UJIAN NASIONAL; Standardisasi UN 2010-2011

Oleh Mohammad Cahya, (Anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat/Ketua SDM MGMP Bahasa Indonesia Bandung Timur)

KOMPAS.com - Pada pengujung 2010 ini, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) menegaskan tetap mempertahankan standardisasi ujian nasional (UN). Hal ini bisa kita lihat dari langkah Kemendiknas yang sedang melakukan pendataan peserta UN 2010-2011 di tiap-tiap provinsi di Indonesia. Apabila kita runut ke belakang, awal penyelenggaraan UN oleh pemerintah (dulu Depdiknas) bertujuan mengetahui mutu pendidikan di Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, pemerintah (Depdiknas kala itu), melalui, misalnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 45 Tahun 2006 yang salah satu isinya mengatur batas kelulusan minimal peserta didik 5,00, UN akhirnya berperan sebagai penentu kelulusan peserta didik di setiap satuan pendidikan yang melaksanakan UN. Hal tersebut bertolak belakang dengan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 59 Ayat (1) yang berbunyi: ”Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.” Maka, tidak perlu heran jika timbul ketidaksetujuan dari pihak pendidik, peserta didik, termasuk orangtua peserta didik, dan LSM, terhadap kelulusan peserta didik yang ditentukan pemerintah. Tidak hanya masyarakat yang tidak setuju dengan adanya aturan penentuan kelulusan tersebut. Pada Desember 2007, Komisi X DPR 2004-2009 turut memperjuangkan aspirasi ketidaksetujuan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan UN. Namun, suara DPR kalah dari suara pemerintah sehingga terselenggaralah UN di jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Dari empat kali penyelenggaraan UN (2007, 2008, 2009, dan 2010), semua pembiayaan ditanggung pemerintah. Bahkan, rambu-rambu bahan soal UN pun oleh pemerintah disosialisasikan dengan sangat gencar ke seluruh sekolah di Indonesia. Namun, dari empat kali penyelenggaraan UN, didapat hasil fenomenal yang menimpa Provinsi Nusa Tenggara Timur, yakni tingkat kelulusan peserta didik selalu berada di posisi paling bawah. Hal ini tentu saja harus menjadi bahan renungan Kemendiknas untuk menemukan cara yang tepat bagi kebermutuan pendidikan, khususnya di provinsi-provinsi yang jauh dari pusat, termasuk NTT, dan umumnya di seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, penyelenggaraan UN 2009-2010 tercatat juga berbeda dengan UN tahun-tahun sebelumnya, yakni ada pemberlakuan UN susulan bagi peserta didik yang belum lulus.

Dampak UN

Kalangan peserta didik, termasuk orangtua peserta didik, menyatakan tidak setuju dengan diberlakukannya aturan nilai yang diterapkan bagi peserta didik berkategori belum lulus. Aturan itu berbunyi: ”Nilai tertinggi akan diambil sebagai nilai yang tertera di surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) dan peserta didik yang ber- kategori belum lulus bisa memperbaiki nilai yang kurang dari 6,00 menjadi nilai yang baru.” Berdasarkan aturan, nilai peserta didik yang berkategori lulus tidak tertutup kemungkinan bisa dikalahkan oleh nilai peserta didik yang berkategori (awalnya) belum lulus. Selain itu, kalangan pendidik yang mengajar kelas VII dan VIII juga merasakan adanya ketidakadilan pelaksanaan tugas mengajar (selama satu tahun) jika dibandingkan dengan pendidik yang mengajar kelas IX. Mengapa demikian? Ini karena kalender pendidikan 2009-2010 memuat rentang waktu proses belajar-mengajar (PBM) kelas VII dan VIII selama satu tahun diawali dari 13 Juli sampai dengan 19 Juni. PBM kelas IX selama satu tahun diawali dari 13 Juli sampai dengan 27 Maret. Hal ini berarti, waktu pelaksanaan tugas mengajar (selama satu tahun) pendidik yang mengajar kelas VII dan kelas VIII sekitar 12 bulan. Waktu pelaksanaan tugas mengajar (selama satu tahun) pendidik yang mengajar kelas IX sekitar 10 bulan. Pertanyaan yang timbul dari kenyataan di atas adalah apakah pendidik kelas IX, yang dua bulan kekurangan tugas mengajar, tidak digaji? Tentu saja tidak demikian alias digaji.

Solusi standardisasi UN

Adanya pernyataan ketidaksetujuan dan perasaan ketidakadilan (kecemburuan sosial), seperti dikemukakan di atas, menandakan bahwa penyelenggaraan UN 2009-2010 rentan terhadap dampak yang bersifat negatif. Bagaimana sikap kita agar dampak negatif dari UN hilang?

Tentu saja kita harus segera mengambil tiga sikap. Pertama, perimbangan tugas, yaitu adanya kesetaraan tugas antara Kemendiknas dan pendidik. Untuk itu, ujian terhadap peserta didik oleh pemerintah (Kemendiknas) silakan terus dilaksanakan asalkan penentuan kelulusannya ditentukan pendidik. Selanjutnya, Kemendiknas boleh menentukan kelulusan peserta didik dalam rangka penjaringan untuk masuk seleksi sekolah negeri. Kedua, kebijakan efektif. Apa pun nama pengganti UN ke depan, yang jelas penulis berharap kebijakan yang dibuat pemerintah (Kemendiknas) adalah kebijakan yang benar-benar bermuara pada kecerdasan komprehensif peserta didik. Contohnya, kebijakan tentang kriteria kelulusan peserta didik yang di dalamnya memadukan penilaian akademis, penilaian karakter atau akhlak mulia, dan penilaian absensi peserta didik. Ketiga, kalender pendidikan berkeadilan yang dibuat pemerintah (Kemendiknas) akan meminimalisasi kesenjangan rentang waktu antara PBM kelas VII dan VIII dan PBM kelas IX. Sebagai contoh, Kemendiknas membuat kalender pendidikan yang hari efektif belajar bagi peserta didik kelas VII, VIII, IX, X, XI, dan XII berjumlah sama. Dengan adanya tiga sikap di atas, penulis yakin bahwa dunia pendidikan Indonesia di era Reformasi sekarang ini akan bangkit, sekaligus menampakkan wajah baru nan cantik dan menarik serta senantiasa diberkati Tuhan Yang Maha Esa. Penulis berharap tiga sikap ini dapat menjadi poin-poin penting dari kebijakan yang diambil pemerintah (Kemendiknas).

Sumber: Kompas.com, Kamis, 23 Desember 2010

Segitiga Pengaman Cegah HIV/AIDS

Oleh: IRWAN JULIANTO

Akhir tahun 1991, kota Surabaya dihebohkan oleh berita seorang perempuan pekerja seks komersial (PSK) di kompleks pelacuran Dolly dinyatakan HIV positif. Akibatnya, kompleks pelacuran itu jadi sepi. Susahnya, si perempuan PSK itu sudah pindah dari Dolly. Setelah ia ditemukan di kompleks pelacuran lain di selatan Surabaya, ia pun ”diamankan” di Markas Koramil Sawahan sebagai ”titipan” Camat Sawahan agar bisnis jasa seks di Dolly berjalan seperti biasa lagi. Ada persepsi yang salah bahwa si PSK yang malang itu adalah sumber penularan HIV/ AIDS, padahal ia justru korban yang ”tertular” oleh para pelanggan mereka yang enggan menggunakan kondom. Pada gilirannya mereka kemudian memang menularkan HIV kepada pelanggan lainnya yang juga enggan menggunakan kondom. Dan pelanggan lainnya itu, ketika berhubungan seks dengan istrinya, si istri pun ikut tertular. Jika si istri hamil, maka akan menulari sang janin. Saat ini sudah ribuan kaum ibu yang tak pernah berselingkuh dan ribuan pula bayi yang lahir di Indonesia terinfeksi HIV. Semua ini terjadi karena kampanye penggunaan kondom terkendala oleh sikap puritan sebagian masyarakat yang memandang bahwa mempromosikan penggunaan kondom untuk pencegahan AIDS itu sama dengan mempromosikan perzinaan dan seks bebas. Hingga kini hampir semua stasiun TV di Indonesia enggan menyiarkan iklan layanan masyarakat (ILM) tentang perlunya penggunaan kondom bagi para pria yang doyan ”jajan”. Mereka mungkin masih trauma ketika ILM kondom dengan penyanyi Harry Roesli diprotes dan dituntut untuk dihentikan penayangannya.

Sudah tahap matang

Fenomena ribuan kaum ibu dan bayi di Indonesia tertular HIV menunjukkan epidemi AIDS di negeri ini sudah mencapai tahap matang, terutama memang terkonsentrasi di beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Papua, dan Papua Barat. Menurut dr Nafsiah Mboi, SpA MPH, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS, yang memicu penularan HIV di Indonesia adalah 3,1 juta pria dewasa yang membeli jasa seks komersial dari sekitar 230.000 perempuan PSK. Situasi ini mengancam 1,6 juta perempuan yang telah menikah. Data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS di kalangan perempuan di Indonesia hingga akhir Desember 2009 menunjukkan rekor tertinggi dipegang oleh ibu rumah tangga (sebanyak 1.970 kasus), sementara hanya 604 kasus pada penjaja seks. Kaum pria yang biasa membeli jasa seks komersial sesungguhnya adalah ”jembatan” (bridge) dalam jejaring atau mata rantai penularan HIV, bukan para perempuan PSK yang lebih statis dan pasif. Di sinilah peran sentral kaum pria, apakah mereka mau atau enggan melindungi diri sendiri dengan perilaku seks aman, termasuk memakai kondom jika berhubungan seks tak aman. Mengapa kondom yang sebenarnya secara internasional diakui sebagai sarana paling ampuh untuk membendung penularan HIV lewat hubungan seks justru kurang populer di Indonesia? Selain kampanye kondom masih dituding sebagai promosi seks bebas dan mitos kondom berpori, amat rendahnya kebiasaan (habitus) menggunakan kondom di Indonesia juga merupakan kesalahan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia yang memarginalkan peran kaum pria. Akibatnya, penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi hanya kurang dari 1 persen.

Penutupan satu demi satu lokalisasi pelacuran secara tidak langsung juga mempersulit penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Kramat Tunggak di Jakarta misalnya ditutup tahun 1999. Tersiar kabar, Dolly pun bakal mengikuti jejak Kramat Tunggak. Razia terhadap para perempuan PSK juga marak terjadi di mana-mana. Pelacuran sebagai ”profesi” tertua di muka Bumi akan selalu liat. Ditutup dan dirazia di suatu tempat, maka akan bermunculan di tempat-tempat lain. Semuanya mengikuti hukum supply and demand (penawaran dan permintaan). Selama demand hajat seks kaum pria masih tinggi, maka supply akan selalu mengimbanginya. Terbukti dengan ditutupnya Kramat Tunggak, lokasi pelacuran pun pindah ke kafé-kafé di jalan besar yang tak jauh dari Kramat Tunggak. Menyambut Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada hari ini, kiranya perlu dipikirkan bagaimana kita tidak mempertentangkan lagi pendekatan moral dan hukum di satu pihak dengan pendekatan kesehatan masyarakat di pihak lain. Pendekatan moral lazim berkaitan dengan upaya mengampanyekan hubungan seks yang ”halal” (hanya antara suami-istri yang sah). Misalnya kampanye ”Katakan Tidak untuk Seks di Luar Nikah” yang merupakan bentuk demand reduction (untuk seks komersial yang tidak ”halal”). Namun, tak bisa dimungkiri kenyataan, sereligius apa pun suatu bangsa, tetap saja sekitar 20 persen kaum pria dewasanya melakukan hubungan seks bukan dengan pasangan tetap atau istri mereka.

Pendekatan hukum nyata dalam bentuk penutupan lokalisasi pelacuran dan razia para PSK, yang merupakan bentuk supply reduction. Padahal, praktik prostitusi mustahil hanya dibendung di hilir jika tidak digarap di hulunya, yaitu kemiskinan di perkotaan/pedesaan yang jadi pemasok para PSK. Selama masih cukup banyak kaum pria ”jajan” dan sulit memberantas prostitusi, penggunaan kondom adalah upaya mengurangi kemudaratan (harm reduction), terutama bagi kaum pria yang tak bisa membendung hajat seksual mereka. Seyogianya pendekatan hukum (supply reduction) dan moral (demand reduction) dalam penanggulangan AIDS di Indonesia tidaklah perlu dipertentangkan dengan pendekatan kesehatan masyarakat (harm reduction). Idealnya, ketiga pendekatan ini dipadukan menjadi ”Segitiga Pengaman”. Penganut dua pendekatan pertama tak boleh merasa pendekatan mereka yang paling benar dan memojokkan pendekatan ketiga. Sayangnya, pendekatan kesehatan masyarakat masih menjadi anak tiri di Indonesia. Akankah kita biarkan makin banyak ibu rumah tangga dan bayi-bayi tertular HIV?

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Desember 2010

Target Penanggulangan AIDS 2015

Oleh: Nafsiah Mboi, (Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS)

Sepuluh tahun lalu kita berkomitmen mencapai target pembangunan milenium di tahun 2015. Penanggulangan AIDS adalah salah satu komitmen pembangunan milenium dengan target sangat jelas. Kita berjanji menghentikan infeksi baru HIV dan mengurangi laju epidemi AIDS. Seiring dengan perkembangan epidemi AIDS, saat ini kita berhasil mengurangi tingkat kematian karena AIDS. Pemerintah dengan dana domestik dan luar negeri berhasil memberikan pengobatan ARV bagi yang membutuhkan. Laporan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, tingkat kematian akibat AIDS dapat ditekan dari 46 persen di tahun 2006 menjadi 17 persen di tahun 2008. Tahun ini terdapat 789 tempat layanan tes dan konseling HIV dan 259 tempat layanan pengobatan ARV di rumah sakit maupun puskesmas, dan akan dikembangkan masing-masing jadi 872 dan 296 lokasi layanan pada tahun 2014. Tingkat penularan HIV melalui penggunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif (NPZA) suntik telah berkurang. Dalam lima tahun terakhir program pencegahan HIV di kalangan pengguna NPZA suntik yang dilaksanakan di puskesmas di sejumlah daerah telah membuka layanan alat suntik steril. Terjadi perkembangan positif pada kelompok ini. Berbagai penggunaan alat suntik menurun dari 44 persen ke 19 persen di tahun 2009. Fasilitas layanan rumatan metadon telah tersedia. Metadon yang diminum bertujuan menggantikan suntikan yang amat berisiko. Saat ini terdapat 60 fasilitas layanan kesehatan yang menyediakan terapi rumatan metadon di Indonesia dan akan dikembangkan menjadi 131 layanan di tahun 2014. Penularan HIV melalui hubungan seks berisiko terbukti dapat efektif dihentikan dengan penggunaan kondom secara konsisten. Karena itu, penggunaan kondom jadi salah satu indikator utama pencapaian pembangunan milenium untuk AIDS. Hal ini tertuang dalam Inpres No 3/2010.

Masih rendah

Sayangnya, tingkat penggunaan kondom masih rendah. Kebanyakan laki-laki pembeli seks tak mau pakai kondom walau sudah ditawarkan. Bahkan, telah dilaporkan temuan infeksi HIV baru pada ibu rumah tangga yang tertular dari suami yang melakukan hubungan seks berisiko tanpa menggunakan kondom. Kurangnya informasi dan pendidikan kesehatan seks untuk masyarakat umum mengakibatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kondom sebagai alat pelindung dari IMS dan HIV sangat rendah. Jika serius berkeinginan mencapai target pembangunan milenium, kita harus giatkan promosi kesehatan seks dan pencegahan HIV di masyarakat. Target itu tak akan tercapai dengan penutupan lokalisasi dan kriminalisasi pekerja seks. Kedua hal itu tak menghentikan terjadinya infeksi baru HIV atau menjerakan perilaku berisiko. Kedua hal itu hanya akan menyebabkan pekerja seks dan pelanggannya tersebar di lingkungan masyarakat sehingga menyulitkan program penjangkauan dan pencegahan HIV. Di tempat terjadi kriminalisasi pencandu NPZA, hukuman dan pemenjaraan tak menghentikan infeksi HIV baru. Penjara dapat jadi tempat penyebaran infeksi HIV yang baru. Sebuah lapas narkotik melaporkan: prevalensi HIV meningkat dari nol persen di tahun 1999 menjadi 25 persen di tahun 2002. Tanpa program pencegahan memadai di lapas dan rutan, infeksi baru HIV akan meningkat. Saat ini upaya pencegahan HIV di lapas dan rutan telah mengurangi angka kematian akibat AIDS dari 798 di tahun 2005 menjadi 285 di tahun 2009.

Tanggung jawab bersama

Negara menjamin dan melindungi hak warga negara mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak. Namun, pada akhirnya upaya penanggulangan HIV dan AIDS bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Seluruh lapisan masyarakat terlibat aktif menciptakan lingkungan kondusif bagi upaya penanggulangan. Pelibatan dan pemberdayaan populasi kunci dan jaringannya, bersama anggota masyarakat lain, terbukti berdampak positif pada upaya penanggulangan AIDS Di Indonesia. Sinergi pemerintah, masyarakat, dan jaringan populasi kunci mampu mendekatkan kita pada upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang efektif dan tepat sasaran. Karena itu, kita butuh lingkungan masyarakat yang saling menghargai dan bebas stigma-diskriminasi, lingkungan yang memberi informasi yang benar tentang penularan, pencegahan, dan pengobatan HIV yang dapat melindungi anak bangsa dari dampak HIV dan AIDS. Generasi muda perlu mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan seks, hubungan seks berisiko, dan NPZA. Namun, survei terakhir untuk tahu tingkat pengetahuan dasar HIV di kalangan usia 15-24 tahun: hanya sekitar 14 persen yang berpengetahuan dasar HIV yang komprehensif. Sedangkan komitmen pembangunan milenium 2015 menargetkan setidaknya 90 persen remaja Indonesia berpengetahuan dasar HIV komprehensif. Maukah kita mewujudkannya?

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Desember 2010