Utang, Krisis, dan Politik Uang

oleh: A Prasetyantoko

Pelantikan Menteri Keuangan baru, Agus Martowardojo, diikuti dengan tujuh amanat Presiden mengenai pengelolaan anggaran. Persoalan utang pemerintah menjadi salah satu isu yang mengemuka. Anggaran yang pada tahun-tahun ini mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun harus digunakan untuk mendorong pertumbuhan, subsidi, dan membayar utang pemerintah. Menkeu baru harus mampu ”meracik” anggaran sehingga mencapai kesinambungan fiskal. Mengapa isu utang penting? Mungkin sebuah kebetulan, pelantikan Menkeu baru bersamaan dengan menguatnya kekhawatiran terhadap krisis sistemik kawasan Eropa. Setelah tarik- menarik panjang tentang penyelamatan defisit budget Yunani sebesar 1 triliun dollar AS disepakati, kini giliran Spanyol yang mulai goyah, ditandai dengan fase bail out sektor perbankan. Dikhawatirkan, krisis akan menyebabkan kolapsnya sistem perbankan di kawasan Eropa. Bukankah situasi Indonesia sama sekali lain? Benar, apa yang dialami Yunani saat ini telah dialami Indonesia sepuluh tahun silam, pada krisis Asia 1997/1998. Dan kini, perekonomian Indonesia telah berubah menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar ketiga setelah China dan India. Meski demikian, kita bukan berarti benar-benar aman dari ancaman krisis. Tak satu pun negara di dunia ini yang benar- benar bebas dari ancaman krisis. Kebijakan utang merupakan salah satu pintu masuk yang berpotensi menjerat perekonomian memasuki krisis.

Ancaman krisis

Bulan lalu, Nouriel Roubini bersama dengan Stephen Mihm menerbitkan buku berjudul Crisis Economics (2010). Pandangannya yang suram tentang masa depan perekonomian membuat Roubini sering dijuluki sebagai D. Doom. Meski nuansanya pesimistis, ada banyak hal yang relevan dan patut diperhatikan. Pertama, tentang asal muasal krisis, tak pernah ada jawaban yang pasti. Ada pendapat yang mengatakan karena pemerintah terlalu banyak campur tangan, tetapi sebaliknya ada yang mengatakan justru karena pemerintah kurang campur tangan. Kedua, tentang evolusi krisis, biasanya bermuara pada pergeseran sikap (kebijakan) yang tadinya berhati-hati, mulai berspekulasi dan akhirnya tak mampu membayar. Semua krisis di hampir semua level, baik personal, perusahaan (firm-level) termasuk perbankan maupun pemerintah, ditandai dengan kondisi ketidakmampuan melunasi kewajibannya. Ide ini berbasis pada pemikiran Hyman Minsky tentang skema hedge (berhati-hati), spekulatif, dan ponzi (tak mampu bayar). Ide ini sangat relevan untuk meneropong kebijakan utang pemerintah. Pemerintah kita memang dinilai sukses menurunkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) dari sekitar 150 persen pada waktu krisis 1997/1998 menjadi kurang dari 30 persen pada 2010 ini. Namun, persoalannya bukan itu. Pemerintah makin gencar menerbitkan surat utang yang proporsinya makin besar dibandingkan dengan utang pada lembaga donor asing. Hingga Mei 2010, utang pemerintah diperkirakan berjumlah lebih dari Rp 1.700 triliun. Jadi, meskipun rasio utang mengalami penurunan, tetapi secara nominal terjadi kenaikan. Belum lagi suku bunga yang ditawarkan relatif tinggi (10-13 persen) dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia. Bahkan, lebih tinggi dari penerbitan surat utang korporasi yang risikonya lebih tinggi.

Potensi ponzi

Utang selalu punya dua dimensi. Pertama, besarannya dan dari mana asalnya. Kedua, efektivitas penggunaannya. Terkait hal pertama, penerbitan surat utang pemerintah harus dibayar dengan semakin tergantungnya perekonomian pada sektor finansial. Salah satu alasan mengapa suku bunga bank tidak bisa diturunkan mengikuti suku bunga Bank Indonesia (BI rate) sebesar 6,5 persen adalah karena tingginya suku bunga di pasar surat utang. Dari sisi penggunaannya, sebenarnya jika utang digunakan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi (investasi), bukanlah soal. Karena dengan begitu penambahan utang akan diiringi peningkatan kemampuan membayar. Dengan begitu, potensi terjadinya gagal bayar (ponzi) kecil. Di atas kertas, kemampuan kita membayar cenderung meningkat, ditunjukkan dengan rasio utang terhadap PDB. Pertanyaannya, perekonomian seperti apa yang dihasilkan dari stimulus berupa pinjaman? Dengan kualitas pertumbuhan yang makin menurun, jangan-jangan angka-angka rasio tersebut sebenarnya bubble (gelembung)? Ukuran yang lebih solid untuk menguji dampak positif penggunaan utang adalah indikator yang lebih bersifat jangka panjang, seperti penyerapan tenaga kerja serta pengurangan kemiskinan. Peningkatan rasio pembayar pajak (tax ratio) juga menjadi indikator penting. Di hari ini, potensi kita menjadi ponzi masih kecil. Namun, dengan tingkat pengungkit yang terbatas pada perekonomian, instrumen utang sangat mungkin menjadi bumerang. Terkait dengan hal tersebut, paling tidak ada dua tugas pokok Menkeu baru. Pertama, memecahkan kebuntuan sektor finansial-riil yang, salah satunya, diakibatkan oleh kebijakan utang pemerintah yang membelenggu suku bunga bank. Pengalaman Agus Martowardojo sebagai bankir tentu sangat membantu dalam hal ini.

Kedua, peningkatan efesiensi dan efektivitas penggunaan utang peningkatan kualitas perekonomian jangka panjang. Wacana untuk mengaitkan output pembangunan dengan indikator indeks pembangunan manusia (IPM) semakin kuat. Prinsipnya, jika utang bisa dijamin penggunaannya dalam kerangka peningkatan kualitas hidup manusia dalam jangka panjang, risiko jangka pendeknya bisa dimoderasi. Menjadi bahaya jika utang digunakan untuk proyek politik terkait Pemilu 2014, dengan berbagai bungkus, seperti bantuan langsung tunai (BLT), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM), dan sebagainya. Sejarah politik uang sama halnya dengan sejarah krisis, selalu datang seiring zaman. Terhadap dua hal itu, benar kata Roubini, memahami konteks sejarah yang dinamis sering kali jauh lebih penting ketimbang modelisasi ekonomi yang rumit dan penuh dengan rumus matematika.

A Prasetyantoko Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Unika Atma Jaya, Jakarta

Sumber: Kompas

Krisis Yunani dan Stabilitas Indonesia

Oleh: Deni Ridwan

Krisis keuangan di Yunani diperkirakan oleh berbagai kalangan tidak akan menimbulkan dampak yang kentara bagi Indonesia. Bank Dunia dan IMF berpendapat bahwa risiko untuk Indonesia relatif kecil mengingat fundamental ekonominya cukup kuat. Selain itu, IMF juga yakin bisa melokalkan dampak krisis tersebut di wilayah Eropa. Semoga perkiraan itu benar. Jika tidak, Indonesia saat ini tak siap menghadapi guncangan pada sistem keuangan seperti tahun 2008. Kepergian seorang Sri Mulyani adalah ongkos mahal yang harus dibayar akibat huru-hara kasus Century. Namun, ongkos yang lebih mahal adalah kerusakan fondasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal ini ditandai dengan menjadi tak jelasnya basis legal untuk tindakan penanganan krisis, melemahnya koordinasi, dan menipisnya saling percaya antarotoritas pada sektor keuangan, serta akan munculnya keengganan pejabat publik membuat keputusan penting di saat genting. Dasar hukum penanganan krisis sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Namun, Perppu yang dimaksudkan sebagai protokol manajemen krisis itu saat ini laksana zombi yang tak jelas statusnya.

Sebagai dampak dari kasus Century, DPR telah menolak mengesahkan Perppu itu menjadi UU sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Di sisi lain, DPR juga menolak mengesahkan RUU untuk pencabutan Perppu yang diajukan oleh pemerintah. Padahal, dalam Pasal 25 dan Pasal 36 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perppu yang ditolak DPR harus dicabut dengan sebuah UU. Akibatnya, saat ini pemerintah dan BI tak memiliki landasan hukum yang jelas untuk tindakan pencegahan ataupun penanganan krisis. Koordinasi antarotoritas di sektor keuangan juga dinilai melemah setelah tak berfungsinya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam kasus penalangan Century, DPR bukan saja ”berhasil” memberikan vonis bersalah kepada KSSK, tetapi juga ”membunuh” lembaga tersebut. Ketiadaan KSSK akan menyulitkan koordinasi antara kementerian Keuangan (selaku otoritas fiskal serta pengawas pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank), BI (selaku otoritas moneter dan pengawas perbankan), serta Lembaga Penjamin Simpanan (selaku pelaksana penjaminan simpanan dan penanganan bank gagal).

Dampak lain

Dampak lain yang harus diwaspadai adalah menipisnya kepercayaan antara Kementerian Keuangan, BI, dan LPS. Proses pemeriksaan oleh BPK, Pansus DPR, dan KPK disadari atau tidak telah menimbulkan friksi antara lembaga tersebut. Ini adalah konsekuensi yang logis karena pada dasarnya tidak ada pihak yang mau disalahkan. Padahal, DPR dari awal menuntut BPK, Pansus, dan KPK menemukan pihak yang dinilai bersalah. Sulit dibayangkan suatu kebijakan terbaik bisa dihasilkan manakala institusi yang terlibat tidak memiliki level of trust yang kuat satu sama lain. Belajar dari pengalaman Boediono dan Sri Mulyani, dikhawatirkan timbul keengganan para pejabat publik mengambil keputusan penting di saat genting. Menurut Goran Lind (2003), keputusan pada saat krisis harus cepat dibuat karena berpacu dengan waktu. Akibatnya, keputusan itu pada umumnya dibuat berdasarkan pada informasi yang tak lengkap, tak akurat, serta tak mengikuti perkembangan. Selain itu, juga tak ada waktu bagi pemerintah dan bank sentral melakukan interpretasi ulang atas peraturan perundangan yang ada. Padahal, pada umumnya ketentuan itu hanya dirancang untuk menangani situasi normal, bukan kondisi krisis. Oleh karena itu, selain kapasitas dan integritas yang mumpuni, dibutuhkan juga keberanian yang besar untuk membuat keputusan pada saat krisis. Dalam konteks Indonesia, pejabat publik mana yang mau bernasib seperti Boediono dan Sri Mulyani?

Wishful thinking bahwa Indonesia tak akan terkena dampak krisis Yunani jelas tidak cukup. Sumber kerentanan sistem keuangan bukan hanya faktor eksternal, tetapi juga faktor internal. Siapa yang berani menjamin tak akan ada lembaga keuangan seperti Bank Century dengan CAR bisa jatuh dari 14,7 persen jadi negatif dalam waktu singkat? Kewajiban kitalah memastikan bahwa sistem keuangan Indonesia cukup tangguh menahan goncangan dari dalam ataupun luar negeri. Itu sebabnya, pemerintah dan DPR harus segera memutuskan status Perppu JPSK serta menuntaskan pembahasan RUU JPSK sebagai penggantinya. Presiden diharapkan segera mengisi posisi gubernur BI serta memberikan dukungan memadai agar mereka bisa bekerja optimal. Semoga Lapangan Banteng dan Thamrin dapat kembali bahu-membahu sepenuh hati menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Deni Ridwan Mahasiswa PhD di Universitas Victoria, Australia

Sumber: Kompas

Menimbang Kebijakan Utang

Oleh: Cyrillus harinowo Hadiwerdoyo

Krisis di Yunani beberapa waktu terakhir serta kekhawatiran pasar atas risiko meluasnya krisis ke negara lain dengan karakter sama dalam pengelolaan keuangan akhirnya membuka mata banyak pihak untuk mempertimbangkan kembali kebijakan pembiayaan pembangunan melalui utang. Apakah kebijakan itu berjalan sesuai rambu-rambu yang digariskan?

Bagi negara-negara Uni Eropa, rambu-rambu tersebut sebenarnya sudah termuat jelas dalam ”Undang-Undang Dasar” pendirian Uni Eropa. Disebut Maastricht Treaty, dalam ”kriteria konvergensi” diatur bahwa negara yang ingin menjadi anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN yang tidak melampaui 3 persen dari PDB dan rasio utang pemerintah tidak melampaui 60 persen. Rambu-rambu itu pula yang mendasari penetapan pengelolaan keuangan pemerintah kita dan bahkan sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Defisit APBN dibatasi pada tingkat 3 persen dan rasio utang pemerintah terhadap PDB maksimal 60 persen. Krisis di Yunani pada dasarnya adalah ketidakdisiplinan mengikuti rambu-rambu. Yunani memang termasuk negara yang tidak mematuhi aturan main rasio utang di bawah 60 persen karena sejak awal negara tersebut bersama Belgia dan Italia memiliki rasio utang di atas 100 persen. Belgia cepat memperbaiki diri, sementara proses penyesuaian di Yunani berjalan lambat seperti halnya di Italia. Pelanggaran batas atas defisit APBN juga terjadi beberapa kali, termasuk oleh negara-negara besar, seperti Jerman, Perancis, dan Italia. Hal ini menimbulkan moral hazard, yaitu lebih santainya negara anggota Uni Eropa melihat pelanggaran rambu defisit. Maka, saat terjadi resesi global 2008, banyak negara menstimulasi fiskal dengan mengorbankan kehati-hatian mereka mengelola defisit.

Data lemah

Defisit APBN di Yunani diperparah oleh lemahnya data pemerintah. Sebelumnya dikatakan defisit 8,5 persen dari PDB, melonjak menjadi 12,5 persen dan terakhir ternyata defisitnya mencapai 14 persen. Keragu-raguan pasar terhadap integritas data Yunani ini menyebabkan reaksi pasar lebih buruk dari yang seharusnya. Inilah pemicu kekhawatiran pasar akan terjadinya default karena Yunani sepertinya tidak mampu melunasi obligasi yang jatuh tempo awal Mei 2010 ini. Dalam keadaan normal pelunasan utang dilakukan dengan refinancing, yaitu menerbitkan utang baru untuk melunasi utang lama, sehingga Pemerintah Yunani tidak perlu berjaga-jaga dengan kas yang terlalu besar. Refinancing risk inilah yang akhirnya memicu terjadinya krisis. Bagi Indonesia, krisis di Yunani merupakan bahan pelajaran berharga dalam pengelolaan keuangan pemerintah. Dalam hal ini selain menjaga kedisiplinan, perlu diwaspadai juga faktor-faktor lain terkait. Secara umum, pengelolaan keuangan pemerintah di Indonesia berjalan baik. Rambu-rambu defisit dan utang berada dalam kendali ketat. Defisit APBN Indonesia selama bertahun-tahun selalu berada di bawah 3 persen. Bahkan, pada saat krisis global 2008, APBN berakhir dalam keadaan kurang lebih berimbang meski sebelumnya direncanakan defisit. Hal yang sama terjadi pada 2009 di mana defisit APBN di bawah yang dianggarkan. Dalam hal pengelolaan utang, pemerintah berhasil menjaga rasio utang terhadap PDB terus turun di level 28 persen pada 2009. Bahkan, jika utang pemerintah yang berada di tangan BI dikeluarkan, rasio tersebut menjadi lebih kecil lagi, mendekati angka 20 persen. Pemerintah juga memiliki bantalan kas lumayan tebal, sekitar Rp 200 triliun, baik yang berada di Bank Indonesia maupun di bank-bank umum. Ini berarti pemerintah memiliki cadangan dana untuk menutupi kebutuhan pelunasan utang yang jatuh tempo dalam satu tahun ataupun jika terjadi shortfall dalam penerimaan pada tahun berjalan. Kekuatan inilah yang perlu dijaga agar refinancing risk sebagaimana yang meledak di Yunani dapat dijaga pada tingkat rendah.

Perhatikan tiga hal

Prestasi tersebut dikemukakan bukan untuk berpuas diri (complacent), melainkan untuk menghindari terjadinya kekhawatiran berlebihan. Meskipun demikian, ke depan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih besar lagi. Pertama, refinancing risk ternyata memiliki daya hancur luar biasa. Oleh karena itu, pemerintah harus terus memonitor tingkat risiko sekecil mungkin. Jatuh tempo surat utang pemerintah harus diatur jangan sampai terjadi penumpukan jatuh tempo pada saat yang sama secara berlebihan (bunching). Kebijakan pengaturan utang yang dikenal dengan reprofiling perlu terus diusahakan, tetapi dengan pendekatan pasar. Kedua, dengan melihat pengalaman Jepang, sumber pendanaan utang juga perlu dipertajam. Selama ini, Jepang yang memiliki rasio utang terhadap PDB tertinggi di dunia relatif masih mampu menjaga stabilitas karena semua utang didanai dari sumber dalam negeri. Kebijakan kita untuk memanfaatkan pasar obligasi dan sukuk global setiap kali perlu ditinjau kembali karena fluktuasi yang demikian besar pada kedua pasar tersebut. Sumber dana dalam negeri (termasuk aliran modal dari luar negeri) yang diharapkan menyerap SUN terus berkembang jumlahnya sehingga dana inilah yang harus mendapat prioritas tertinggi. Jangan sampai kesuksesan menjual obligasi global ”membelenggu” kita mencari alternatif yang lebih aman. Ketiga, sumber utang pemerintah yang berasal dari defisit APBN perlu terus dijaga pada tingkat aman. Pembiayaan infrastruktur yang melibatkan swasta perlu didorong meskipun pemerintah harus lebih berani meringankan beban swasta. Kita berharap pengelolaan keuangan pemerintah memungkinkan kita berkembang ke tingkat yang lebih tinggi sehingga menyejahterakan masyarakat.

Cyrillus harinowo Hadiwerdoyo Pemerhati Ekonomi

Sumber: Kompas

Krisis Politik Thailand dan Film Bollywood

Oleh: Renne Kawilarang

Menyaksikan konflik politik bisa jadi tak ada bedanya dengan menonton film Bollywood. Berbagai adegan bisa saja muncul. Mulai dari opera sabun yang penuh intrik nan membosankan, aksi laga yang mendebarkan, sampai komedi yang menggelikan. Pertunjukkan ala film Bollywood tersebut tengah terlihat jelas di Thailand. Filmnya berjudul "Samak di Ujung Tanduk" dengan latar belakang huru-hara politik di Thailand, yang sejak setahun terakhir kembali berada di alam demokrasi setelah sempat di bawah cengkeraman militer. Pemeran utamanya tentu saja Perdana Menteri Samak Sundaravej, yang dicitrakan sebagai tokoh antagonis. Sedangkan para pemeran pembantu adalah para politisi dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang mendukungnya dan Partai Aliansi Demokrasi (PAD) yang menentang Samak habis-habisan. Namun tiket pertunjukan teater tersebut harus dibayar sangat mahal oleh rakyat Thailand sendiri. Sebagai penonton, mereka hanya bisa geram dan pasrah menyaksikan drama politik tersebut sampai membuat bisnis mereka lumpuh dan penghasilan mereka menurun. Awalnya para politisi tersebut saling gontok-gontokan sejak awal tahun ini. Samak dikecam habis-habisan oleh oposisi karena gayanya yang arogan dan mengangkat teman-temannya yang bermasalah dengan hukum menjadi pejabat-pejabat penting. Sebelum menjadi perdana menteri, Samak pun dikenal sebagai pejabat yang kontroversial.

Saat masih menjadi deputi perdana menteri tahun 1992, Samak membenarkan langkah militer yang memberantas aksi para mahasiswa pro-demokrasi dengan pembantaian. Dia juga dikenal sebagai kroni mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang dikenal sebagai pemimpin yang korup dan penjual aset negara. Pertunjukan berlanjut menjadi adegan yang mencemaskan setelah melihat konflik politik di parlemen berlanjut pada aksi jalanan. Aksi yang digalang para oposisi asal partai PAD tersebut dilakukan dalam bentuk rangkaian protes yang diwarnai baku hantam dan aksi mogok kerja yang melumpuhkan ekonomi Thailand. Namun awal pekan ini pertunjukan teater tersebut berubah menggelikan. Ini menyangkut kebiasaan Samak yang gemar memasak. Tak berhasil menggoyang Samak dari kursi perdana melalui aksi jalanan, kubu oposisi juga menempuh cara yang elegan dengan mengadukan politisi berusia 72 tahun tersebut ke meja hijau. Samak dituduh telah melanggar Konstitusi karena, kendati sudah dilantik sebagai perdana menteri akhir Januari lalu, dia masih punya pekerjaan sampingan sebagai pembawa acara kuliner di televisi, yang telah dilakoninya selama delapan tahun. Gugatan yang dilayangkan Ketua Senat dan Ketua Komisi Pemilihan Umum tersebut terbukti manjur. Hakim Mahkamah Konstitusi Selasa lalu (9/9) memvonis Samak bersalah dan saat itu juga dia dipecat dari jabatan perdana menteri.

Namun babak komedi dari pertunjukan tersebut belum selesai. Berdasarkan konstitusi, Samak bisa saja dipilih kembali menjadi PM. Situasi tersebut tidak disia-siakan Samak. Maka, beberapa jam setelah vonis dari sidang Mahkamah Konstitusi, Partai Kekuatan Rakyat pimpinan Samak langsung bertekad mencalonkan bos mereka kembali memimpin pemerintahan Thailand. Penentuan terjadi pada pemilihan Jumat pekan ini (12/9). Apakah Samak terpilih lagi atau tidak, yang jelas rakyat Thailand sebagai penonton sudah mulai bosan dengan aktor yang satu ini. Sebagian pihak menilai bila Samak terpilih kembali situasi di Thailand bisa jadi kian parah. Perpecahan di kalangan masyarakat yang telah berlangsung berbulan-bulan akan sulit diredam. Penilaian tersebut bukanlah pendapat dari kalangan politisi, namun dari para pebisnis yang juga sangat sensitif dengan setiap perkembangan politik di Thailand. "Kami ingin kebuntuan politik diakhiri sesegera mungkin. Kami tidak ingin Samak kembali [memerintah] karena kekisruhan tidak akan berakhir," kata Santi Vilassakdanont seperti dikutip surat kabar The Bangkok Times, Rabu (10/9). Santi adalah Ketua Federasi Industri Thailand (FTI) yang mewakili kepentingan para pelaku industri di Thailand. Bagi pebisnis seperti Santi, kekisruhan politik yang tengah terjadi di Thailand telah menciptakan ketidakpastian. Suasana yang tidak pasti tentu saja merupakan kerugian bagi para pelaku usaha. Apalagi, menurut Santi, tidak ada satupun pihak yang bertanggung jawab atas ketidakpastian yang timbul akibat konflik politik tersebut. "Akhirnya sektor bisnis dan kepentingan masyarakat-lah yang paling terasa dampaknya," kata Santi. Rakyat memang berharap film ini segera berakhir dengan tamatnya kiprah Samak di panggung kekuasaan. Tak terbayang berapa lama lagi pertunjukan ini akan berlangsung bila Samak kembali memerintah.