mencapai Rp 1.545,45 triliun. Ada pun secara year-to-date (YtD) atau mulai periode awal Januari hingga Juni 2010, pertumbuhan kredit perbankan tercatat mencapai Rp 115,25 triliun atau naik 8,06 persen. Bandingkan dengan tahun lalu. Sepanjang Januari-September 2009, kredit yang mengucur hanya Rp 46,2 triliun. Bahkan, posisi total kredit pada akhir kuartal III/2009 hanya sekitar Rp 1.353,9 triliun. Memang, kecemasan sempat menghadang pada awal warsa 2010 ini. Pada Januari tersebut, kredit perbankan sempat melorot menjadi Rp 1.405,64 triliun atau turun sekitar Rp 31,7 triliun dari akhir 2009 yang mencapai Rp1.437,93 triliun. Tapi, memasuki kuartal II/2010, pertumbuhan kredit mulai merangkak. Tercatat pada April 2010, total kredit yang sudah disalurkan bank mencapai Rp 1.446,9 triliun. Tentu, angka tersebut meningkat sekitar 1,17 persen jika dibanding posisi pada akhir 2009 tersebut.

Melihat performa kredit perbankan saat ini, pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang pemerintah pada kisaran 5,8 persen terasa ringan. Sebab, jika pertumbuhan kinerja kredit perbankan dipertahankan seperti saat ini, pencapaian pertumbuhan kredit 30 persen tahun ini menjadi kenyataan. Untuk pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah tersebut, pertumbuhan kredit hanya butuh membiak pada kisaran 17-20 persen. Tentu saja, laju kredit yang pesat itu dapat me-lena-kan jika kita tidak mencermati sektor-sektor yang dikucuri kredit baru tersebut. Seandainya kredit investasi, kredit modal kerja, maupun kredit konsumen disirami kredit secara merata, tentu kecemasan terhadap kibaran kredit tidak perlu ada. Tapi, fakta di lapangan, ternyata porsi kredit konsumsi yang disalurkan perbankan terus meningkat. Itu berbanding terbalik dengan porsi modal kerja yang terus menurun. Kondisi tersebut menjadi penegas dengan makin membesarnya kontribusi konsumsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa. Berdasar data, sektor konsumsi merupakan pasar kredit yang paling lahap dengan kucuran kredit yang mencapai Rp 483,36 triliun sejak Januari 2010 atau tumbuh sekitar 10,6 persen dari posisi tahun lalu Rp 436,99 triliun. Bila kita lihat sepuluh tahun yang lalu, porsi kredit komsumsi tidaklah terlalu mendominasi total kredit. Pada 2001, dana pinjaman untuk sektor itu hanya 14,76 persen dari akumulasi angka kredit perbankan nasional. Namun, pada 2009 yang porsinya cukup dahsyat, porsi konsumsi kini mencapai level 40 persen dari total kredit perbankan di Indonesia.

Nahasnya, efek timpangnya sektor yang digenangi kredit tersebut memang tidak dirasakan jangka pendek. Tapi, sektor perbankan yang menelantarkan sektor lain dalam pemberian kredit akan berdampak serius bagi perekonomian nasional pada masa depan. Bila dilacak lagi derasnya kucuran kredit perbankan pada kredit konsumtif yang jauh melebihi angka kredit yang dialirkan pada kredit produktif, tampak sekitar 29 persen diberikan langsung kepada nasabah perbankan. Bahkan, terdapat Rp 159,67 triliun yang merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha. Sebagian besar isinya merupakan kredit multifinance, koperasi simpan pinjam, dan institusi lain yang meneruskan pembiayaan konsumtif kepada nasabahnya. Memang, tidak dimungkiri, sektor konsumsi menjadi ''penyelamat'' pertumbuhan kita. Bahkan, selama lima tahun terakhir, sektor itu mendongkrak sumbangan terhadap PDB dari 68 persen menjadi 72 persen.

Pro-Sektor Perbankan

Dari rapor biru kredit perbankan pada semester ini, terasa bahwa ikrar pemerintah untuk memajukan sektor riil masih menjadi gaung. Bahkan, dengan BI rate yang masih di level 6,5 persen, tentu kredit murah masih belum dapat dihadirkan. Sebab, jika sektor riil yang diharapkan maju pesat karena mempunyai efek berganda terhadap kondisi ekonomi, bunga yang rendah adalah harga mati. Tentu, tanpa penurunan tingkat suku bunga, sampai kapan pun pelaku sektor riil akan sulit mendapatkan pinjaman modal usaha dengan nominal yang mereka butuhkan. Hal itu menjadi salah satu biang keladi ketimpangan pada proporsi kredit karena minimnya permintaan kredit dari sektor riil. Minimnya permintaan kredit dari sektor riil itu pula yang memotivasi sektor perbankan menjadi lebih agresif dalam menawarkan aneka kredit konsumsi kepada masyarakat, khususnya yang menengah ke atas. Pada akhirnya, sektor perbankanlah yang menikmati keuntungan dari rapor biru itu. Terbukti, dari tahun ke tahun, lumbung-lumbung labanya terus membubung. Kondisi yang cukup nyaman akhirnya membuat sektor perbankan semakin malas menawarkan kredit modal kerja kepada pelaku sektor riil.

Jika ditelaah lebih lanjut, margin keuntungan kredit konsumsi memang sangat menggiurkan. Mengingat, bunganya saja mencapai level 16 persen, sedangkan bunga kredit modal kerja dan investasi hanya berkisar 13-14 persen. Karena itu, rapor biru kredit perbankan ini tidak hanya berhenti dirayakan pada fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi semata yang semakin baik. Tapi, terjadinya ketimpangan sektor-sektor yang menerima kucuran pinjaman juga menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Jika meriahnya kredit perbankan semata yang dituju, tentu investor asing yang giat berinvestasi pada perbankan nasional akan semakin tidak terbendung. Sebab, fokus usaha bank-bank asing tersebut tidak ada lain adalah mengucurkan kredit konsumtif yang sangat menggiurkan bagi mereka. Tentu, kinerja perbankan lewat penyaluran kredit pada semester I/2010 ini harus kita apresiasi dan tentu tidak ada maksud untuk mengerem keuntungan perbankan yang didapat dari bisnis keuangan tersebut. Sebab, memang salah satu sumber pendapatan bank adalah melalui pendapatan bunga kredit yang diberikan. Hanya, kita berharap rapor biru yang dihadirkan pada semester ini nanti lebih berkualitas. Sektor riil yang kondisinya masih belum kukuh juga bisa turut menikmatinya.

*). Agus Suman, guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya

Sumber: Jawapos, Jum'at, 09 Juli 2010

Mari Belajar ke Swiss

Oleh Djoko Susilo

MULAI 6 hingga 9 Juli besok, Presiden Swiss Doris Leuthard berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan kenegaraan itu, ikut sejumlah pejabat tinggi negara dan pengusaha papan atas. Mereka akan mengunjungi sejumlah proyek di Jakarta dan Surabaya. Meski terkenal sebagai negara kaya, mereka cukup naik pesawat komersial. Tidak perlu menyewa, apalagi membeli pesawat sendiri. Orang Swiss terkenal sangat efisien. Memang, ketika saya tiba di Swiss pada Maret lalu, sebagai mantan wartawan dan anggota DPR, perhatian saya langsung tertarik pada masalah sistem politik di Swiss, khususnya parlemen. Tentu saja ini terkait dengan segala macam hiruk-pikuk di DPR. Termasuk, usul yang agak aneh: minta dana konstituensi Rp 15 miliar per anggota. Sebelum ke Swiss, pemahaman saya tentang demokrasi hanya dua. Yakni, sistem parlementer ala Westminster di Inggris atau sistem presidensial di Amerika Serikat. Tapi, sekarang harus saya koreksi karena ada sistem demokrasi langsung atau direct democracy ala Swiss. Sistem demokrasi langsung tersebut sudah lama menjadi tradisi dan setidaknya dalam konstitusi Swiss 1849 sudah dicantumkan. Inti sistem itu adalah kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh rakyat. Dalam sistem tersebut, semua kebijaksanaan pemerintah yang memengaruhi hajat hidup orang banyak bisa dibatalkan bila tidak didukung mayoritas rakyat melalui mekanisme referendum. Misalnya, ketika Swiss memutuskan menjadi anggota PBB, hendak membubarkan tentara, dan terakhir tentu saja soal menara masjid. Referendum bisa berasal dari inisiatif pemerintah maupun rakyat. Setiap warga Swiss berhak mengajukan referendum untuk membatalkan keputusan parlemen, asalkan bisa mengumpullan 50.000 tanda tangan yang mendukungnya dalam tempo 100 hari sejak UU disahkan parlemen. Misalnya, parlemen Swiss dan pemerintah memutuskan pembangunan pusat listrik tenaga nuklir (PLTN). Jika ada rakyat yang tidak menyetujui, mereka bisa membatalkan melalui mekanisme referendum.

Lantaran sebuah undang-undang atau peraturan bisa dibatalkan melalui referendum, parlemen dan pemerintah tidak sembrono dalam mengambil keputusan. Akibatnya, pengambilan keputusan atas sebuah undang-undang sangat lamban karena harus memperhatikan saran dan pendapat dari banyak pihak, khususnya para stakeholders. Parlemen Swiss adalah lembaga yang sangat dipercaya masyarakat. Mengapa bisa demikian? Salah satu penyebabnya, anggota parlemen Swiss tidak terlalu tamak dengan uang dan fasilitas. Mereka tidak digaji tetap dan tidak menerima pensiun dari jabatannya tersebut. Karena itu, terasa sangat aneh kalau ada anggota DPR yang sampai meminta jatah Rp 15 miliar, meski dengan dalih untuk konstituennya. Memang, menjadi anggota DPR di Swiss merupakan sebuah pengabdian. Tidak untuk mencari pekerjaan. Meski tidak menerima gaji, anggota parlemen di sana menerima bantuan transportasi, sewa hotel atau apartemen, serta bantuan sekretariat atau urusan kantor yang jumlahnya dalam setahun hanya sekitar USD 100.000. Jumlah itu tampak banyak. Tapi, jika dibanding pendapatan per kapita rakyat Swiss yang USD 64.000, jumlah tersebut relatif wajar. Staf politik KBRI Bern belum lama ini membuat kajian perbandingan dengan Indonesia. Anggota DPR RI menerima gaji dan fasilitas yang dalam setahun mencapai Rp 1,5 miliar atau hampir USD 150.000. Itu jelas sangat tinggi. Jumlah tersebut, bagi banyak pihak, dirasa mengagetkan karena fasilitas itu diberikan kepada anggota DPR yang rakyatnya hanya berpenghasilan USD 2.300 per tahun.

Jika dibanding UMR di Swiss, anggota DPR Swiss rata-rata hanya menerima empat kali rata-rata UMR. Sebab, UMR Swiss adalah 3.300 franc Swiss. Jika anggota DPR mau meniru gaji atau fasilitas seperti di Swiss, mereka semestinya hanya menerima sekitar Rp 6 juta. Dengan ''normal''-nya gaji atau fasilitas anggota DPR tersebut, tidak banyak keluhan terhadap mereka. Sebaliknya, di Indonesia, rakyat layak marah kalau kinerja mereka sangat buruk karena gaji dan fasilitas DPR sekitar 100 kali lebih dari rata-rata UMR. Di Swiss, bukan hanya anggota DPR yang hidup secara wajar. Misalnya, ke mana-mana naik trem, bus kota, atau KA yang memang terkenal tepat dengan jadwal. Para menteri pun hidup normal. Karena itu, tidak heran, sesekali kita ketemu menteri yang sedang menunggu bus atau trem. Belum lama ini, saya ketemu seorang pejabat setingkat menteri negara lingkungan hidup. Dia terheran-heran ketika saya tanya soal mobil dinasnya. Bagi dia, tidak perlu mobil karena ke mana-mana bisa naik kendaraan umum atau malah naik sepeda saja. Warga Swiss sangat prihatin terhadap lingkungan hidup sehingga listrik boleh diproduksi hanya dengan tenaga air atau nuklir. Batu bara dan sumber energi lain-lain yang merusak lingkungan dilarang keras. Karena transportasi efisien dan tepat waktu, sangat jarang orang Swiss yang menggunakan kendaraan pribadi. Mobil pribadi hanya dipakai pada waktu weekend. Swiss juga terkenal produktif dan efisien. Tidak heran, dengan penduduk 7,7 juta jiwa, mereka bisa mengekspor hampir USD 200 miliar per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta yang hanya mengekspor sekitar USD 120 miliar. Jelas, kita kalah produktif dari warga Swiss. Karena itu, sudah waktunya kita perlu belajar ke Swiss, negara kecil tapi indah dan produktif.

*) Dubes RI untuk Swiss, mantan wartawan Jawa Pos

Sumber: Jawapos, Kamis, 08 Juli 2010

Dari Sujud, Lahirlah Negarawan; Refleksi Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW

Oleh Bashori Muchsin

"NEGARA ini butuh banyak negarawan. Sebab, di negara ini banyak problem yang membutuhkan penyelesaian, yang ketika dicoba diselesaikan muncullah penyakit perilaku gaya baru. Itu terjadi karena masih bersemainya elite strategis yang mengisi dan membingkai piramida kekuasaan, yang mengidap krisis kebertuhanan (Imam KH, Agama Langit, Agama HAM, 2006)." Pernyataan itu menunjukkan bahwa negeri ini masih "dibanjiri" banyak problem berat yang mengakibatkan keberlanjutan hidup rakyat di ujung sekarat. Kondisi itu hanya bisa dientas negarawan, sosok manusia langka yang sulit ditemukan. Tampaknya, rakyat mudah menemukan sosok istimewa itu. Namun, setelah perjalanan gaya kepemimpinannya diikuti, dia tak pantas jadi negarawan, bahkan lebih tepat menyandang stigma pecundang dan "pembangkang" amanat kerakyatan. Seseorang memang bisa menjadi penguasa, pemimpin di level nasional, atau merebut kekuasaan. Tetapi, dia belum tentu mampu merebut identitas negarawan, menjadi nasionalis, sosok pemimpin yang hatinya gampang terbakar dan berkobar memikirkan nasib rakyat. Yang sering kita temukan, seseorang yang berkuasa hanya asal bisa berkuasa atau menguasai. Seseorang yang hanya bisa berkuasa berarti tergelincir pada penahbisan kekuasan, bukan penahbisan kewajiban yang harus dia tunaikan.

Dalam buku masterpiece berjudul Republic, Plato berpesan, "Penguasa diama­natkan oleh Tuhan, pertama-tama dan terutama, agar menjadi penjaga yang baik (good guardians) sebaik terhadap anak sendiri." Pesan itu sangat sarat muatan moral-edukatif atau dimensi etika dan pendidikan. Pesan sang filsuf ditujukan kepada para pemimpin yang menduduki posisi jabatan strategis, yang dikenal dengan elitisme kekuasaan, supaya saat jadi pemimpin atau pejabat. Mereka ingat dan giat menegakkan amanat. Amanat tersebut harus dijaga dengan segenap jiwa raga atau pertaruhan apa saja. Negarawan memang tidak harus menjadi penguasa. Tetapi, penguasa harus menjadi negarawan. Roda kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan berjalan normal dan mencapai hal yang diobsesikan jika masyarakat dan negara ini mempunyai penguasa yang juga negarawan. Penguasa seperti itu adalah cerminan sosok yang pikiran dan perbuatannya difokuskan pada pengabdian terhadap kehidupan masyarakat dan negara. Jika dia terpanggil, tugas negara yang ditunaikan adalah cerminan bahasa kepentingan masyarakat.

Salah satu ajaran Islam yang terbilang fundamental dan dapat dijadikan sebagai kekuatan moral untuk mencip­takan pencerahan reformasi kehidupan manusia adalah kewajiban menunaikan salat. Kewajiban itu bisa diorientasikan untuk meluruskan perjalanan reformasi yang masih ternodai berbagai bentuk penyakit kronis. Salah satunya adalah masalah KKN yang hingga kini membelit bangsa. Melalui sujud (penyerahan diri secara total), manusia yang sudah atau sedang terjerumus sebagai "pengeropos" bangsa itu disembuhkan, dijernihkan. Kalau rohaninya bisa sembuh, berbagai bentuk penyakit yang marak di masyarakat niscaya tidak sulit disembuhkan. Setidaknya, kecenderungan menodai diri bisa dia cegah. Salat tergolong kewajiban istimewa. Sebab, salat diturunkan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Isra Mikraj. Begitu pentingnya, ajaran salat dapat dibaca dalam isyarat berikut. "Salat (sujud) dapat mencegah kekejian dan kemungkaran serta merupakan tiang agama. Karena itu, yang meninggalkan salat berarti menghancurkan agama." Artinya, sujud (dalam salat) merupakan kekuatan moral stategis untuk menyucikan dan mencerahkan perjalanan reformasi yang kini dikotori. Jika perjalanan Republik Indonesia hingga kini masih sarat akan praktik-praktik pembangkangan, politisasi agenda reformasi, dan budaya pembusukan nilai (values decay), itu mengindikasikan pengua­sa-penguasa bangsa ini belum salat secara benar. Kalaupun sudah menjalankan, salat tersebut tidak lebih dari perhiasan diri yang bersifat kultural serta menjadi formalisme spiritual yang belum menyentuh dan mencerahkan.

Kesakralan ajaran salat memberikan tekanan esoteris-humanistis. Salat adalah kewajiban yang dapat mengur­ai problem kehidupan manusia dalam berbangsa dan berne­gara. Setiap manusia yang menjalankan salat diantarkan untuk bisa memahami dan melaksanakan tugas-tugas besarnya di muka bumi, seperti memakmurkan dan menjaga bumi dari berbagai perilaku yang bermodus merusak dan menghancurkan. Ada aspek edukasi spiritualitas dan sosialitas dalam salat, terutama yang bertema amanat. Komunitas muslim diberi didikan moral ketuhanan melalui salat, khususnya elite penguasanya, tentang cara menjadi pemimpin yang negarawan, tidak semata mementingkan ambisi diri, kroni, dan golongan. Melainkan, cara menempatkan Tuhan dalam kinerjanya. Pemimpin yang negarawan dapat diniscayakan lahir dan terus tumbuh subur dari bumi pertiwi (Indonesia) bila konstruksi relasional dengan Sang Maha Pencipta tetap lestari dijaga dan ditegakkan. Adapun kekuatan spiritualitas yang bisa diharapkan adalah menunaikan salat dengan sebenar-benarnya: menghadirkan Allah SWT dalam diri dan menjadikan cahaya-Nya untuk mencerahkan batin yang masih berselimut kabut noda atau sarat akan berbagai bentuk penyakit. Krisis spiritualitas, kelabilan psikologis, atau kehampaan (kekosongan) batin manusia sudah seharusnya disembuhkan dengan kembali kepada Tuhan. Keterasingan disebabkan ulah manusia yang mengalienasikan diri dari bangunan relasi vertikal dengan-Nya. Sementara itu, salat adalah jalan yang tepat untuk kembalinya manusia dari keterasingan menuju kedekatan dan keharmonisan dengan-Nya. Semakin dekat dia dengan Tuhan, otomatis semakin besar rasa tanggung jawabnya terhadap implementasi kewajiban publik yang sudah digariskan-Nya. Kedekatan dengan Tuhan adalah jalan utama untuk menjadi pemimpin yang selalu mengemas diri sebagai pelayan masyarakat. Carilah aku di antara orang-orang yang hancur hatinya adalah jawaban Nabi Muhammad tentang pembumian pelayanan publik terbaik saat ditanya sahabat-sahabatnya.

*) Prof Dr Bashori Muchsin MSi , guru besar dan pembantu rektor II Universitas Islam Malang

Sumber: Jawapos, Sabtu, 10 Juli 2010