Hendarman Jakgung Ilegal?

Oleh M. Hadi Shubhan

KEABSAHAN jabatan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung dipersoalkan Yusril Ihza Mahendra. Yusril mempermasalahkan keabsahan Hendarman sebagai jaksa agung karena dilatarbelakangi penetapannya sebagai tersangka korupsi Sisminbakum oleh jaksa agung. Polemik ini menarik perhatian publik karena Yusril adalah (mantan) guru besar hukum tata negara dari universitas paling terkemuka di republik ini yang dianggap menguasai konsep dan konstruk hukum sekaligus mantan menteri sekretaris negara yang dianggap mengetahui liku-liku administrasi hukum di lingkungan istana. Perang urat saraf antara Hendarman yang didukung Sudi Silalahi selaku Mensesneg melawan Yusril terjadi sedemikian sengit (Jawa Pos, 3-6 Juli 2010). Perkembangan terakhir, Yusril menyambut tantangan jaksa agung dengan mengajukan permohonan pengujian UU Kejaksaaan ke Mahkamah Konstitusi (Jawa Pos, 7 Juli 2010). Yusril berpendapat bahwa Hendarman tidak sah menjabat jaksa agung karena dulu diangkat bersama-sama dengan beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu (jilid I) sehingga otomatis harus berhenti bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan kabinet tersebut. Menurut Yusril, jika Hendarman hendak meneruskan jabatannya sebagai jaksa agung, harus ada keppres pengangkatan serta pelantikan lagi. Faktanya tidak ada. Menurut Yusril, karena jabatan yang disandang Hendarman tidak sah, tindakan Hendarman yang dilakukan sejak 21 Oktober 2009 adalah tidak sah, termasuk tindakan menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus Sisminbakum.

Permasalahan legalitas Hendarman sebagai jaksa agung ini harus dikaji secara komprehensif dengan menelaah berbagai peraturan dan keputusan yang ada. Peraturan yang perlu dikaji antara lain UU No 38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Keputusan yang juga harus dicermati adalah Keppres No 31/P Tahun 2007 yang berisi, antara lain, pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung, Keppres 187/M Tahun 2004 yang berisi pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu (jilid I), dan Keppres No 84/P Tahun 2009 yang berisi pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Menurut UU Kementerian Negara, kedudukan jaksa agung sama sekali tidak diatur di dalamnya. Dalam UU Kementerian Negara tersebut tidak terdapat norma yang menyatakan bahwa jaksa agung disetarakan dengan jabatan menteri. Dengan demikian, jaksa agung bukanlah unsur dari suatu kabinet kementerian. Demikian pula dalam UU Kejaksaan RI tidak disinggung kedudukan jaksa agung terhadap kementerian. Hal ini perlu dikaji karena berkaitan dengan masa jabatan kabinet menteri dan masa jabatan jaksa agung. Jabatan kabinet menteri adalah periodisasi lima tahunan sesuai dengan jabatan presiden. Dalam Keppres No 84/P Tahun 2009 yang membentuk KIB II juga ditegaskan bahwa KIB II adalah periode 2010-2015. Konsekuensi lebih lanjut dari jabatan kabinet menteri dalam periodisasi tersebut adalah secara otomatis habis ketika periode tersebut habis tanpa perlu ada pencabutan keppres yang membentuknya.

Sedangkan jabatan jaksa agung, menurut UU Kejaksaan, adalah bukan periodisasi. Demikian pula dalam Keppres No 31/P Tahun 2007 yang di dalamnya terdapat pengangkatan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung, sama sekali tidak terdapat diktum yang menyatakan masa berakhirnya jaksa agung. Keppres pengangkatan ini hanya terdiri atas tiga diktum. Diktum pertama, memberhentikan beberapa pejabat, termasuk memberhentikan Abdul Rahman Saleh, dari jaksa agung. Diktum kedua, mengangkat beberapa pejabat, termasuk pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung. Diktum ketiga tentang pemberlakuan keppres sejak tanggal ditetapkan. Dengan demikian, jabatan yang disandang Hendarman Supandji saat ini tetap sah dan oleh karena itu termasuk legal. Juga terdapat asas contrarius actus. Asas ini bermakna bahwa pejabat yang mengeluarkan suatu keputusan, berwenang pula mencabutnya. Asas ini tecermin juga dalam pasal 19 ayat (1) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyatakan bahwa jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Keppres yang mengangkat Hendarman Supandji sebagai jaksa agung belum dicabut oleh presiden. Keppres tersebut tidak pula memiliki batasan masa jabatan. Keppres ini juga tidak pernah dibatalkan oleh pengadilan. Karena itu, keppres pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung masih sah dan mengikat.

Dalam hukum administrasi negara juga terdapat asas presumptio iustea causa, yang mengandung makna asas praduga bahwa tindakan pejabat dianggap benar sampai ada pembatalan. Semua tindakan hukum yang dilakukan Hendarman sebagai jaksa agung, tentu harus tetap dianggap sah sampai ada keppres pemberhentian atau ada pembatalan oleh pengadilan. Asas presumptio iustea causa tersebut lahir karena ada asas bahwa tindakan pejabat dianggap sah (rechtmatigheid). Asas ini diperlukan untuk memberikan suatu kepastian hukum terhadap semua tindakan yang dilakukan pejabat. Tindakan pejabat sah meski hal tersebut dipermasalahkan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Asas ini lahir karena adanya kebutuhan akan keberlangsungan kebijakan dan tindakan yang dilakukan pejabat. Dapat dibayangkan jika tindakan pejabat harus berhenti karena ada gugatan ke pengadilan, akan berhentilah semua roda pemerintahan ini dan pasti terjadi suatu kekacauan pemerintahan. Untuk menyudahi polemik ini, terdapat jalan keluar yang sangat simpel. Jika keabsahan Hendarman sebagai jaksa agung dianggap masuk wilayah syubhat (perkara yang samar-samar), jalan keluar itu berupa penerbitan keppres yang mengangkat Hendarman sebagai jaksa agung serta keppres ini mempunyai daya laku surut sejak 21 Oktober 2009. Namun, sebenarnya keppres ini tidak perlu karena overbodig (berlebihan pengaturan). Tanpa itu, legalitas Hendarman sebagai jaksa agung tidak diragukan lagi. Tapi, hal ini mungkin diperlukan untuk memuaskan seorang Yusril.

*) M. Hadi Shubhan , doktor ilmu hukum, dosen mata kuliah Sengketa Pemerintahan Fakultas Hukum dan Sekretaris Universitas Airlangga.

Sumber: Jawapos, Jum'at, 09 Juli 2010

Rapor Biru Kredit Perbankan

Oleh Agus Suman

TABURAN kredit perbankan sampai pertengahan tahun ini mengabarkan berita positif. Bahkan, pada pekan-pekan akhir menjelang ujung semester I/2010, keran kredit menyembur cukup kencang. Sepanjang sepekan saja, kredit dengan mata uang rupiah berhasil digenjot hingga Rp 10,91 triliun. Memang, kredit dengan valas melorot hingga hanya Rp 2,09 triliun. Tapi, bila dihitung, total kucuran kredit perbankan hingga akhir semester I/2010 meningkat Rp 239,88 triliun bila disandingkan tahun lalu atau mencapai Rp 1.545,45 triliun. Ada pun secara year-to-date (YtD) atau mulai periode awal Januari hingga Juni 2010, pertumbuhan kredit perbankan tercatat mencapai Rp 115,25 triliun atau naik 8,06 persen. Bandingkan dengan tahun lalu. Sepanjang Januari-September 2009, kredit yang mengucur hanya Rp 46,2 triliun. Bahkan, posisi total kredit pada akhir kuartal III/2009 hanya sekitar Rp 1.353,9 triliun. Memang, kecemasan sempat menghadang pada awal warsa 2010 ini. Pada Januari tersebut, kredit perbankan sempat melorot menjadi Rp 1.405,64 triliun atau turun sekitar Rp 31,7 triliun dari akhir 2009 yang mencapai Rp1.437,93 triliun. Tapi, memasuki kuartal II/2010, pertumbuhan kredit mulai merangkak. Tercatat pada April 2010, total kredit yang sudah disalurkan bank mencapai Rp 1.446,9 triliun. Tentu, angka tersebut meningkat sekitar 1,17 persen jika dibanding posisi pada akhir 2009 tersebut.

Melihat performa kredit perbankan saat ini, pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang pemerintah pada kisaran 5,8 persen terasa ringan. Sebab, jika pertumbuhan kinerja kredit perbankan dipertahankan seperti saat ini, pencapaian pertumbuhan kredit 30 persen tahun ini menjadi kenyataan. Untuk pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah tersebut, pertumbuhan kredit hanya butuh membiak pada kisaran 17-20 persen. Tentu saja, laju kredit yang pesat itu dapat me-lena-kan jika kita tidak mencermati sektor-sektor yang dikucuri kredit baru tersebut. Seandainya kredit investasi, kredit modal kerja, maupun kredit konsumen disirami kredit secara merata, tentu kecemasan terhadap kibaran kredit tidak perlu ada. Tapi, fakta di lapangan, ternyata porsi kredit konsumsi yang disalurkan perbankan terus meningkat. Itu berbanding terbalik dengan porsi modal kerja yang terus menurun. Kondisi tersebut menjadi penegas dengan makin membesarnya kontribusi konsumsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa. Berdasar data, sektor konsumsi merupakan pasar kredit yang paling lahap dengan kucuran kredit yang mencapai Rp 483,36 triliun sejak Januari 2010 atau tumbuh sekitar 10,6 persen dari posisi tahun lalu Rp 436,99 triliun. Bila kita lihat sepuluh tahun yang lalu, porsi kredit komsumsi tidaklah terlalu mendominasi total kredit. Pada 2001, dana pinjaman untuk sektor itu hanya 14,76 persen dari akumulasi angka kredit perbankan nasional. Namun, pada 2009 yang porsinya cukup dahsyat, porsi konsumsi kini mencapai level 40 persen dari total kredit perbankan di Indonesia.

Nahasnya, efek timpangnya sektor yang digenangi kredit tersebut memang tidak dirasakan jangka pendek. Tapi, sektor perbankan yang menelantarkan sektor lain dalam pemberian kredit akan berdampak serius bagi perekonomian nasional pada masa depan. Bila dilacak lagi derasnya kucuran kredit perbankan pada kredit konsumtif yang jauh melebihi angka kredit yang dialirkan pada kredit produktif, tampak sekitar 29 persen diberikan langsung kepada nasabah perbankan. Bahkan, terdapat Rp 159,67 triliun yang merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha. Sebagian besar isinya merupakan kredit multifinance, koperasi simpan pinjam, dan institusi lain yang meneruskan pembiayaan konsumtif kepada nasabahnya. Memang, tidak dimungkiri, sektor konsumsi menjadi ''penyelamat'' pertumbuhan kita. Bahkan, selama lima tahun terakhir, sektor itu mendongkrak sumbangan terhadap PDB dari 68 persen menjadi 72 persen.

Pro-Sektor Perbankan

Dari rapor biru kredit perbankan pada semester ini, terasa bahwa ikrar pemerintah untuk memajukan sektor riil masih menjadi gaung. Bahkan, dengan BI rate yang masih di level 6,5 persen, tentu kredit murah masih belum dapat dihadirkan. Sebab, jika sektor riil yang diharapkan maju pesat karena mempunyai efek berganda terhadap kondisi ekonomi, bunga yang rendah adalah harga mati. Tentu, tanpa penurunan tingkat suku bunga, sampai kapan pun pelaku sektor riil akan sulit mendapatkan pinjaman modal usaha dengan nominal yang mereka butuhkan. Hal itu menjadi salah satu biang keladi ketimpangan pada proporsi kredit karena minimnya permintaan kredit dari sektor riil. Minimnya permintaan kredit dari sektor riil itu pula yang memotivasi sektor perbankan menjadi lebih agresif dalam menawarkan aneka kredit konsumsi kepada masyarakat, khususnya yang menengah ke atas. Pada akhirnya, sektor perbankanlah yang menikmati keuntungan dari rapor biru itu. Terbukti, dari tahun ke tahun, lumbung-lumbung labanya terus membubung. Kondisi yang cukup nyaman akhirnya membuat sektor perbankan semakin malas menawarkan kredit modal kerja kepada pelaku sektor riil.

Jika ditelaah lebih lanjut, margin keuntungan kredit konsumsi memang sangat menggiurkan. Mengingat, bunganya saja mencapai level 16 persen, sedangkan bunga kredit modal kerja dan investasi hanya berkisar 13-14 persen. Karena itu, rapor biru kredit perbankan ini tidak hanya berhenti dirayakan pada fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi semata yang semakin baik. Tapi, terjadinya ketimpangan sektor-sektor yang menerima kucuran pinjaman juga menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Jika meriahnya kredit perbankan semata yang dituju, tentu investor asing yang giat berinvestasi pada perbankan nasional akan semakin tidak terbendung. Sebab, fokus usaha bank-bank asing tersebut tidak ada lain adalah mengucurkan kredit konsumtif yang sangat menggiurkan bagi mereka. Tentu, kinerja perbankan lewat penyaluran kredit pada semester I/2010 ini harus kita apresiasi dan tentu tidak ada maksud untuk mengerem keuntungan perbankan yang didapat dari bisnis keuangan tersebut. Sebab, memang salah satu sumber pendapatan bank adalah melalui pendapatan bunga kredit yang diberikan. Hanya, kita berharap rapor biru yang dihadirkan pada semester ini nanti lebih berkualitas. Sektor riil yang kondisinya masih belum kukuh juga bisa turut menikmatinya.

*). Agus Suman, guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya

Sumber: Jawapos, Jum'at, 09 Juli 2010

Mari Belajar ke Swiss

Oleh Djoko Susilo

MULAI 6 hingga 9 Juli besok, Presiden Swiss Doris Leuthard berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan kenegaraan itu, ikut sejumlah pejabat tinggi negara dan pengusaha papan atas. Mereka akan mengunjungi sejumlah proyek di Jakarta dan Surabaya. Meski terkenal sebagai negara kaya, mereka cukup naik pesawat komersial. Tidak perlu menyewa, apalagi membeli pesawat sendiri. Orang Swiss terkenal sangat efisien. Memang, ketika saya tiba di Swiss pada Maret lalu, sebagai mantan wartawan dan anggota DPR, perhatian saya langsung tertarik pada masalah sistem politik di Swiss, khususnya parlemen. Tentu saja ini terkait dengan segala macam hiruk-pikuk di DPR. Termasuk, usul yang agak aneh: minta dana konstituensi Rp 15 miliar per anggota. Sebelum ke Swiss, pemahaman saya tentang demokrasi hanya dua. Yakni, sistem parlementer ala Westminster di Inggris atau sistem presidensial di Amerika Serikat. Tapi, sekarang harus saya koreksi karena ada sistem demokrasi langsung atau direct democracy ala Swiss. Sistem demokrasi langsung tersebut sudah lama menjadi tradisi dan setidaknya dalam konstitusi Swiss 1849 sudah dicantumkan. Inti sistem itu adalah kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh rakyat. Dalam sistem tersebut, semua kebijaksanaan pemerintah yang memengaruhi hajat hidup orang banyak bisa dibatalkan bila tidak didukung mayoritas rakyat melalui mekanisme referendum. Misalnya, ketika Swiss memutuskan menjadi anggota PBB, hendak membubarkan tentara, dan terakhir tentu saja soal menara masjid. Referendum bisa berasal dari inisiatif pemerintah maupun rakyat. Setiap warga Swiss berhak mengajukan referendum untuk membatalkan keputusan parlemen, asalkan bisa mengumpullan 50.000 tanda tangan yang mendukungnya dalam tempo 100 hari sejak UU disahkan parlemen. Misalnya, parlemen Swiss dan pemerintah memutuskan pembangunan pusat listrik tenaga nuklir (PLTN). Jika ada rakyat yang tidak menyetujui, mereka bisa membatalkan melalui mekanisme referendum.

Lantaran sebuah undang-undang atau peraturan bisa dibatalkan melalui referendum, parlemen dan pemerintah tidak sembrono dalam mengambil keputusan. Akibatnya, pengambilan keputusan atas sebuah undang-undang sangat lamban karena harus memperhatikan saran dan pendapat dari banyak pihak, khususnya para stakeholders. Parlemen Swiss adalah lembaga yang sangat dipercaya masyarakat. Mengapa bisa demikian? Salah satu penyebabnya, anggota parlemen Swiss tidak terlalu tamak dengan uang dan fasilitas. Mereka tidak digaji tetap dan tidak menerima pensiun dari jabatannya tersebut. Karena itu, terasa sangat aneh kalau ada anggota DPR yang sampai meminta jatah Rp 15 miliar, meski dengan dalih untuk konstituennya. Memang, menjadi anggota DPR di Swiss merupakan sebuah pengabdian. Tidak untuk mencari pekerjaan. Meski tidak menerima gaji, anggota parlemen di sana menerima bantuan transportasi, sewa hotel atau apartemen, serta bantuan sekretariat atau urusan kantor yang jumlahnya dalam setahun hanya sekitar USD 100.000. Jumlah itu tampak banyak. Tapi, jika dibanding pendapatan per kapita rakyat Swiss yang USD 64.000, jumlah tersebut relatif wajar. Staf politik KBRI Bern belum lama ini membuat kajian perbandingan dengan Indonesia. Anggota DPR RI menerima gaji dan fasilitas yang dalam setahun mencapai Rp 1,5 miliar atau hampir USD 150.000. Itu jelas sangat tinggi. Jumlah tersebut, bagi banyak pihak, dirasa mengagetkan karena fasilitas itu diberikan kepada anggota DPR yang rakyatnya hanya berpenghasilan USD 2.300 per tahun.

Jika dibanding UMR di Swiss, anggota DPR Swiss rata-rata hanya menerima empat kali rata-rata UMR. Sebab, UMR Swiss adalah 3.300 franc Swiss. Jika anggota DPR mau meniru gaji atau fasilitas seperti di Swiss, mereka semestinya hanya menerima sekitar Rp 6 juta. Dengan ''normal''-nya gaji atau fasilitas anggota DPR tersebut, tidak banyak keluhan terhadap mereka. Sebaliknya, di Indonesia, rakyat layak marah kalau kinerja mereka sangat buruk karena gaji dan fasilitas DPR sekitar 100 kali lebih dari rata-rata UMR. Di Swiss, bukan hanya anggota DPR yang hidup secara wajar. Misalnya, ke mana-mana naik trem, bus kota, atau KA yang memang terkenal tepat dengan jadwal. Para menteri pun hidup normal. Karena itu, tidak heran, sesekali kita ketemu menteri yang sedang menunggu bus atau trem. Belum lama ini, saya ketemu seorang pejabat setingkat menteri negara lingkungan hidup. Dia terheran-heran ketika saya tanya soal mobil dinasnya. Bagi dia, tidak perlu mobil karena ke mana-mana bisa naik kendaraan umum atau malah naik sepeda saja. Warga Swiss sangat prihatin terhadap lingkungan hidup sehingga listrik boleh diproduksi hanya dengan tenaga air atau nuklir. Batu bara dan sumber energi lain-lain yang merusak lingkungan dilarang keras. Karena transportasi efisien dan tepat waktu, sangat jarang orang Swiss yang menggunakan kendaraan pribadi. Mobil pribadi hanya dipakai pada waktu weekend. Swiss juga terkenal produktif dan efisien. Tidak heran, dengan penduduk 7,7 juta jiwa, mereka bisa mengekspor hampir USD 200 miliar per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta yang hanya mengekspor sekitar USD 120 miliar. Jelas, kita kalah produktif dari warga Swiss. Karena itu, sudah waktunya kita perlu belajar ke Swiss, negara kecil tapi indah dan produktif.

*) Dubes RI untuk Swiss, mantan wartawan Jawa Pos

Sumber: Jawapos, Kamis, 08 Juli 2010

Dari Sujud, Lahirlah Negarawan; Refleksi Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW

Oleh Bashori Muchsin

"NEGARA ini butuh banyak negarawan. Sebab, di negara ini banyak problem yang membutuhkan penyelesaian, yang ketika dicoba diselesaikan muncullah penyakit perilaku gaya baru. Itu terjadi karena masih bersemainya elite strategis yang mengisi dan membingkai piramida kekuasaan, yang mengidap krisis kebertuhanan (Imam KH, Agama Langit, Agama HAM, 2006)." Pernyataan itu menunjukkan bahwa negeri ini masih "dibanjiri" banyak problem berat yang mengakibatkan keberlanjutan hidup rakyat di ujung sekarat. Kondisi itu hanya bisa dientas negarawan, sosok manusia langka yang sulit ditemukan. Tampaknya, rakyat mudah menemukan sosok istimewa itu. Namun, setelah perjalanan gaya kepemimpinannya diikuti, dia tak pantas jadi negarawan, bahkan lebih tepat menyandang stigma pecundang dan "pembangkang" amanat kerakyatan. Seseorang memang bisa menjadi penguasa, pemimpin di level nasional, atau merebut kekuasaan. Tetapi, dia belum tentu mampu merebut identitas negarawan, menjadi nasionalis, sosok pemimpin yang hatinya gampang terbakar dan berkobar memikirkan nasib rakyat. Yang sering kita temukan, seseorang yang berkuasa hanya asal bisa berkuasa atau menguasai. Seseorang yang hanya bisa berkuasa berarti tergelincir pada penahbisan kekuasan, bukan penahbisan kewajiban yang harus dia tunaikan.

Dalam buku masterpiece berjudul Republic, Plato berpesan, "Penguasa diama­natkan oleh Tuhan, pertama-tama dan terutama, agar menjadi penjaga yang baik (good guardians) sebaik terhadap anak sendiri." Pesan itu sangat sarat muatan moral-edukatif atau dimensi etika dan pendidikan. Pesan sang filsuf ditujukan kepada para pemimpin yang menduduki posisi jabatan strategis, yang dikenal dengan elitisme kekuasaan, supaya saat jadi pemimpin atau pejabat. Mereka ingat dan giat menegakkan amanat. Amanat tersebut harus dijaga dengan segenap jiwa raga atau pertaruhan apa saja. Negarawan memang tidak harus menjadi penguasa. Tetapi, penguasa harus menjadi negarawan. Roda kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan berjalan normal dan mencapai hal yang diobsesikan jika masyarakat dan negara ini mempunyai penguasa yang juga negarawan. Penguasa seperti itu adalah cerminan sosok yang pikiran dan perbuatannya difokuskan pada pengabdian terhadap kehidupan masyarakat dan negara. Jika dia terpanggil, tugas negara yang ditunaikan adalah cerminan bahasa kepentingan masyarakat.

Salah satu ajaran Islam yang terbilang fundamental dan dapat dijadikan sebagai kekuatan moral untuk mencip­takan pencerahan reformasi kehidupan manusia adalah kewajiban menunaikan salat. Kewajiban itu bisa diorientasikan untuk meluruskan perjalanan reformasi yang masih ternodai berbagai bentuk penyakit kronis. Salah satunya adalah masalah KKN yang hingga kini membelit bangsa. Melalui sujud (penyerahan diri secara total), manusia yang sudah atau sedang terjerumus sebagai "pengeropos" bangsa itu disembuhkan, dijernihkan. Kalau rohaninya bisa sembuh, berbagai bentuk penyakit yang marak di masyarakat niscaya tidak sulit disembuhkan. Setidaknya, kecenderungan menodai diri bisa dia cegah. Salat tergolong kewajiban istimewa. Sebab, salat diturunkan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Isra Mikraj. Begitu pentingnya, ajaran salat dapat dibaca dalam isyarat berikut. "Salat (sujud) dapat mencegah kekejian dan kemungkaran serta merupakan tiang agama. Karena itu, yang meninggalkan salat berarti menghancurkan agama." Artinya, sujud (dalam salat) merupakan kekuatan moral stategis untuk menyucikan dan mencerahkan perjalanan reformasi yang kini dikotori. Jika perjalanan Republik Indonesia hingga kini masih sarat akan praktik-praktik pembangkangan, politisasi agenda reformasi, dan budaya pembusukan nilai (values decay), itu mengindikasikan pengua­sa-penguasa bangsa ini belum salat secara benar. Kalaupun sudah menjalankan, salat tersebut tidak lebih dari perhiasan diri yang bersifat kultural serta menjadi formalisme spiritual yang belum menyentuh dan mencerahkan.

Kesakralan ajaran salat memberikan tekanan esoteris-humanistis. Salat adalah kewajiban yang dapat mengur­ai problem kehidupan manusia dalam berbangsa dan berne­gara. Setiap manusia yang menjalankan salat diantarkan untuk bisa memahami dan melaksanakan tugas-tugas besarnya di muka bumi, seperti memakmurkan dan menjaga bumi dari berbagai perilaku yang bermodus merusak dan menghancurkan. Ada aspek edukasi spiritualitas dan sosialitas dalam salat, terutama yang bertema amanat. Komunitas muslim diberi didikan moral ketuhanan melalui salat, khususnya elite penguasanya, tentang cara menjadi pemimpin yang negarawan, tidak semata mementingkan ambisi diri, kroni, dan golongan. Melainkan, cara menempatkan Tuhan dalam kinerjanya. Pemimpin yang negarawan dapat diniscayakan lahir dan terus tumbuh subur dari bumi pertiwi (Indonesia) bila konstruksi relasional dengan Sang Maha Pencipta tetap lestari dijaga dan ditegakkan. Adapun kekuatan spiritualitas yang bisa diharapkan adalah menunaikan salat dengan sebenar-benarnya: menghadirkan Allah SWT dalam diri dan menjadikan cahaya-Nya untuk mencerahkan batin yang masih berselimut kabut noda atau sarat akan berbagai bentuk penyakit. Krisis spiritualitas, kelabilan psikologis, atau kehampaan (kekosongan) batin manusia sudah seharusnya disembuhkan dengan kembali kepada Tuhan. Keterasingan disebabkan ulah manusia yang mengalienasikan diri dari bangunan relasi vertikal dengan-Nya. Sementara itu, salat adalah jalan yang tepat untuk kembalinya manusia dari keterasingan menuju kedekatan dan keharmonisan dengan-Nya. Semakin dekat dia dengan Tuhan, otomatis semakin besar rasa tanggung jawabnya terhadap implementasi kewajiban publik yang sudah digariskan-Nya. Kedekatan dengan Tuhan adalah jalan utama untuk menjadi pemimpin yang selalu mengemas diri sebagai pelayan masyarakat. Carilah aku di antara orang-orang yang hancur hatinya adalah jawaban Nabi Muhammad tentang pembumian pelayanan publik terbaik saat ditanya sahabat-sahabatnya.

*) Prof Dr Bashori Muchsin MSi , guru besar dan pembantu rektor II Universitas Islam Malang

Sumber: Jawapos, Sabtu, 10 Juli 2010

Tendangan Penalti dan Fisika

Oleh: Yohanes Surya

Masih ingat bagaimana Ghana tersingkir dari Piala Dunia 2010? Waktu itu, Asamoah Gyan, yang menjadi eksekutor tendangan penalti, gagal memanfaatkan peluang super emas yang diberikan wasit Olegario Benquerenca dalam pertandingan yang sangat seru tersebut. Pertandingan pun dilanjutkan lewat drama adu penalti di mana akhirnya Ghana tersingkir setelah kalah 2-4 melawan Uruguay dalam adu tendangan 12 pas itu. Menangislah seluruh Afrika karena satu-satunya wakil Benua Afrika yang tersisa di babak delapan besar gagal masuk semifinal. Bukan hanya Afrika yang menangis karena tendangan penalti, Asia pun menangis karena Jepang gagal dalam adu penalti melawan Paraguay.

Apa sebenarnya penalti?

Sebenarnya apa sih tendangan penalti atau tendangan dua belas pas itu? Mengapa para penjaga gawang kok takut sekali dengan tendangan ini? Mengapa pada tendangan penalti penjaga gawang sulit sekali menangkap bola?

Tendangan penalti merupakan tendangan hukuman ketika seorang pemain melakukan pelanggaran keras di daerah kotak penalti. Tendangan ini juga dipakai untuk menentukan pemenang dalam suatu pertandingan penentuan dari suatu ajang besar, seperti seperti Piala Dunia atau Piala Eropa. Setiap pihak diberikan kesempatan melakukan tendangan lima kali dari kotak penalti (pada jarak sekitar 11 meter dari gawang). Tim yang paling banyak memasukkan bola ke dalam gawang, dialah yang menang. Piala Dunia selalu penuh dengan drama tendangan penalti ini. Bahkan, banyak orang meramalkan bahwa final Piala Dunia 2010 akan diwarnai dengan drama yang membuat jantung rasanya mau copot ini. Dalam melakukan tendangan penalti, seorang pemain profesional biasanya menendang bola tidak terlalu keras. Yang penting adalah berusaha memasukkan bola ke pojok-pojok gawang atau mengecoh penjaga gawang. Memang, menendang bola ke pojok-pojok gawang tidak terlalu mudah. Si penendang harus memerhatikan arah angin, puntiran (rotasi) serta kecepatan bola dan harus membuat kalkulasi cepat di otaknya. Bola yang berputar terlalu cepat dapat menimbulkan efek magnus yang akan menyimpangkan bola. Bola yang bergerak terlalu cepat pun dapat menimbulkan masalah karena dapat menimbulkan turbulen udara yang mengakibatkan bola menyimpang.

Menurut penelitian, tendangan yang paling efektif adalah tendangan dengan kekuatan 75 persen sampai 80 persen dari kekuatan maksimum kira-kira 90 kilometer per jam (ini cepat lho... sama dengan kecepatan mobil rata-rata di jalan tol). Dengan kecepatan ini, bola akan tiba di pojok kanan atau kiri bawah dalam waktu sekitar 0,36 detik dan akan tiba di pojok kanan atau kiri atas dalam waktu sekitar 0,42 detik. Menurut perhitungan Sam Williamson, fisikawan yang bekerja di Center for Neural Science New York, waktu reaksi terbaik dari seorang penjaga gawang adalah 0,26 detik. Setelah bereaksi, otak sang penjaga gawang harus mengirimkan sinyal ke otot. Setelah itu, baru ia melompat menerkam bola. Kalau kita hitung, waktu total untuk melakukan gerakan-gerakan ini diperkirakan lebih dari 0,6 detik. Itu sebabnya bola yang disontek ke ujung-ujung gawang biasanya sangat sulit ditangkap. Namun Iker Casillas yang katanya kiper terbaik Spanyol sering kali mampu meninju bola yang ditendang dari kotak penalti ini. Bagaimana mereka melakukannya? Casillas atau penjaga gawang lain mampu menahan bola jika mereka mampu memperkirakan dulu ke arah mana bola akan ditendang.

Mendahului bola

Mereka biasanya bereaksi sangat cepat atau melompat lebih dulu dari bola. Namun bagi kiper-kiper yang belum pengalaman (antisipasinya kurang cepat), sering kali terjadi kejadian yang lucu, yaitu bola bergerak ke kanan tetapi kiper melompat ke kiri (penonton yang tidak tahu alasannya sering mengejek ”bodoh sekali kiper ini, bola ke kanan, kok melompatnya ke kiri”). Untuk melatih reaksi yang cepat dan tepat, dibutuhkan latihan yang panjang dan pengalaman yang cukup. Jadi, jangan heran para kiper atau penjaga gawang dalam Piala Eropa atau Piala Dunia rata-rata lebih tua dibandingkan dengan pemain lainnya. Lihat saja enam pemain tertua di Piala Dunia 2010, semuanya adalah penjaga gawang yang usianya di atas 36 tahun. Mereka adalah David James (Inggris), Sander Boschker (Belanda), Marcus Hahnemann (Amerika Serikat), Mark Schwarzer (Australia), Oscar Perez (Meksiko), dan Lee Woon-jae (Korea Selatan).

(Yohanes Surya Rektor Universitas Multimedia Nusantara/ Chairman Surya Institute)

Sumber: Kompas, Kamis, 8 Juli 2010

Stagnasi Angka Kemiskinan

Oleh: IVAN A HADAR

Menurut Badan Pusat Statistik, target pemerintah menurunkan angka kemiskinan dari 14,15 persen (Maret 2009) menjadi 11 persen pada 2010 bakal sulit tercapai. Hal ini ditandai dengan laju penurunan angka kemiskinan selama Maret 2009-Maret 2010 yang hanya 0,82 persen, lebih lambat dibandingkan dengan periode 2008-2009 sebesar 1,27 persen (Kompas, 2/7/2010). Diperkirakan, pengurangan angka kemiskinan menjadi 7,5 persen pada 2015 sesuai target Pembangunan Milenium untuk Indonesia juga akan melenceng. Tingginya angka inflasi serta semakin terpuruknya daya saing ekonomi Indonesia adalah beberapa penyebab. Pada saat yang sama, BPS mencatat terjadinya penyusutan drastis lahan pertanian di Pulau Jawa sebesar 27 juta hektar per tahun (Koran Tempo, 1/7/2010) sebagai penyebab lain kemiskinan. Dua tahun lalu, mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono pernah membandingkan profil lahan pertanian Indonesia dengan Brasil. Luas lahan pertanian Indonesia yang sekitar 21 juta hektar sama dengan luas lahan kedelai Brasil yang ”hanya” berpenduduk 200 juta. Sementara luas sawah Indonesia sama dengan luas lahan tebu di Brasil, sedangkan luas ladang penggembalaan sapi yang jumlahnya 220 juta hektar lebih besar dari seluruh daratan Indonesia yang memiliki luas sekitar 190 juta ha (Kompas, 9/4/2008). Kondisi di mana jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,3 persen per tahun dan terkonsentrasi di Jawa telah mendorong laju alih fungsi lahan semakin tinggi. Jawa tereksploitasi berlebihan, tecermin dari luas pemilikan lahan rata-rata yang terus menciut. Saat ini, 0,3 ha per kepala keluarga (KK) di Jawa dan 1 ha di luar Jawa. Survei Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA, 2003) menemukan kenyataan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 ha kalah dibandingkan upah bulanan buruh industri di kota besar. Separuh rakyat Indonesia yang miskin hidup di pedesaan. Sebagian besar dari mereka berstatus petani gurem atau buruh tani. Menurut World Food Programme (2009), jumlah mereka yang miskin dan kekurangan gizi di Indonesia akan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa perubahan kebijakan signifikan.

Reforma agraria

Terkait kebijakan, beberapa hal berikut perlu diperhatikan. Pemenang Hadiah Nobel, Theodore W Schulz, dalam buku Transforming Traditional Agriculture menerangkan konsep pertanian subsisten di negara berkembang sebagai sesuatu yang ”rasional karena meminimalisasi risiko”. Ia menganjurkan peningkatan produktivitas lewat teknologi baru yang memicu varietas unggul yang jadi landasan Revolusi Hijau. Dampaknya, di Asia tahun 1960-an dan 1970-an, berupa peningkatan produktivitas dan ”lompatan besar” persediaan pangan nyaris seiring pertumbuhan penduduk. Sayangnya, pada saat sama terjadi pemiskinan petani kecil. Tak heran Amartya Sen dalam Poverty and Famines (1981) menyimpulkan, persyaratan bagi pengamanan pangan masyarakat bukan pengadaan bahan pangan semata, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang miskin dan lapar. Aksesibilitas pada pangan terkait ketersediaan dan pemilikan lahan pertanian. Hal yang mensyaratkan reforma agraria (land reform). Selain itu, diperlukan kebijakan mengatasi menyusutnya lahan pertanian. Erosi yang menyebabkan hilangnya kandungan gizi tanah, pencemaran lingkungan, dan perubahan peruntukan dari lahan pertanian ke lahan nonpertanian adalah berbagai penyebab rusak atau punahnya lahan subur pertanian. Saat ini, menurut International Soil Reference and Information Centre, lahan subur bumi seluas Eropa Barat (305 juta ha) telah rusak berat. Sementara 910 juta ha lain dalam bahaya menjadi tak subur bila upaya menahan erosi dilakukan setengah hati. Indonesia sebagai negara tropis amat mudah dilanda erosi terutama jika hutannya tidak dilestarikan.

Ketika hutan dan akar pohon dimusnahkan, lahan subur ikut punah. Menurut data FAO (2008), setiap tahun sekitar 18 miliar ha hutan hujan tropis punah, dua pertiganya di Asia dan Amerika Selatan. Indonesia memberi kontribusi besar, sekitar 10 persen. Tak jarang, lahan tersubur dikorbankan untuk perluasan kota, pembangunan jalan, kawasan industri dan pertambangan. Penyebab lain punahnya lahan subur adalah pencemaran lingkungan dan penggunaan pestisida berlebihan. Bila ”sistem-ekologi” tanah terus dibebani, suatu saat akan kehilangan daya regenerasi. Tiada resep dalam membendung punahnya tanah subur pertanian. Tiap negara harus mengembangkan strategi penggunaan lahan secara tepat. Tanah dan kualitasnya harus didata. Juga perlu diungkap penyebab—ekonomi dan sosial—dari meningkatnya erosi. Yang amat mendesak, mengupayakan terlaksananya pengelolaan lahan pertanian secara ramah lingkungan, dengan teknologi tepat guna, menanam tanaman yang telah teruji ketahanannya ratusan tahun, dan efisien menggunakan pupuk. Drama punahnya lahan subur pertanian—yang di beberapa negara berkembang berujung pada kelaparan—meski diwarnai aneka ramalan suram, pada prinsipnya bisa diubah skenarionya. Banyak contoh membuktikan, asumsi optimistis itu bukan khayalan. Salah satunya dari Kosta Rika. Dengan metode penanaman ramah lingkungan, tanpa pestisida, panen jagung melonjak dari 2.760 menjadi 3.680 kg/ha. Pelajaran yang bisa ditarik, saat petani terlibat dan yakin akan keberhasilan metode cocok tanam yang ramah lingkungan, hilangnya lahan subur bisa terhindarkan. Pada gilirannya, penghasilan petani miskin dipastikan naik.

Ivan A Hadar Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education; Wakil Pemred ”Jurnal Sosial Demokrasi”

Sumber: Kompas, Kamis, 8 Juli 2010

Dialog Tiga Mojang

Oleh: Alois A Nugroho

Pematung Nyoman Nuarta gundah akibat pembongkaran paksa karya ”Tiga Mojang” yang sudah terpancang beberapa tahun di sebuah kompleks perumahan di Bekasi (Kompas, 4/7/2010). Tak hanya dari sudut estetika pembongkaran paksa itu dapat dipermasalahkan. Dari sudut etika komunikasi politik, pembongkaran paksa ini menimbulkan tanda tanya besar: benarkah bangsa kita masih terdiri dari manusia-manusia yang adil dan beradab? Atau, sebaliknya, sudah berubah jadi bangsa yang lalim dan biadab? Pertanyaan ini dapat kita kaji pada tataran negara atau administrasi publik (eksekutif, yudikatif, legislatif) ataupun pada tataran ruang publik dalam pengertian masyarakat sipil. Para pendiri bangsa kita telah jenial menemukan dan merumuskan ”kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai salah satu ”konsepsi politis” dalam kehidupan bernegara. Manusia Indonesia sebagai warga negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 ialah warga negara yang beradab dan adil. Apa arti beradab? Beradab ialah berusaha menjadi ”manusia sempurna” sesuai dengan agama atau doktrin moral yang dianut, setidaknya berusaha hidup sedekat mungkin dengan ideal atau cita-cita kesempurnaan moral itu. Begitulah waktu penulis masih anak balita, mendiang ayah selalu meminta penulis menjadi seperti Santo Aloysius Gonzaga (9 Maret 1568-21 Juni 1591), yakni menjaga kemurnian dan rela mengorbankan hidup demi keselamatan orang-orang lain. Adapun ibu menemani tidur sambil bertembang ”Mijil” dari Wulangrèh: poma kaki pada dipun éling mring pituturingong, sira uga satriya arané, nora kendhat jatmika ing budi, welas sarta asih samubarangipun (anakku, ingatlah selalu nasihatku, dirimu juga dapat disebut ksatria, bila senantiasa berbudi halus, dan berbelas kasih pada semua saja). Tentu saja dalam perjalanan menjadi manusia dewasa, ajaran-ajaran moral itu saling berkontestasi dalam diri manusia sebagai arena. Begitulah, ajaran menjaga kemurnian, misalnya, berkontestasi dengan habitus aristokrasi Jawa-pusat, bahkan dengan kalimat Goethe yang dikutip oleh Milan Kundera, einmal ist keinmal (sekali itu sama dengan tidak pernah) dan dengan uraian Soren Kierkegaard dalam The Diary of A Seducer. Meskipun pergulatan pada tataran pribadi dalam mengeja dan mewujudkan peradaban sangatlah dinamis dan kompleks, negara wajib mengakui kebebasan tiap warga negara untuk mengejar cita-cita sesuai dengan peradabannya, keyakinan moralnya atau keyakinan moral komunitasnya.

Pluralitas

Para bapak bangsa yang genius itu juga sudah melihat kenyataan pluralitas bangsa yang membentuk Republik Proklamasi ini. Maka, dipasanglah semboyan Bhinneka Tunggal Ika pada lambang negara kita. Ini berarti, dalam konteks manusia beradab wajib pula diwujudkan manusia adil. Kalau keberadaban lebih menyangkut liberty dalam mewujudkan ajaran kesempurnaan moral, keadilan lebih menyangkut kesetaraan dalam hubungan antar-ajaran moral itu. Tak ada ajaran moral yang diizinkan menang sendiri, mendominasi, atau mengoloni ajaran moral lain. Itu sebabnya, praktik yang berasal dari era Orde Baru yang menyebut semua kantor gubernur dengan pendopo gubernuran, misalnya di Aceh, adalah praktik yang tak dapat dibenarkan dalam etika komunikasi politik yang tak hanya beradab, tetapi juga adil. Banyak contoh lain dapat kita tambahkan. Lebih-lebih dalam politik dan administrasi publik, bahasa dan argumentasi yang dipakai seharusnya tidak berupa bahasa dan argumentasi yang berasal dari doktrin moral atau agama tertentu. Penggunaan kata pendopo dalam komunikasi politik nasional, bersama dengan ajaran ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, merupakan indikator adanya dominasi doktrin moral Jawa vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta). Ini melanggar kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni konsepsi politis yang menjadi prasyarat agar bangsa yang majemuk ini dapat bekerja sama dalam Negara Republik Proklamasi.

Biarpun jumlah orang Jawa secara statistik dapat disebut mayoritas, kosakata dan argumentasi yang berasal dari ajaran moral Jawa tidak boleh memenuhsesaki wacana politik dan administrasi publik. Nah, mayoritas Jawa, sama seperti mayoritas-mayoritas yang lain, tidak sepatutnya mendominasi kosakata dan argumentasi dalam administrasi publik. Dengan demikian, pembongkaran paksa patung Tiga Mojang dengan dalih ajaran moral mayoritas secara sadar atau tidak akan mengundang kembalinya praktik-praktik totalitarianisme Orde Baru. Bersama dengan penyerangan terhadap acara PDI-P di Banyuwangi dan kejadian-kejadian semacam, membuat kita sebenarnya tak lagi absah menepuk dada bahwa Indonesia adalah negara demokratis. Cukup menyedihkan bahwa pemerintah dan para politisi menganggap peristiwa-peristiwa semacam sebagai badai di cangkir kopi. Apakah mereka tak lagi memegang kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai konsepsi politik?

Ruang publik

Yang tak kalah penting adalah dialog dalam ruang publik, dalam pengertian masyarakat sipil. Dalih moral-religius atas pembongkaran paksa itu terus terang amat menggelikan, sekaligus menunjukkan bahwa tak ada komunikasi dan dialog pada tataran sosial. Memang selalu akan ada kelompok-kelompok yang tak mau berdialog, atas alasan apa pun. Etika diskursus mewajibkan semua pihak untuk berbesar hati, bertekun dan sabar, dalam meyakinkan mereka yang antidialog, bahwa musyawarah untuk mufakat itu penting, biarpun hasilnya bisa saja sebuah permufakatan bahwa kita memang berbeda. Dalam wawancara dengan Kompas, Nyoman Nuarta prihatin bahwa Indonesia sulit maju seperti Korea dan China karena bangsa Indonesia berada dalam ”kotak-kotak yang memecah belah”. Bangsa Indonesia memang terkotak-kotak dalam beraneka doktrin moral. Itulah pluralisme. Namun, bangsa Indonesia juga bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika dan mempunyai konsepsi politis ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Apakah kita sudah melupakan warisan bijak founding fathers kita? Apakah kita masih Indonesia?

Alois A Nugroho Guru Besar Filsafat Unika Atma Jaya Jakarta

Sumber: Kompas, Kamis, 8 Juli 2010

Gaza nan Indah nan Mengenaskan

Oleh: Makarim Wibisono

Ada banyak jalan menuju Roma, ungkapan ini juga mengena untuk Gaza karena memang ada banyak jalan menuju Gaza. Misalnya jalan yang ditempuh Mavi Marmara bersama armada Freedom Flotilla yang ingin merapat damai ke pantai Gaza lewat jalur laut. Jalur darat pun bisa ditempuh dari berbagai jalan, misalnya lewat Amman, Jordania, Tepi Barat, atau Rafah wilayah terdepan Mesir sesudah melewati El Arish. Persoalahnya adalah jalan-jalan tersebut telah ditutup rapat oleh Israel sejak Juni 2007 dalam rangka blokade ketat menekan Hamas di Gaza. Dengan alasannya sendiri, Mesir juga telah ikut serta melarang lalu lintas orang dan barang melewati lintas Rafah menuju Gaza sehingga lengkaplah upaya isolasi Gaza dari segala jurusan, baik darat, laut, maupun udara. Belakangan, sebagai reaksi pada tindakan brutal Israel terhadap Freedom Flotilla pada Mei yang lalu, lintas Rafah mulai dilonggarkan oleh Pemerintah Mesir. Dalam konteks itu, Marzuki Alie, Ketua DPR bersama rombongannya, 29 Juni 2010, berhasil melewati pos perbatasan Rafah menuju Gaza City. Tidak lama meninggalkan desa perbatasan dijumpai jalan menyisir pantai yang sangat Indah. Panjangnya melebihi Pantai Copacabana sampai Ipanema di Rio de Janeiro, Brasil. Keindahan panorama pantai Gaza meski tidak dilatarbelakangi gunung tinggi memancarkan keteduhan pemandangan alamiah.

Krisis kemanusiaan

Kesan ini seketika terkoyak oleh gambaran Kamp Pengungsi Dir Balah yang menampung lebih dari 100.000 orang yang hidup saling berimpitan. Juga mengenaskan keadaan di Distrik Beit Lahiya, Gaza Utara, yang tampak kusam padat penduduk dan tempat Kamp Jabaliya berlokasi yang miskin fasilitas karena letaknya tidak jauh dari perbatasan dengan Israel. Mudah terlihat fakta kehancuran bangunan-bangunan pemerintah dan sipil seperti Gedung Departemen Luar Negeri dan Parlemen di pusat Gaza City akibat ledakan roket-roket yang diluncurkan Israel. Kondisi fisik ini sempurna menggambarkan penderitaan penduduk yang tinggal di jalur Gaza sepanjang 41 kilometer itu. Anak-anak bermain di siang hari di sepanjang jalan di pusat kota karena jumlah sekolah yang ada tidak mampu menampung mereka belajar. Pabrik-pabrik tutup akibat serangan roket dan blokade mendorong meningkatnya jumlah pengangguran. Akibatnya, kondisi ekonomi domestik di Gaza memburuk. Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) akibat blokade membuat banyak kendaraan bermotor tidak berfungsi sehingga terlihat banyak kereta- kereta ditarik keledai sebagai alat transpor di perkotaan. Jumlah makanan, obat-obatan, dan alat-alat kedokteran menipis sehingga masalah kesehatan dan gizi buruk meluas di Gaza karena blokade telah mempersulit masuknya bahan-bahan vital tersebut. Bahan-bahan bangunan terhalang masuk sehingga plastik-plastik bekas dimanfaatkan sebagai pengganti genting atau atap di rumah-rumah sederhana. Sebagian besar keluarga di Gaza mengalami tingkat kemiskinan yang memprihatinkan.

Tampak jelas blokade di Gaza mengena langsung ke penduduk sipil, seperti anak-anak, ibu-ibu, dan penduduk usia lanjut. Oleh karena itu, masalah Gaza bukanlah masalah agama atau keamanan melainkan adalah masalah krisis kemanusiaan, masalah harkat hidup manusia, dan masalah hak-hak asasi manusia. Fakta ini menyentuh rasa kemanusiaan serta solidaritas universal dan berhasil menggalang bantuan kemanusiaan sehingga mengalirkan bantuan berupa obatan-obatan, makanan, dan kebutuhan pokok lainnya secara spontan. Masalahnya bagaimana bisa menyampaikan bantuan itu kepada pihak-pihak yang sangat membutuhkan di Gaza? Berulang kali usaha memasukkan bahan- bahan makanan dan obat-obatan ke Gaza tidak berhasil memasuki gerbang perbatasan. Tampaknya, Israel bersikukuh melaksanakan blokadenya dan menutup rapat jalur darat, laut, dan udara ke Gaza sehingga satu-satunya jalur yang mungkin ditempuh hanyalah melalui Rafah, wilayah Mesir. Gerakan kemanusiaan Viva Palestina berhasil memasukkan sejumlah obat-obatan pada 9 Maret 2009 melalui Rafah. Empat bulan sesudahnya, ratusan aktivis hak asasi manusia dari Amerika Serikat berhasil menyeberang ke jalur Gaza melalui Rafah dengan membawa bahan makanan di samping obat-obatan, dan pada awal tahun ini George Galloway bersama 528 aktivis dari 17 negara berhasil memasuki Gaza dengan membawa bantuan kemanusiaan. Malangnya, George Galloway akhirnya di-persona non grata-kan karena terlibat cekcok dengan petugas keamanan yang dekat dengan Mesir.

Terakhir, usaha mematahkan blokade Israel juga dilakukan oleh Kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan kemanusiaan bersama Armada Pembebasan (Freedom Flotilla). Israel bereaksi keras dan telah menyerang, membunuh, dan menangkap anggota-anggota misi kemanusiaan itu termasuk Surya dan teman-temannya dari Indonesia sehingga misi kemanusiaan itu gagal mencapai tujuannya. Ini jelas merupakan agresi Israel terhadap konvoi bantuan kemanusiaan yang sama sekali tanpa persenjataan. Peristiwa ini telah menunjukkan bahwa norma-norma global dan ketentuan-ketentuan hukum internasional, hukum laut, hukum humaniter internasional, dan hak asasi manusia telah dilanggar Israel. Adanya blokade dan pembiaran sehingga penduduk sipil Gaza terus mengalami penderitaannya adalah pelanggaran kemanusiaan yang serius (crime against humanity). Oleh karena itu, sangat wajar apabila Dewan HAM PBB memutuskan untuk membentuk Tim Pencari Fakta yang independen, dan hal ini senada dengan pernyataan Presiden Majelis Umum PBB, 31 Mei 2010. Laporan Goldstone, mekanisme khusus Dewan HAM PBB, yang berisi pengamatan langsung serta rekomendasinya perlu ditindaklanjuti untuk mengubah keadaan. Hanya usaha kemanusiaan bersama secara kolektif sajalah yang mampu menghentikan penderitaan bangsa Palestina di Gaza.

Perlu segera dicabut

Blokade yang menyengsarakan penduduk Gaza perlu segera dicabut dan semua perlintasan menuju Gaza harus dibuka secara permanen tanpa persyaratan apa pun. Dengan demikian, lalu lintas bantuan kemanusiaan berupa makanan, obatan-obatan, BBM dan bahan kebutuhan pokok lainnya dapat lancar memasuki Gaza. Kredibiltas norma-norma global dan wibawa hukum internasional saat ini sedang di ujung tanduk. Pilihannya jelas, apakah kita mulai bergerak bersama untuk menegakkan kembali panji- panji global governance dan hukum internasional sebagai kaidah hukum yang harus dipatuhi sesuai prinsip pacta sunt servanda? Ataukah kita memilih mencari jalan aman sambil melihat-lihat bagaimana perkembangan keadaan selanjutnya?

Mengatasi masalah kemanusiaan di Gaza tidak terlepas dari usaha mendapatkan pemecahan politik yang berkelanjutan di Palestina. Selama tangan-tangan asing masih terus campur tangan secara signifikan memengaruhi dinamika politik domestik di Palestina, selama itu pula penderitaan bangsa Palestina akan terus berlanjut. Oleh karena itu, satu-satunya jalan permanen menyelesaikan masalah Gaza dan bangsa Palestina adalah menghadirkan kemerdekaan negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya disertai integritas wilayah Palestina yang utuh. Untuk mencapai maksud itu, perlu dilakukan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas secara sungguh-sungguh. Negara kebangsaan hanya mungkin dilahirkan apabila semua warga bangsa memiliki keinginan untuk hidup bersama. Ernest Renan menunjukkan kunci utama dari kebangsaan adalah le desire d’etre ensemble. Oleh karena itu, identitas nasional Palestina perlu disemarakkan. Masalahnya adalah bagaimana usaha mengembangkan identitas nasional dalam rangka nation-building bisa berhasil jikalau interaksi antara penduduk Palestina di Gaza dengan penduduk Palestina di Tepi Barat ditutup jalur komunikasi dan transportasinya.

Rasa kebangsaan hanya bisa dibangun kuat apabila terjadi hubungan ekonomi, sosial, budaya, dan politik antarwarga bangsa dengan intensitas tinggi. Oleh karena itu, Indonesia bersama- sama dengan negara-negara Gerakan Non-Blok dan negara-negara Organisasi Konferensi Islam perlu bersama-sama membantu mencabut blokade yang memecah belah bangsa Palestina. Kalau dahulu kebijaksanaan apartheid di Afrika Selatan yang sempat memenjarakan Nelson Mandela bersama teman seperjuangannya lebih dari satu dekade dapat dihapuskan bersama, mengapa blokade Gaza saat ini tidak bisa dicabut? Tentu bisa. Hanya perlu pendekatan politik ke Mesir, Israel, dan Kelompok 4 yang telah mensponsori peta jalan damai. Resepnya adalah rasa kebangsaan Palestina yang cinta damai perlu ditonjolkan. Mengenai hal ini, George Santayana menulis, ”Our nationality is like our relations to women: too implicated in our moral nature to be changed honorably, and too accidental to be worth changing”.

Makarim Wibisono Anggota Rombongan Ketua DPR ke Gaza

Sumber: kompas, Kamis, 8 Juli 2010

Negara Harus Pegang Kendali

Oleh: Faisal Basri

Krisis ekonomi tahun 2008 yang berawal di Amerika Serikat dipicu oleh kegagalan sektor swasta (private sector failure) atau lebih lugas lagi: kegagalan pasar (market failure). Negara pontang-panting mengatasi keadaan agar tak terjadi kebangkrutan massal dan lonjakan pengangguran. Triliunan dollar uang rakyat terkuras untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan sekarat dan menyuntikkan dana segar ke industri-industri yang loyo akibat kekeringan likuiditas. Para penganut mazhab Keynesian bersorak sorai. Buku-buku karangan Keynes dan buku-buku baru yang berisi interpretasi baru Keynesian menghiasi rak-rak di toko-toko buku ternama. Superioritas Keynesian seolah memperoleh pengabsahan. Namun, ternyata, dalam hitungan belasan bulan saja, hiruk-pikuk Keynesian tiba-tiba meredup. Peran negara yang teramat masif memunculkan masalah yang tak kalah mencekam. Ratusan miliar dollar AS sirna tak berbekas, dan malah menimbulkan masalah baru: defisit anggaran yang kian akut serta utang pemerintah yang menggunung. Seluruh negara zona Eropa menabrak konstitusi mereka sendiri (Maastricht Treaty), yang mematok defisit anggaran tak boleh melebihi 3 persen dan nisbah utang terhadap produk domestik bruto maksimal 60 persen. Kegagalan pemerintah (government failure) ternyata menimbulkan akibat yang tak kalah parahnya.

Bukan negara vs pasar

Sudah saatnya kita tidak mempertentangkan antara peran negara dan peran pasar. Keduanya ibarat dua sisi uang logam. Dengan begitu, kita tidak melulu bicara marketisasi dalam bentuk market creating, serahkan saja sepenuhnya kepada pasar untuk menentukan apa, berapa banyak, di mana, untuk siapa barang dan jasa yang diproduksi. Tidak juga hanya mendorong pendulum bergerak ke arah liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Melainkan, pasar perlu dipandang sebagai kesatuan yang utuh, tidak saja sebagai instrumen untuk memajukan peradaban dan meninggikan martabat umat manusia. Untuk itu, pasar pun dituntut untuk menghadirkan fungsi pengaturan (market creating), stabilisasi (market stabilizing), dan pelegitimasian (market legitimizing). Fungsi-fungsi pasar yang hadir saling melengkapi akan menciptakan sistem pasar yang memperkokoh ketahanan ekonomi dan lebih menjamin peningkatan kesejahteraan sosial yang berkeadilan. Tanpa kendali negara, mustahil sistem pasar yang kokoh akan terhadirkan. Mekanisme pasar memang memiliki built-in stabilizer, tetapi di dalam prosesnya bisa menimbulkan gejolak yang tak tertanggungkan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang tak memiliki kelengkapan untuk melakukan penyesuaian. Apalagi kalau negara abai untuk menyiapkan jaring-jaring pengaman bagi kelompok masyarakat yang rentan.

Tengok saja pembiaran yang terjadi selama ini. Pascakrisis peran negara sangat pasif, lebih sebagai ”pemadam kebakaran”. Kebijakan-kebijakan pemerintah lebih bersifat reaktif dan kuratif. Padahal, kunci penyelesaian ada pada penguatan kelembagaan (institutions). Penguatan kelembagaan pasar (market institutions) membutuhkan kerangka dasar yang utuh dan terukur, yang memberikan kepastian bagi seluruh pelaku ekonomi untuk berkiprah secara maksimal sesuai dengan struktur insentif yang terbangun dari landasan kelembagaan yang kokoh. Struktur insentif tersebut diturunkan dari nilai-nilai dan norma-norma inti yang disepakati bersama secara politik. Memang kita sudah memiliki beberapa unsur dari keempat pilar pasar di atas. Sayangnya, kehadiran masing-masing unsur tersebut tidak dibingkai di dalam suatu naungan kerangka kelembagaan yang sistematik. Akibatnya, masing-masing unsur itu bukannya saling melengkapi dan saling mendukung, melainkan tak sedikit yang saling meniadakan.

Mematikan inisiatif

Dengan kasatmata kita menyaksikan keberadaan negara justru mematikan inisiatif swasta dan masyarakat. Negara bukannya mengarahkan sumber daya dikelola bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tetapi justru dibiarkan mengalir ke kekuatan-kekuatan ekonomi yang sangat terbatas. Negara membiarkan sumber daya ekonomi terkonsentrasi untuk kegiatan-kegiatan konsumtif, bukan untuk menambah kapasitas produksi dan meningkatkan produktivitas. Negara membiarkan saja pertumbuhan ekonomi bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam dengan penciptaan nilai tambah rendah. Perekonomian dibiarkan melahap sumber daya produktif langka secara boros, sementara kita seolah-olah merasa maju dengan pola konsumsi yang berkelimpahan walaupun berasal dari barang-barang impor. Negara menjadi sangat pragmatis. Yang penting pertumbuhan ekonomi makin tinggi, masuk ke dalam kelompok G-20 atau bergabung ke BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Tak peduli lagi dengan kualitas pertumbuhan, apakah menyerap lebih banyak tenaga kerja formal, lebih bertumpu pada kekuatan dalam negeri, dan lebih cepat mengurangi kemiskinan. Pemerintah lebih mengedepankan jargon ketimbang peta jalan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Rakyat kebanyakan cuma jadi keset. Setiap inisiatif untuk memperkokoh daya tahan rakyat dianggap sebagai ongkos ekonomi yang membebani APBN, bukan investasi untuk memperkokoh sistem pasar. Padahal, di hampir semua negara yang sekarang tergolong maju dan sejahtera, jaring-jaring pengaman sosial hadir hampir bersamaan dengan penguatan mekanisme pasar. Sudah saatnya mindset tentang pembangunan berubah total.

Faisal Basri Ekonom

Sumber: Kompas, Kamis, 8 Juli 2010

SANITAS; Selamat Tinggal Pohon Kelapa...

Oleh: INDIRA PERMANASARI

Suasana hening Desa Bukit Karya, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, pecah oleh suara lantang 17 orang perwakilan masyarakat. Alam yang bergunung-gunung dan lahan kering menjadi saksi akan janji mereka. Kami perwakilan masyarakat Boalemo sepakat dan ikhlas mendeklarasikan bahwa kami mendukung dan berkomitmen untuk tidak membuang tinja di sembarangan tempat, kecuali di jamban dan WC.” ”Kami akan mengawasi dan bersama-sama mencegah kebiasaan membuang kotoran di sungai, di bawah pohon kelapa, semak-semak, tepi pantai, dan tempat lain yang tidak semestinya untuk membuang kotoran. Kami akan mengajak dan membiasakan teman, saudara, dan keluarga untuk menggunakan jamban, sesederhana apa pun bangunannya.” Itulah deklarasi ”Bukit Karya”, dengan judul besar: Stop Buang Air Besar Sembarangan. Pernyataan itu dibacakan dengan sungguh-sungguh oleh wakil murid sekolah, mahasiswa, pemuda, kaum perempuan, tokoh adat, pejabat, dan masyarakat Boalemo di Desa Bukit Karya, di depan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, beberapa waktu lalu. Orang kota yang mendengarkan deklarasi itu boleh jadi tersenyum-senyum. Saat dunia di luar desa terpencil itu tengah berkompetisi memenangi perlombaan teknologi, mencari sumber energi baru, dan sibuk dengan misi ke Mars, warga Desa Bukit Karya bertahun-tahun berusaha membiasakan diri buang air di jamban. Akan tetapi, itulah kerja dan prestasi sesungguhnya di tengah realitas perilaku hidup bersih yang masih rendah, termasuk di wilayah lain di Indonesia. Menurut Kepala Pusat Promosi Kesehatan Lily S Sulistyowati, perilaku hidup bersih dan sehat baru dijalankan oleh 27,8 persen masyarakat di Provinsi Gorontalo. Dengan kata lain, provinsi itu masih berada di peringkat tiga terbawah secara nasional.

Kerja keras masyarakat desa yang sebagian besar hanya mengenyam pendidikan hingga bangku SD—80 persen masuk kategori miskin—itu mulai tampak dan menginspirasi desa lain. Sampai-sampai ada deklarasi khusus tentang buang air besar. Di kabupaten itu, menurut Bupati Boalemo Iwan Bokings, baru Desa Bukit Karya yang cakupan jambannya mencapai 100 persen. Artinya, tiap keluarga memiliki jamban sendiri. Sebuah pembangunan nyata dan sangat mendasar untuk mengangkat derajat kesehatan warga desa. Semua itu berawal dari jamban-jamban sederhana yang masih berdiri reyot di desa itu, berdampingan dengan jamban gagah bantuan pemerintah setempat. Jamban lama itu hanya berupa empat tiang kayu dan kain yang diikat menjadi dinding penutupnya. Di dalamnya, warga membuat kakus sederhana dari seng atau tumpukan karung berisi tanah yang dibentuk sebagai saluran ”leher angsa” sederhana. Untuk menampung kotoran, dibuatlah lubang di dalam tanah yang tertutup. Jamban minimalis itu berdiri di belakang rumah-rumah warga. Menurut Usman Huoyon (50), Ketua Badan Permusyawaratan Desa Bukit Karya, jamban ala kadarnya itu mulai ada akhir 1990-an. Tenaga kesehatan mengajarkan cara membuat jamban sederhana itu. Alasannya, buang air sembarangan memudahkan penyebaran penyakit, seperti diare dan muntaber. Selain itu, dapat mencemari lingkungan. Berbagai penyakit infeksi dan diare sebelumnya memang banyak menyerang anak-anak di desa itu.

Ketersediaan air

Membujuk warga membuat jamban dan buang air di tempatnya bukan perkara mudah. Mereka sebelumnya terbiasa buang air besar di kebun, di bawah pohon kelapa, atau di sungai sembari ditemani semilir angin. ”Tidak perlu bawa air untuk menyiram kotoran dan bilas sehabis buang air. Apalagi dulu air sangat sulit di sini,” ujar Usman. Pria itu baru mulai menggunakan jamban ketika berusia 41 tahun. Sebelumnya? Tempat favorit Usman, ya, di bawah pohon kelapa dan pinggir sungai. Demi membiasakan buang air di tempatnya, kata Usman, aparat desa bahkan membuat aturan, yakni mendenda Rp 25.000 bagi warga yang tertangkap basah buang air sembarangan. ”Ada juga satu-dua yang tertangkap. Uangnya masuk ke kas desa,” kata Usman. Maryam (21), warga lainnya, malah masih sulit membiasakan diri menggunakan jamban. ”Tidak biasa saja,” ujarnya sambil menggendong putrinya yang berusia sembilan bulan dan baru saja sembuh setelah terkena diare selama satu minggu. Penggunaan jamban tidak terlepas dari ketersediaan air. Masuknya program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat pada 2006 dimanfaatkan pemerintah kabupaten untuk mempercepat gerakan penggunaan jamban. ”Dengan adanya air, orang lebih mudah diarahkan untuk buang air di jamban. Di desa ini sudah ada keran air bersih, yang airnya berasal dari mata air di gunung dan dialirkan dengan gaya gravitasi,” tutur Iwan Bokings. Berdampingan dengan jamban reyot, kini berdiri gagah jamban baru berdinding kayu bercat hijau terang, sumbangan pemerintah setempat. Di jamban baru itu, lubang dan ”leher angsa” sudah terbuat dari keramik atau semen. Lantainya juga di-plur, tak lagi beralas tanah. Usman sendiri lebih suka di jamban baru itu. ”Sekarang saya malah jijik kalau buang air sembarangan,” ujarnya. Jadi, selamat tinggal pohon kelapa....

Sumber: Kompas, Kamis, 8 Juli 2010

Piala Dunia sebagai Metafora Kehidupan

Oleh: Azyumardi Azra

Akhirnya kita sampai ke titik terakhir Piala Dunia 2010. Bagi tim yang menang dan menjadi juara dunia sepak bola, itu pasti merupakan momen puncak pencapaian yang bakal dikenang sepanjang masa. Sebaliknya, bagi tim yang kalah, dalam segi-segi tertentu, kekalahan itu bisa jadi merupakan tragedi, baik pada tingkat personal maupun kolektif tim dan bahkan bangsa-negara. Kemenangan atau kekalahan dalam pertarungan, keberhasilan dan kegagalan, adalah kontras yang lumrah belaka dalam kehidupan, tidak terkecuali dalam Piala Dunia 2010. Meminjam argumen Hoyningen-Huene, Guru Besar Etika Sains dan pendiri Pusat Filsafat dan Etika Sains, Universitas Leibniz, Hannover, Jerman, dalam tulisannya Why is Football So Fascinating? (2010), dalam pertandingan sepak bola, kita hakikatnya berpacu dengan kehidupan. Dalam permainan tertentu, kita memainkan aspek tertentu kehidupan, dan sepak bola sangat kaya dalam menghidupkan kembali bumbu tertentu dalam drama kehidupan. Piala Dunia 2010 atau pertandingan sepak bola umumnya penuh berbagai segi analogis, khususnya tentang unsur-unsur dramatis dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat drama kehidupan, seperti sering terlihat dan tersirat di beberapa pertandingan Piala Dunia 2010, lebih kurang merupakan kombinasi di antara tindakan atau perbuatan sengaja yang terencana baik untuk memenangkan tim masing-masing dengan nasib baik atau nasib buruk. Lihatlah, apa yang kurang dengan tim Perancis, Brasil, dan Argentina; mereka memiliki pemain unggulan dunia, tetapi akhirnya harus kalah. Seperti juga bisa dilihat sepanjang Piala Dunia, dan juga dalam sepak bola umumnya, sebagaimana kehidupan lazimnya, keberhasilan selalu melibatkan setidaknya dua faktor: kemampuan (ability) dan kesempatan (chance) yang memunculkan nasib baik (good luck). Maka, ada orang atau tim yang sangat mampu, tetapi gagal karena tidak punya kesempatan yang muncul seketika yang membawanya ke dalam nasib baik (good fortune). Sebaliknya, ada orang atau tim yang sebenarnya punya kemampuan biasa-biasa saja, tetapi punya kesempatan yang dapat dimanfaatkan maksimal untuk kemenangan dan keberhasilan. Inilah good fortune yang tidak pernah bisa diprediksi dan bahkan diusahakan secara sengaja. Keberuntungan selalu seolah-olah turun dari ”langit”.

Metafora

Mempertimbangkan begitu banyak paralelisme dan analogi antara pertandingan sepak bola dan kehidupan riil sehari-hari, tidak berlebihan jika beautiful game ini dapat disebut sebagai ”metafora” kehidupan. Sepak bola sebagai metafora terletak pada kenyataan bahwa aspek dan sisi tertentu permainan ini mengandung keserupaan dan kemiripan dengan kehidupan biasa. Meminjam kerangka Andrea Borghini dan Andrea Baldini dalam When Soccer Club Becomes a Mirror (2010), terdapat setidaknya tiga hal dalam sepak bola yang pas menggambarkannya sebagai metafora kehidupan. Pertama, Sepak bola—seperti juga kehidupan—memiliki sifat tidak bisa diprediksi (unpredictable). Seseorang atau tim sepak bola boleh memiliki berbagai potensi dan kemampuan, yang secara matematis membuatnya hampir pasti menang dalam pertandingan atau kehidupan. Namun, perhitungan matematis sering tidak menjadi kenyataan karena dalam pertandingan atau kehidupan terdapat banyak faktor yang muncul dan bekerja secara tak terduga. Hasil akhir pertandingan sepak bola atau kehidupan tidak pernah bisa diprediksi, diramalkan, apalagi dipastikan. Kedua, pertandingan sepak bola atau kehidupan, pada dasarnya adalah persoalan kalah atau menang. Karena itu, setiap orang, apakah pemain atau tim sepak bola, harus menyiapkan dirinya untuk ”siap menang” dan ”siap kalah”. Jika hal ini dipahami dengan baik, bisa menumbuhkan sikap batin yang sehat dan bahkan penuh kebijaksanaan dalam memandang setiap perjalanan pertandingan sepak bola dan kehidupan. Orang atau pemain yang bijak tidak terlalu jumawa, tinggi hati dan takabur kalau dia menang. Sebaliknya, ia tidak pernah putus asa jika gagal. Ketiga, pertandingan sepak bola atau kehidupan sehari-hari memperlihatkan adanya otoritas lebih tinggi di atas segalanya. Tidak ada siapa pun yang bebas dari realitas semacam ini. Dalam sepak bola ada wasit dan hakim garis yang kemauan dan keputusannya tidak bisa dibantah; sedangkan, dalam kehidupan, setiap orang memiliki figur lebih tinggi yang bisa membuat keputusan yang sering sangat memengaruhi perjalanan kehidupan—bisa berarti berdampak baik atau buruk bagi orang bersangkutan.

Meski Piala Dunia memunculkan banyak pecundang dan menghasilkan hanya satu pemenang puncak, tidak berarti perjuangan telah selesai. Bagi juara Piala Dunia 2010, sepatutnya mereka tidak puas dan mabuk kejayaan. Pemenang yang bijak adalah mereka yang dalam filsafat Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero. Sebaliknya, mabuk kemenangan dan keberhasilan dapat menggiring mereka ke dalam kekalahan dalam perjuangan berikutnya. Sebaliknya juga, mereka yang kalah, tidak pada tempatnya kehilangan harapan. Justru, seyogianya membangkitkan harapan; karena harapan itu dapat menjadi kekuatan pendorong yang bisa membawa kepada keberhasilan dan kemenangan. Karena itulah, orang yang putus asa tidak punya masa depan dan selamanya jadi pecundang. Piala Dunia 2010 segera menyelinap ke balik lembaran sejarah dengan berbagai ironi, drama, dan euforianya. Namun, metafora yang ditinggalkannya berlaku abadi selama kehidupan ini terus melangkah. Orang bijak adalah mereka yang bisa mengambil berbagai metafora itu dalam perjalanan hidup yang penuh drama manis atau pahit sekalipun.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta; Penggemar Sepak Bola

Sumber: Kompas, Kamis, 8 Juli 2010

Pendidikan Karakter dalam Sebuah Festival

Oleh: Misbahul Huda, (misbahul@temprina.com)

Pekan ini, tepatnya Rabu-Minggu 7-11 Juli 2010, Jawa Pos Group yang dimotori Temprina dan JP Book akan menggelar gawe akbar yang dikemas dalam "Festival Indonesia Cerdas". Rencananya, dibuka Gubernur Jawa Timur Pakde Karwo dan acara puncak berupa Seminar Nasional "Pendidikan Berbasis Karakter" dengan Mendiknas Mohammad Nuh sebagai keynote speaker dan Ratna Megawangi sebagai pemrasaran utama. Yang menarik, even itu diramaikan juga dengan pameran sarana-prasarana pendidikan, meliputi buku, alper, ICT, dan multimedia pendidikan. Juga ada pameran sekolah-sekolah unggulan (RSBI). Tidak ketinggalan lomba-lomba edukatif akan dihelat bergantian sepanjang festival, olimpiade sains dan matematika, lomba pidato bahasa Inggris, duta Indonesia cerdas, gerak jalan sehat, festival band SMU, dan cerdas cermat lalu lintas. Belakangan ini, isu character building (pembangunan watak) kembali marak. Begitu pentingnya character building, hingga Presiden Soekarno sebagai the founding father's berwasiat: "Tugas berat bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan adalah mengutamakan pelaksanaam nation and character building". Bung Karno mewanti-wanti, jika pembangunan karakter tidak berhasil, bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa kuli! Demikian kutipan buku Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang (2009).

Tidak ketinggalan Presiden SBY merasa perlu memberikan penegasan. "Character building sangat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia," tambahnya. Wasiat ini pula yang disampaikan kepada Pak Nuh saat didaulat memimpin kemen­terian terbesar republik ini pada KIB jilid II. Berbagai upaya sosialisasi dan pencerahan tentang character building terus dilakukan. Bahkan, Kementerian Pendidikan Nasional tengah menyiapkan kurikulum nasional. Yakni, kurikulum pendidikan budaya dan karakter bangsa. Rencana itu justru semakin menegaskan bahwa nation and character building benar-benar berada pada titik nadir, yang memprihatinkan. Setelah sekian lama Pancasila tak lagi diajarkan secara masif, bangsa ini seakan kehilangan pegangan. Bahkan, bangsa Indonesia kian kehilangan karakter dan jati diri.

Apa Itu Character Building?

Lalu, apa yang dimaksud dengan character building? Karakter adalah moral excellence atau akhlak yang dibangun atas berbagai kebajikan (virtues). Karakter baru memiliki makna jika dilandasi nilai-nilai kebudayaan. Jadi, karakter bangsa adalah karakter warga negara yang dinilai sebagai kebajikan. Karena itu, national and character building harus berorientasi pada upaya pengembangan nilai-nilai kebajikan sehingga menghasilkan output yang memiliki jati diri dan kepribadian. Bagaimana membangun character building, John C. Maxwell (1991) dalam bukunya The 21 Indispensable Qualities of a Leader menyatakan: "Karakter yang baik lebih dari sekadar perkataan. Karakter yang baik adalah sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, tapi dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan nyata, melalui pembiasaan, keberanian, usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan demi kesulitan saat menjalani kehidupan." M. Nuh dalam sambutan serah terima dengan Mendiknas sebelumnya juga menegaskan bahwa berbicara soal karakter dan budaya bangsa bukan sekadar hal-hal yang menyangkut kesantunan. Di dalamnya termasuk intellectual curiosity (rasa keingintahuan intelektual). Dari intelektual muncul kreativitas, dari kreativitas muncul inovasi. Kalau inovasi ditambahi sedikit marketing atau ilmu berjualan, jadilah entrepreneur. Karena itu, jadikanlah sekolah sebagai bagian membangun karakter.

Membangun kembali karakter bangsa ini akan efektif jika melalui jalur pendidikan. Namun, hal itu harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Mulai keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sebab, pendidikan karakter mencakup pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan kepengamalan nilai secara nyata. Dari gnosis sampai ke praksis. Singkatnya, pendidikan karakter adalah membimbing orang untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai. Profesor Phenix mengistilahkan sebagai voluntary personal commitment to values. Terdapat tiga hal penting yang mesti diperhatikan dalam pendidikan karakter. Yakni, pembiasaan, contoh atau teladan, dan pendidikan/pembelajaran secara terintegrasi. Pembiasaan memegang peran sangat penting dalam ke­hidupan manusia. Ia mengambil porsi cukup besar dalam usaha manusia. Islam menggunakan kebiasaan sebagai salah satu sarana pendidikan, dikutip dari Ibrahim Hamd Al-Qu'ayyid (2005) dalam bukunya 10 Kebiasaan Manusia Sukses tanpa Batas. Dari banyak referensi bisa disimpulkan bahwa pendidikan berkarakter bukan sulap, tak semudah membalik telapak tangan, perlu waktu, perlu pembiasaan, pengulangan, keteladanan, dan disiplin. Tidaklah cukup sebuah buku menuliskan, tak cukup pula sebuah seminar atau lokakarya mendiskusikan kompleksitas pelaksanaan pendidikan karakter tersebut. Seminar Nasional Pendidikan Berbasis Karakter menuju Indonesia Cerdas sebagai puncak acara Festival Indonesia Cerdas mencoba memberikan secuil jawaban persoalan itu. Ini karena dibahas oleh para narasumber yang kompeten di bidangnya. Terasa semakin lengkap jika pendidikan berkarakter diselenggarakan tidak dengan cara konvensional, tetapi mengikuti pemanfaatan teknologi multimedia untuk mempermudah proses belajar mengajar. Satu sesi khusus dari Pusat Sumber Belajar Virtual (PSBV) akan melengkapi seminar akbar tersebut.

*) Misbahul Huda, direktur utama Temprina dan JP Book

Sumber: Jawapos, Rabu, 07 Juli 2010

Memberantas (Polisi) Korup

Oleh: Adnan Topan Husodo

Reformasi Polri yang telah berjalan 10 tahun tidak berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme aparat baju cokelat itu. Berbagai kasus kekerasan Polri terhadap masyarakat masih kerap terjadi. Laporan atas rekayasa penanganan kasus terus bermunculan dan skandal besar yang melibatkan pati (perwira tinggi) Polri justru timbul silih berganti. Terakhir, gonjang-ganjing rekening gendut yang dimiliki salah seorang pati Polri menjadi menu utama yang paling disorot publik. Kasus itu meledak saat HUT Ke-64 Polri, sebuah kado yang tidak enak. Ada beberapa faktor yang membuat agenda pembenahan Polri tidak berjalan mulus. Dugaan korupsi sehingga bisa menggelembungkan pundi-pundi kekayaan pati Polri, misalnya, mengarahkan pada ingatan bahwa mafia hukum masih kukuh menjerat markas Trunojoyo. Kasus Gayus Tambunan barangkali hanya secuil perkara yang mewakili berbagai transaksi ilegal yang dilakukan anggota Polri dengan para ''pembeli'' kepentingan. Jika miliaran rupiah bisa ditimbun, kita dapat membayangkan bahwa praktik beking terhadap pembalakan liar, penambangan liar, penyelundupan manusia, penanganan kasus pencucian uang, hingga kejahatan pajak menjadi sumber utamanya. Barangkali, profesi sebagai aparat penegak hukum seperti polisi merupakan pekerjaan yang paling rentan godaan. Sebagaimana disebutkan Adrianus Meilala (2005), mantan staf ahli Kapolri, penyebab utama profesi polisi mudah diselewengkan adalah karena pekerjaan sebagai penegak hukum bersifat soliter, sangat otonom dan sewaktu-waktu dapat bertindak berdasar pertimbangan pribadi.

Unsur subjektivitas yang kuat dalam menjalankan fungsi sebagai penegak hukum mengondisikan penyimpangan. Di samping itu, sebagai aparat penegak hukum, polisi memiliki kewenangan diskresional yang tak terbatas. Sebagaimana rumusan sederhana kejahatan korupsi Robert Klitgaard, korupsi adalah perpaduan antara kekuasaan diskresional dan monopoli kewenangan minus akuntabilitas (corruption = discretion + monopoly - accountability). Karena itu, tak heran jika kecenderungan sewenang-wenang menjadi tak terbendung. Sangat mudah menangkap orang, menahan, menetapkan sebagai tersangka, menakut-nakuti, mengancam, melakukan kekerasan, serta berdamai dalam penanganan kasus dalam situasi yang keputusannya diambil tanpa mekanisme pertanggungjawaban. Derajat akuntabilitas tugas Polri yang tidak memadai bisa kita periksa dalam sistem yang mengatur mereka. Secara internal, memang kita melihat ada beberapa instrumen untuk mengan­tisipasi penyelewengan fungsi. Ada mekanisme dewan kehormatan perwira, irwasum, dan propam yang menjalankan fungsi kontrol atas pekerjaan pokok Polri. Tapi, dalam situasi yang tingkat penyimpangannya sudah menjalar hingga ke pucuk pimpinan, mustahil menyandarkan fungsi kontrol pada mekanisme internal. Kompolnas (Komisi Polisi Nasional) yang dibentuk juga tak bertaring sebagai pengawasan eksternal. Gagasan awalnya, Kompolnas menjadi lembaga pengawas eksternal yang independen yang wewenangnya dapat memeriksa secara mandiri atas dugaan penyimpangan aparat kepolisian. Namun, postur ideal Kompolnas tak tercapai karena posisi Kompolnas dalam skema yang dibangun justru menjadi sebatas lembaga di bawah presiden yang memiliki tugas pokok memberikan saran dan masukan.

Mencari Jalan Keluar

Dengan pertimbangan bahwa sistem yang dibangun tak memadai sebagai mekanisme checks and balances dalam pelaksanaan kerja-kerja Polri, perlu ada gagasan lain yang bisa memperkuat agenda reformasi di tubuh kepolisian. Seandainya diserahkan kepada Mabes Polri, agenda perbaikan polisi ini bisa dibilang sebagai langkah konyol. Memercayai reformasi Polri dan pengawasannya dilakukan secara internal oleh polisi sama saja dengan membiarkan jatuhnya kredibilitas Polri di mata publik. Tak bisa dimungkiri, membenahi Polri memang membutuhkan komitmen yang serius dari berbagai pihak. Karena tugas memperbaiki tatanan di kepolisian telah menjadi pekerjaan rumah bersama, peran -terutama- DPR dan presiden sangat diharapkan. Memperkuat pengawasan eksternal yang independen adalah salah satu solusinya. Dengan wewenang legislasinya, DPR dan presiden bisa memperkuat posisi Kompolnas daripada menciptakan lembaga ad hoc seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang kurang bergigi. Kompolnas yang ideal semestinya berada di luar lembaga eksekutif, independen, memiliki wewenang untuk mengawasi dan memeriksa skandal yang dilakukan -khususnya- perwira polisi, dan komposisinya mewakili kepentingan publik luas.

Presiden juga harus dapat memastikan perbaikan di lembaga penegak hukum itu dengan melakukan penyegaran yang radikal pada posisi-posisi strategis di Polri dengan para perwira Polri yang reformis. Pemikiran lain yang bisa disodorkan, wewenang Polri dalam menangani kasus perlu dibatasi, tidak seperti sekarang yang demikian luas. Asumsinya, anggota Polri kerap bermain mata dalam penanganan kasus-kasus besar. Untuk kasus korupsi misalnya, akan lebih baik jika Polri tak lagi menangani karena sudah ada kejaksaan dan KPK. Selain bisa mempersingkat birokrasi penanganan kasus korupsi, hal tersebut ditujukan untuk mengantisipasi lempar tanggung jawab antarpihak. Misalnya, bolak-balik berkas perkara korupsi dari kepolisian ke kejaksaan. Terakhir, KPK harus mengambil inisiatif untuk menjadikan aparat penegak hukum sebagai fokus dalam pemberantasan korupsi. Laporan rekening fantastis milik pati Polri bisa dijadikan pintu masuk untuk mendorong bersih-bersih di tubuh kepolisian. Kita berharap KPK tidak ragu untuk masuk ke wilayah yang selama ini tak disentuhnya. Jika KPK saja tak sanggup, tentu harapan publik terhadap perbaikan lembaga penegak hukum akan menjadi sirna.

*) Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Sumber: Jawapos, Rabu, 07 Juli 2010