Tarman: Banyak Calon Populis Saat Kampanye Selanjutnya Feodal

Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Tarman Azzam mengatakan banyak calon kepala daerah yang populis saat berkampanye tetapi setelah duduk menjadi feodal. "Fakta selama ini telah membuktikan banyak calon kepala daerah yang hanya mendekatkan diri kemasyarakat dan ramah saat berkampanye menjelang meraih kursi kekuasaan," kata Mantan Ketua PWI Pusat itu, di Padang, Selasa. Tarman juga menyampaikan pandangan ini pada forum Work Shop "Pendidikan Politik Berbasis Jurnalistik Berorientasi Peningkatan Kesadaran Ketahanan Kebangsaan dalam Pemilukada" diselenggaran Mapilu-PWI, berlangsung di PWI Cabang Sumbar, (21/6). Tampil sebagai pembicara dalam acara yang dihadiri para wartawan dan redaktur media cetak dan elektronik di Sumbar itu, Akademisi dari Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Bustanudin Agus. Selain itu, Direktur III Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Dr. Ir. Suhatmansyah, Ketua Mapilu-PWI, Hendra J Kede. Menurut Tarman, calon kepala daerah yang hanya populis saat berkampanye, tapi setelah mendapatkan yang diinginkannya menjadi piodal dan tidak bisa lagi konstituennya berkomunikasi. "Jangankan masyarakat, tim suksesnya saja tidak bisa menghubungi sang calon yang sudah menjabat itu, karena telepon genggamnya sering dimatikan," katanya. Jadi, dewasa ini sudah sulit untuk mendapatkan pemimpin yang sederhana saat sekarang, meskipun ada tetapi tidak banyak jumlahnya. Padahal, pemimpin yang hidup dengan kesederhanaan dalam menjalankan tugas sehari-hari sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Namun, bukan kepala daerah yang setelah duduk ingin bermega-mega dengan mobil mewah, sementara masyarakatnya hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Justru itu, kata Tarman, masyarakat Sumatera Barat yang saat sebentar lagi akan memilih 14 kepala daerah harus cerdas dalam menjatuhkan pilihlah pemimpin yang tulus untuk kepentingan masyarakat dan bukan yang ingin mencari kekuasaan. Jadi, untuk mengetahui pemimpin yang hidupnya sederhana bisa saja lihat selama beliau memimpin, atau dalam kesehariannya kalau selama ini belum pernah menjabat. "Makanya masyarakat Sumbar pilih pemimpin yang sikap sederhana, janji muluk-muluk dan apa yang mereka perbuat menyentuh kebutuhan masyarakat," katanya. Selian itu, perlu dilihat rekam jejak kepemimpinannya teruji, karena ada yang mantan bupati, wali kota dan lainnya. Jadi, tidak saja selama kampanye para calon berangkulan dengan pedagang kecil, salaman dengan tukang ojek dan bertemu anak jalanan beranggkulan. Oleh karena itu, saran Tarman, masyarakat harus memantau keseharian dari para calon, atau mencari informasi dari mulut-kemulut tentang kehidupan keluarganya bagaimana, apakah berpoya-poya, anaknya terurus dengan baik dan keluarganya bagaimana?.

Sedangkan yang pengusaha maju dalam Pemilukada baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota, bisa dilihat rekam jejaknya. Apakah selama ini, pengusaha yang sering `main mata` dengan pejabat, atau sebaliknya. Jadi, katanya, masyarakat hendaknya dalam menjatuhkan pemilihan kepala daerah harus lebih jeli sehingga pemimpin yang dipilih sesuai dengan harapan. Pelaksanaan Pemilukada serentak Sumbar akan berlangsung pada 30 Juni 2010 yang diikuti sebanyak 68 pasangan calon kepala daerah, lima di antaranya calon gubernur-wakil gubernur periode 2010-2015. Kabupaten dan kota yang menggelar Pemilukada, meliputi Kabupaten Agam, Padang Pariaman, Pasaman, Pasaman Barat, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Sijunjung, Dharmasraya. Selanjutnya, Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan, dan dua pemilihan pasang wali kota-wakil wali kota, yakni Kota Solok dan Bukittinggi. Sementara itu, warga Sumbar yang disahkan masuk dalam Daftar Pemilihan Tetap (DPT) Pemilukada Sumbar, tercatat 3.319.459 orang, terdiri sebanyak 1.627.724 laki-laki dan 1.691.735 perempuan. (Ant/K004)

Sumber: Antara

Kepala Daerah Korupsi, Siapa Salah?

Oleh: Mundzar Fahman*

Saat ini banyak kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) terjerat berbagai kasus hukum, terutama korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memberikan izin kepada penegak hukum untuk memeriksa 150 kepala daerah yang diduga terlibat berbagai kasus hukum. Itu jumlah yang sudah ketahuan. Kenyataan itu sangat memprihatinkan, sekaligus memalukan. Para aktivis antikorupsi, tentu saja, geram atas kenyataan tersebut. Tetapi, adilkah kita jika menimpakan semua dosa dan kesalahan itu hanya kepada kepala daerah? Bukankah ada banyak pihak lain yang seharusnya ikut bertanggung jawab -paling tidak secara moral- atas maraknya tindak kejahatan tersebut?

Dipaksa Korupsi

Salah satu pembangkit nafsu korupsi bagi kepala daerah selama menjabat adalah besarnya biaya yang sudah mereka keluarkan. Biaya ini merupakan akumulasi sejak mereka bermaksud mencalonkan, biaya selama proses pencalonan, dan biaya-biaya wajib selama mereka menjabat. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah, seorang calon kepala daerah harus lewat partai politik. Artinya, calon harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Setelah UU tersebut diubah, seorang calon tidak hanya boleh maju lewat partai politik. Bisa juga lewat jalur independen (perseorangan). Tetapi, syaratnya, harus mampu mengumpulkan dukungan 3-6 persen jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan. Nah, mendapatkan rekomendasi pencalonan dari partai politik atau mendapatkan dukungan dengan KTP bagi calon independen tidak gratis. Harga rekomendasi partai bisa miliaran rupiah. "Biaya fotokopi KTP'" sebagai bukti dukungan untuk calon independen bisa ratusan juta rupiah.

Biaya supaya Terpilih

Setelah resmi menjadi calon -lewat partai ataupun jalur independen- dia harus siap mengeluarkan dana besar lagi agar terpilih. Dia harus menjadi dermawan dadakan. Dia harus rajin datang ke kelompok-kelompok calon pemilih. Jika datang ke suatu tempat, dia harus membawa oleh-oleh. Atau, ketika pulang, calon harus ninggali sesuatu di tempat tersebut. Karena itu, pembaca tidak perlu heran jika ada berita bahwa seorang calon kepala daerah menyumbang sekian miliar untuk kantor sebuah organisasi. Itu hanyalah salah satu bagian dari upaya-upaya seorang calon untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari banyak pihak. Biaya-biaya itu terus membesar -ibarat sebuah balon yang terus dipompa- selama masa kampanye hingga hari H pemungutan suara. Ada dana taktis untuk serangan fajar. Ada dana untuk saksi dan sebagainya. Pada saat-saat seperti itu, seorang calon mau tidak mau dituntut mengeluarkan duit banyak. Jika uang pribadinya sudah habis, ya harus pinjam sana-sini. Walau harus dengan bunga tinggi. Itung-itungane mburi (perhitungan belakangan). Calon yang pelit harus rela tersisih. Tidak dermawan, tidak ada dukungan.

Tagihan setelah Terpilih

Jika pasangan calon sudah terpilih, apakah mereka tidak perlu keluar duit besar lagi? Oh, tentu. Ibaratnya, perjalanan masih sangat panjang. Urusan belum selesai sampai di situ. Bak sinetron di televisi, belum ada gambaran ending-nya. Setelah penetapan calon terpilih, pasangan calon yang tidak terpilih tidak bisa hanya gigit jari. Mereka harus mulai mengalkulasi biaya-biaya yang sudah dikeluarkan dan pinjaman-pinjaman yang sudah mereka lakukan. Jawa Pos memberitakan, ada seorang suami nekat bunuh diri karena diduga tidak kuat menanggung utang istrinya yang kalah dalam pemilihan kepala daerah. (Jawa Pos, 5 Juni 2010). Lalu, bagaimana calon yang menang alias terpilih? Untuk sementara, bolehlah mereka bereuforia. Bolehlah mereka bersenang-senang. Mereka memang layak senang, bahkan berpesta. Sebab, apa yang mereka idam-idamkan terkabul. Tetapi, mereka harus siap-siap memenuhi tagihan-tagihan dari pihak-pihak yang merasa berjasa atas kemenangan si calon. Mereka akan memanfaatkan momentum terpilihnya sang jago tersebut untuk menagih aneka janji. Untuk setiap tetes keringat, mereka minta dihitung. Ada yang minta dibangunkan kantor dan sebagainya. Kepala daerah yang tidak pandai merespons tagihan-tagihan tersebut bersiap-siaplah ditinggal pendukungnya.

Kita Harus Bagaimana?

Saya yakin, hampir tidak ada orang yang rela banyak korupsi di negeri ini. Apalagi korupsi tersebut dilakukan oleh ratusan kepala daerah. Tindakan mereka itu jelas salah menurut undang-undang. Dalam perspektif agama, perbuatan itu dosa. Uang rakyat kok dikorupsi. Mereka itu mengkhianati amanat yang sudah mereka beli dari rakyat. Tetapi, seperti yang sudah saya singgung di bagian awal tulisan ini, adilkah kita jika hanya menyalahkan para kepala daerah yang korup? Tidak perlukah kita (semua) membangun kesadaran baru agar biaya pencalonan kepala daerah tidak harus miliaran rupiah? Kata orang, gaji resmi kepala daerah -yang halal, yang bukan hasil korupsi- sekitar Rp 10 juta per bulan. Setahun berarti Rp 120 juta. Lima tahun selama menjabat berarti Rp 600 juta. Nah, jika kepala daerah harus menghabiskan biaya pencalonan lebih dari Rp 6 miliar, lalu mereka harus dapat uang dari mana untuk mengembalikan modalnya tersebut? Padahal, tidak mungkin mereka rela uang miliaran tersebut hilang begitu saja. Apalagi sebagian besar uang itu hasil pinjam sana-sini dengan bunga tinggi.

*) Mundzar Fahman, mantan wartawan Jawa Pos.

Sumber: Jawapos

Rekrutmen Politik Partai Demokrat

Oleh Ismatillah A. Nu'ad*

Dalam sepekan kemarin, Partai Demokrat meminang beberapa aktivis dan intelektual muda, seperti Usman Hamid (Kontras), Rachlan Nasidik (Imparsial), Andi Nurpati (KPU), Ferry Julianto (Dewan Tani Indonesia), dan mantan aktivis '98 Sarbini. Mereka dipinang untuk mengisi struktur baru Partai Demokrat di bawah kendali Anas Urbaningrum.
Di antara sekian nama, ada yang menerima, ada juga yang menolak pinangan itu. Usman termasuk yang menolak. Sebab, dia menginginkan demarkasi yang tegas antara diri dan aktivismenya dengan partai status quo. Jika mau melihat secara kritis, justru di situlah sesungguhnya peran aktivis dan intelektual diuji. Semestinya, mereka lebih mendahulukan idealisme ketimbang pragmatisme. Bagaimanapun, kapabilitas moral mereka akhirnya runtuh jika mau bergabung bersama partai status quo. Dalam tulisan di harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis menyatakan bahwa moralitas dan peran intelektual merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak bisa dipertentangkan (Pabottingi, 1992:34). Andai masih hidup, mungkin dia skeptis melihat fenomena para aktivis dan intelektual yang kemudian melibatkan diri secara pragmatis dalam partai status quo.

Padahal, di tengah hiruk pikuk kehidupan sosial dan politik saat ini, peran aktivis dan kaum intelektual sangat dibutuhkan. Kontribusi mereka begitu besar bagi tumbuhnya perubahan. Sebab, revolusi sosial yang diteriakkan dan diaktualisasi massa, misalnya gerakan '98, semula digagas dan ditentukan oleh peran kaum intelektual muda. Memang Harry J. Benda dalam karyanya, Continuity and Change in Southeast Asia (1972), membedakan posisi intelektual di dalam masyarakat yang sudah maju dan yang masih berkembang. Menurut dia, dalam masyarakat Barat, aktivis dan kaum intelektual tidak membentuk kelas sosial tersendiri. Mereka sebatas hidup sebagai pelengkap di antara kelas-kelas lain. Sedangkan di masyarakat berkembang, aktivis dan kaum intelektual memperoleh kedudukan dan pengaruh. Mereka membentuk kelas sosial tersendiri dan memegang "kekuasaan politik" yang sesungguhnya. Menjadi intelektual dalam masyarakat berkembang berarti melakukan suatu pekerjaan mulia, memenuhi panggilan hidup dengan nilai, aturan, disiplin, serta kode etik tersendiri. Meskipun tesis itu dikemukakan oleh Harry dalam konteks munculnya kaum intelektual di Asia Tenggara pada masa kolonial, untuk membedakan peran kaum intelektual di masyarakat maju dan berkembang, diperlukan semacam tinjauan ulang. Sebab, pada intinya peran kaum intelektual tersebut hampir tidak berbeda, baik di masyarakat maju atau berkembang. Kaum intelektual tetap menjadi agen perubahan (agent of change). Justru kemajuan dan budaya tinggi (high culture) masyarakat Barat kini semula disemangati dan digagas kaum intelektual, yang bangunannya bisa dirujuk mulai zaman Yunani kuno, masa pertengahan, hingga masa pencerahan.

Pada masa perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, begitu banyak kaum intelektual. Namun, hanya sedikit yang mengabdikan diri untuk perjuangan. Umumnya, kaum intelektual masa kolonial mengabdi kepada kekuasaan atau menjadi pejabat, gubernur, bupati, hingga kepala media massa untuk kepentingan kolonial. Kelompok itu menjadi priayi-priayi baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Soal tujuan mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ, proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial. Untung, di Indonesia ketika itu masih ada orang seperti Bung Hatta, Sjahrir, dan sekelas mereka, yang tidak menutup mata atas penderitaan dan belenggu yang dialami bangsa Indonesia. Kaum seperti Sjahrir dan Hatta merupakan intelektual milik publik. Dedikasi pengetahuan, kapabilitas, dan perjuangan mereka ditujukan pada terciptanya kemerdekaan Indonesia.

Kelompok kedua itu lebih memilih menjadi intelektual "bermasalah" daripada hidup damai, tenang, dan cukup, tapi di atas penderitaan orang lain. Kaum intelektual seperti Sjahrir dan Hatta lebih senang hidup di penjara, dibuang, dan diasingkan karena perjuangan mereka yang tidak disukai kolonial. Spirit kaum intelektual yang pro kepentingan nasional itu semestinya memberikan inspirasi bagi generasi kaum intelektual sekarang. Sebab, bukan hanya tanda-tanda, melainkan sudah menjadi kenyataan konkret sekarang banyak kaum intelektual di Indonesia yang justru mengkhianati kode etiknya. Yang mereka lakukan kontraproduktif dengan kenyataan faktual masyarakat Indonesia, yang masih dibelenggu kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan. Begitu banyak kaum intelektual yang kini hanya memikirkan ekonomi individu, kepentingan politik kelompok, dan sebagainya. Pada masa kini, Indonesia membutuhkan aktivis dan kaum intelektual seperti Hatta, Sjahrir, Bung Karno, Tan Malaka, H.O.S. Cokroaminoto, dan sekelasnya. Yakni, intelektual yang tak hanya mementingkan diri sendiri, yang tidak mengebiri masyarakat sendiri. Bangsa ini membutuhkan visioner sekaligus intelektual yang revolusioner. Intelektual yang tidak memecah belah masyarakat seperti keping-keping reruntuhan, melainkan mengintegrasikan masyarakat dalam kesatuan. Intelektual yang mau bersama-sama membangun Indonesia dari keterpurukan.

*) Ismatillah A. Nu'ad, peminat historiografi Indonesia modern

Sumber: Jawapos

Jelang Muktamar Muhammadiyah, Jogjakarta, 3-8 Juli 2010; Kegamangan dalam Euforia Satu Abad

Oleh Syamsul Arifin

PEKAN depan, Muhammadiyah menghelat muktamar ke-46 di Jogjakarta. Muktamar Muhammadiyah kali ini bertepatan dengan peringatan satu abad organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 8 Zulhijah 1330 H (18 November 1912 M). Warga Muhammadiyah patut bergembira dengan capaian usia organisasi yang panjang. Sebab, tidak banyak organisasi umat Islam di Indonesia yang berkembang secara dinamis, selain eksis, kendati telah melampaui usia seabad. Ahmad Dahlan mungkin tidak pernah membayangkan bahwa organisasi yang dia bidani ternyata tidak hanya melekat dalam memori kolektif umat Islam sebagai sebuah nama, tetapi dari sisi basis massa serta jaringan kian berkecambah, berkelindan dengan pertambahan amal usaha yang dimiliki. Ada banyak kontribusi yang telah diberikan oleh Muhammadiyah dengan modal yang dimilikinya itu. Salah satu kontribusi yang dicatat sejumlah pengamat dan peneliti Muhammadiyah adalah kontribusi di bidang politik, selain bidang keagamaan dan pendidikan yang memang sudah dikenal baik oleh publik. Di bidang politik, Muhammadiyah dalam penelitian Alfian (1989) yang mendalam terhadap perilaku politik Muhammadiyah untuk kurun 1912-1942 dinilai memiliki posisi strategis sebagai kekuatan politik (as political force) meskipun bukan partai politik.

Tanpa harus menjadi partai politik, Muhammadiyah sebenarnya telah memainkan peran politik penting. Peran yang ditemukan oleh Alfian selama meneliti, Muhammadiyah mampu menjadi masyarakat sipil atau civil society -menurut kosakata politik mutakhir. Ahmad Dahlan -karena lebih menonjol sebagai sosok kiai- tidak pernah memberikan atribut kepada Muhammadiyah dengan ungkapan yang tidak pernah ditemukan dalam teks kitab suci Alquran. Yang ada di benak Ahmad Dahlan hanyalah keinginan memperbarui sosial-keagamaan dengan agama sebagai sumber inspirasi dan motivasi. Praksis gagasan Ahmad Dahlan, rupanya, mengundang apresiasi. Karena itu, banyak kalangan Islam perkotaan yang bergabung dengan Muhammadiyah, kendati banyak juga yang bersikap oposisi. Terlepas dari kontroversi yang mengiringi perkembangan Muhammadiyah, ada suatu fakta yang tidak terbantahkan. Yakni, Muhammadiyah memiliki basis massa dan jaringan yang lumayan kuat serta luas sehingga dapat mengefektifkan Muhammadiyah dalam berperan sebagai civil society.

Dengan peran tersebut, Muhammadiyah di satu pihak selalu konsisten di luar jalur kekuasaan dalam pengertian formal. Tetapi, di pihak lain, Muhammadiyah tidak pernah kehilangan nyali untuk menyampaikan kritik secara objektif dan elegan terhadap lembaga kekuasaan formal, pemerintah. Soal kemampuan mengkritik sebagai civil society, kalangan internal Muhammadiyah selalu menjadikan A.R. Fachruddin sebagai contoh yang baik. Tokoh yang dikenal bersahaja dan pernah memimpin Muhammadiyah dalam rentang waktu yang cukup panjang (1968-1990) itu memahami betul konteks budaya penguasa. Beberapa episode kepemimpinan Pak AR, panggilan akrab A.R. Fachruddin, semasa dengan kekuasaan Presiden Soeharto yang memang kental akan nuansa budaya Jawa dan dikenal otoriter. Pak AR tidak jarang menggunakan bahasa Jawa kromo inggil saat berkomunikasi dengan Soeharto sehingga aspirasi, kritik, dan lobi bisa disampaikan secara elegan, tanpa menimbulkan stigma, apalagi friksi utama antara Muhammadiyah dan pemerintah.

Dengan kompetensi personal dalam berkomunikasi di ranah politik, Pak AR mampu mengawal karakter kepolitikan Muhammadiyah, yang sejatinya harus mengutamakan keadaban berdemokrasi. Pak AR tentu sangat sadar bahwa Muhammadiyah bukan partai politik yang memang terbiasa dengan dua pilihan: berkuasa atau oposisi. Muhammadiyah merupakan institusi dakwah. Secara diametral, perspektif dakwah berbeda dengan pandangan partai dalam memahami realitas politik. Perspektif dakwah lebih mengedepankan kearifan atau hikmah dalam berhadapan dengan realitas politik. Realitas politik jarang dilihat secara hitam-putih. Kekuasaan secara kelembagaan maupun personal, misalnya, tidak melulu dilihat dari sisi buruk atau baik. Agar bisa sampai pada penilaian yang seimbang, kita dituntut menjaga jarak dan tidak boleh mengambil posisi sebagai partisan. Sebab, jika mengambil posisi sebaliknya, kita dengan mudah terperangkap pada sikap hitam-putih lazimnya partai politik. Mengapa Pak AR sering dijadikan contoh yang baik dalam komunikasi politik? Sebab, Pak AR lebih mengutamakan pola berpikir dakwah yang menjadi karakter Muhammadiyah!

Dalam lima tahun terakhir, warga Muhammadiyah mulai merindukan sosok seperti Pak AR, yang piawai memosisikan Muhammadiyah ketika berhadapan dengan realitas politik. Suasana kebatinan itu merupakan hal yang wajar. Sebab, elite Muhammadiyah, terutama di level puncak, kian kehilangan nalar dalam memahami dua realitas sekaligus: Muhammadiyah dan politik. Cara memosisikan Muhammadiyah sebagai institusi dakwah dengan politik tak ubahnya yang dilakukan oleh aktivis partai politik. Karena itu, Muhammadiyah menjadi seperti partisan dan terbawa ke arus kontestasi perebutan kekuasaan. Hal tersebut tampak pada pemilihan presiden 2009. Sampai pilpres usai pun, elite puncak Muhammadiyah tidak mau belajar dari kesalahan yang baru saja dibuat. Mereka tetap menggiring Muhammadiyah ke dalam pusaran politik partisan. Kinerja elite puncak Muhammadiyah yang demikian tentu bisa menimbulkan efek psikologis sebagai pihak yang kalah jika agenda politik partisannya terhambat. Sebaliknya, jika agenda politik partisan terakomodasi ke ranah kekuasaan, efek psikologis sebagai pemenang meluap-luap. Model logika biner, kalah-menang, lazim digunakan oleh aktivis partai politik. Logika seperti itu sungguh tidak elok bila dikembangkan di Muhammadiyah. Mengapa elite puncak Muhammadiyah memiliki agenda politik partisan, sedangkan di pihak lain mengabaikan potensi besar Muhammadiyah sebagai civil society? Tanpa agenda politik partisan, apakah kekuatan Muhammadiyah tergerus? Saya khawatir, dengan mendorong Muhammadiyah terlibat dalam praktik politik partisan, elite puncak Muhammadiyah mulai dihantui kegamangan saat Muhammadiyah justru memasuki abad kedua. Kegamangan merupakan pertanda bahwa elite puncak itu dihinggapi rasa kurang percaya diri terhadap potensi besar Muhammadiyah sebagai civil society, yang semestinya memiliki kekuatan sejati, tanpa perlu mencari patron kekuasan dengan melibatkan diri dalam percaturan politik partisan.

*) Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si , guru besar dan wakil direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber: Jawapos

Menanti Kiprah KEN

Oleh Ryan Kiryanto

BARU-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk organ baru bernama Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang mengacu kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 31 Tahun 2010. KEN itu semacam Dewan Ekonomi Nasional (DEN) di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Melalui KEN, pemerintah meminta masukan soal penataan alokasi APBN untuk menghindari defisit dan kemungkinan munculnya krisis karena tidak berimbangnya sejumlah pembiayaan yang dikeluarkan negara. Presiden juga mengingatkan seluruh jajaran pemerintah bahwa ketika ada pembahasan menyangkut anggaran dengan DPR, hendaknya jangan mudah menyebutkan alokasi dan angka persentase yang tinggi dari total APBN. Semua harus dikonsultasikan dulu dengan menteri keuangan, Menko perekonomian, Wapres, dan sampai tingkat presiden. Kepala negara menegaskan kepada seluruh jajaran untuk menciptakan APBN dan APBD yang sehat dan berkelanjutan. Anggaran diarahkan serta ditargetkan untuk membiayai kegiatan yang memang tepat untuk dibiayai. Konsultasi diperlukan agar jangan sampai penetapan alokasi anggarannya kebablasan (overbudget). Sebab, jika sudah dituangkan dalam UU, pemerintah wajib menjalankannya. Untuk itu, penyusunannya harus dilakukan dengan tepat dan ditata berimbang. Dalam perpres tentang KEN disebutkan ruang lingkup tugasnya meliputi tiga hal. Pertama, mengkaji permasalahan perekonomian nasional serta perkembangan perekonomian regional dan global. Kedua, menyampaikan saran tindak strategis dalam rangka percepatan perekonomian nasional kepada presiden. Ketiga, melaksanakan tugas lain dalam lingkup perekonomian yang diberikan presiden. Selain itu, KEN bertugas di bawah koordinasi dan bertanggung jawab kepada presiden. Pendek kata, KEN diharapkan bisa memberikan solusi bagi masalah perekonomian.

Solusi yang diminta presiden itu nanti tidak berbentuk kajian akademik. Melainkan sebuah solusi penting bagi pemerintah dalam membuat kebijakan perekonomian nasional. Arahnya adalah policy yang akan menjadi bagian atau masukan penting di jajaran pemerintah. Jadi, selain sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang ekonomi, presiden masih perlu memperkuat tim ekonomi dengan membentuk KEN. Dengan keanggotaan KEN yang melibatkan unsur mantan birokrat, akademisi, pengusaha, dan ekonom, diharapkan masukan atau rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah akan lebih membumi (down to earth). Sinergi antaranggota dari berbagai disiplin ilmu dan profesi tersebut diharapkan akan memberikan masukan solutif yang jitu dan efektif bagi perbaikan perekonomian. Tentu seluruh anggota KEN harus mampu membentuk kesatuan senyawa (chemistry). Maklum, mencermati pandangan Paul Krugman, ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2008, betapa berbahayanya jika kebijakan ekonomi suatu negara diserahkan kepada pengusaha. Menurut Kurgman, seorang presiden direktur perseroan yang menghasilkan uang 1 miliar dolar AS bukan orang yang tepat untuk dimintai pendapat soal perekonomian sebesar 1 triliun. Apa sebabnya? Sebab, negara bukanlah sebuah perseroan besar. Mengelola perekonomian negara tentu jauh lebih rumit daripada mengelola bisnis perseroan.

Di dalam perekonomian suatu negara, ada ribuan lini bisnis yang berlainan dan bahkan tidak jarang saling bertentangan. Mereka dipersatukan hanya karena berada di batas wilayah negara yang sama. Sebaliknya, mengelola perseroan relatif lebih mudah karena lini bisnis yang dikendalikan tidak sebanyak dan sekompleks mengelola perekonomian nasional. Itulah tantangan nyata yang dihadapi KEN, yakni menyinergikan perbedaan latar belakang menjadi satu kekuatan. Sebuah perekonomian suatu negara yang berhasil menjual banyak barang biasanya akan mendapatkan umpan balik negatif dari sektor-sektor perekonomian yang lain. Contoh konkretnya adalah kebijakan suku bunga. Para pengusaha kerap meminta suku bunga ditekan serendah-rendahnya supaya kegiatan bisnis mereka bisa semakin lancar. Dengan suku bunga rendah, kalangan pengusaha properti berharap rumah atau apartemen jualannya cepat laku. Padahal, dari sisi bank sentral, suku bunga perlu diatur karena bank sentral berkepentingan untuk menjaga inflasi tetap terkendali pada level rendah agar perekonomian tidak menjadi kepanasan (overheating economy) yang pada akhirnya justru menimbulkan masalah baru perekonomian.

Pemanasan ekonomi sebagai respons kegiatan mesin-mesin pertumbuhan yang bergerak cepat biasanya efektif didinginkan melalui kebijakan menaikkan suku bunga. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa negara -sebut saja Korsel, Tiongkok, India, dan Australia- begitu muncul tanda-tanda pemanasan ekonomi. Bahkan, kebijakan Tiongkok lebih ekstrem lagi, yakni menyetop aliran kredit ke sektor riil dan menaikkan rasio giro wajib minimum (GWM) dari 15 persen menjadi 17 persen. Di pihak lain, kalangan perbankan pun tidak bisa didikte untuk menurunkan suku bunga pinjaman tanpa alasan jelas. Acap kali kenaikan suku bunga justru didorong oleh permintaan pasar (deposan besar) yang menginginkan imbal hasil lebih tinggi sehingga menyulitkan perbankan menurunkan suku bunga pinjaman. Tidaklah mungkin suku bunga pinjaman dapat diturunkan sebagaimana permintaan pelaku sektor riil tanpa penurunan suku bunga simpanan terlebih dahulu. Hal itu sering tidak bisa dipahami masyarakat, termasuk pelaku usaha. Mestinya, pemilik dana besar tidak meminta suku bunga yang tinggi, apalagi meminta special rate, agar perbankan mau menurunkan suku bunga pinjaman untuk mendorong penyerapan kredit sehingga sektor riil bergerak. Akhirnya, apa pun tantangan dan peluangnya, kelak kinerja KEN akan terlihat ketika di akhir tahun Badan Pusat Statistik mengumumkan capaian seluruh indikator makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi (pro-growth), laju inflasi, persentase angka pengangguran, dan penciptaan lapangan kerja baru (pro-jobs) serta persentase angka kemiskinan (pro-poor). Jadi, semoga nasib KEN tidak seperti DEN di masa lalu yang dinilai gagal dalam menjalankan perannya sebagai policy advisor bagi pemerintah, terutama tim ekonomi.

*) Ryan Kiryanto, analis ekonomi dan keuangan

Sumber: Jawapos

Menimbang Hak Pilih TNI

Oleh: M. Alfan Alfian

WACANA hak pilih Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemilu mencuat kembali. Kalangan petinggi TNI, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun, memberikan lampu hijau agar hak pilih TNI itu bisa diterapkan pada Pemilu 2014. Dari pihak partai politik, suaranya belum seragam. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, setuju dengan penggunaan hak pilih itu. Tetapi, PDIP mewacanakan penolakan. Sementara Partai Golkar, cenderung "tengah-tengah". Partai-partai yang lain tentu ikut sibuk memikirkan sikap untuk merespons wacana ini. Secara prinsip memang tidak dapat dimungkiri bahwa TNI-Polri secara individu punya hak politik. Memang, lembaganya harus mutlak independen alias taat pada asas netralitas politik. Politik TNI-Polri adalah politik negara, yang jauh di atas politik praktis partai-partai politik. Dari prinsip ini, tampaknya, tidak ada satu pun kelompok politik yang menolak. Toh secara individu anggota TNI-Polri juga warga negara seperti yang lain. Hanya, profesi kemiliteran memang berbeda dengan profesi-profesi lain. Penggunaan senjata dan pendekatan militer secara sah adalah wilayah profesi militer, walaupun otoritas penggunaan senjata itu diatur sedemikian rupa dalam konstitusi sipil. Profesi militer membutuhkan disiplin tersendiri, ketat, dengan berbasis sistem komando. Yang dipermasalahkan bukan hak politik TNI-Polri itu sendiri, melainkan ekses darinya. Mengapa ekses dikhawatirkan? Sebab, politik itu adalah medan konfliktual. Apakah ada jaminan bahwa penggunaan hak pilih anggota militer tidak akan menambah beban konflik politik yang selama ini terjadi?

Tentu saja jawabannya tidak serta merta harus datang dari Panglima TNI dan jawaban itu langsung dapat dipakai untuk mengegolkan sebuah keputusan politik. Panglima TNI punya cara untuk menjawab pertanyaan itu, dengan dalih argumentasi yang analitis. Panglima TNI punya hak mengusulkan pencabutan penundaan hak politik TNI yang selama ini sengaja dilakukan. Tetapi, lagi-lagi politisi juga punya kesempatan membendung usul itu. Sejatinya, para politikus tidak punya hak untuk menghalangi desakan atau tuntutan penggunaan hak pilih tersebut. Mengapa? Sebagaimana dijelaskan di atas, hak pilih adalah bagian integral dari hak politik warga negara yang mendasar. Para politikus tak berhak membatasi (mendiskriminasi) hak warga negara lain, bukan?

Namun, politisilah yang memiliki ruang manuver luas untuk pada akhirnya membuat gagasan dan desakan hak pilih TNI itu bisa atau tidak bisa diterapkan pada Pemilu 2014. Apabila keputusan itu secara politik dilakukan melalui pemungutan suara (voting) di DPR, misalnya, kalkulasi kekuatan politik partailah yang mengemuka. Apa memang sudah siap militer menggunakan hak pilih dalam konteks politik Indonesia saat ini? Pertanyaan ini sesungguhnya klasik, setidaknya mencuat sejak dua pemilu lalu. Dari sisi internal, TNI kita masih mengalami banyak keterbatasan, termasuk soal kesejahteraan prajurit. Pada 2014, tampaknya hal itu masih menjadi persoalan. Kalau kesejahteraan terbatas, banyak yang khawatir berimbas negatif ke politik, sehingga menyuburkan konflik. Soal tradisi komando memang tidak bisa diutak-atik. Tetapi, dalam demokrasi, mereka bisa bebas menentukan pilihan. Apakah pengurangan atas tradisi komando ini bisa diimplementasikan? Ataukah akan menjadi sumber konflik politik baru, ketika elite militer mengomandokan pilihan politiknya? Soal ini memang perlu eksperimentasi, tetapi seharusnya jauh sebelumnya dilakukan sosialisasi.

Dari sisi eksternal TNI bagaimana? Memang perjalanan reformasi politik kita sudah lebih dari sewindu, dan mestinya terjadi perubahan perilaku politik yang demokratis. Tetapi, apabila melihat kondisi lapangan, perilaku politik yang demokratis itu masih gampang digoyang oleh rekayasa-rekayasa politik yang terkadang kurang canggih pelaksanaannya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat banyak jenis pelanggaran pemilu yang, sayangnya, banyak yang tidak tuntas penyelesaiannya. Kualitas demokrasi kita belakangan ini juga tampak masih banyak meninggalkan catatan yang tidak menyedapkan. Konsolidasi demokrasi memang sangat diharapkan terjadi dengan mulus, tetapi belenggu-belenggunya masih banyak. Wajar saja kalau banyak yang khawatir, TNI malah terjebak konflik politik bila hak pilihnya dipakai. Bagaimana pula dengan partai-partai apabila hak pilih TNI itu dipakai? Akan dapat dipastikan bahwa para anggota TNI akan menjadi sasaran bidik partai-partai. Secara formal, kampanye yang ditujukan khusus ke para anggota TNI mungkin bisa diatur sedemikian rupa. Tetapi, bagaimana sisi informalnya? Bagaimana bisa ada sebuah jaminan bahwa potensi konflik-konflik akan terkelola? Syarat lain yang ditekankan berbagai kalangan adalah profesionalitas TNI itu sendiri. Asumsinya, kalau TNI kita mampu menjamin kualitas profesionalismenya, penggunaan hak pilih itu pada 2014 tidak menjadikan permasalahan serius. Tetapi, kalau tidak ada jaminan profesionalitas yang berkualitas, penggunaan hak pilih TNI hanya akan menjadi persoalan baru.

*) M. Alfan Alfian, dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Sumber: Jawapos

Meraup Dollar AS dari Kulit Kerang

Oleh Siwi Yunita C

Di tangan Nur Handiah Jaime Taguba, kulit kerang simping atau capiz shell tak lagi hanya sampah. Dengan kreativitasnya, kulit kerang yang bertebaran di pantai Cirebon, Jawa Barat, itu menjadi berbagai perkakas bernilai dollar AS. Pemilik Perusahaan Multi Dimensi Shell Craft ini yang mampu membawa kulit kerang pantura menembus dunia. Pasar kerajinan kulit kerang di Eropa dan Amerika Serikat yang sebelumnya hanya dikuasi Filipina telah ia jajaki. Jerman, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman, Polandia, Bulgaria, Rusia, dan Amerika Serikat menjadi negara-negara tujuan ekspornya selama ini. Setiap bulannya perusahaan yang ia pimpin bisa mengirim sekitar dua kontainer kerajinan ke pasar internasional. Sebuah volume ekspor yang tidak kecil bagi pengusaha yang memulai usaha dari nol ini. Kesuksesan Nur itu berawal dari kejeliannya melihat peluang. Awalnya perempuan kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, sekitar 49 tahun yang lalu itu memanfaatkan tumpukan kulit kerang untuk diekspor ke Filipina pada tahun 2000. Kebetulan ibu dari lima anak ini mempunyai relasi dengan para perajin kulit kerang di tanah kelahiran suaminya, Jaime Taguba, di Filipina. ”Awalnya hanya menyuplai bahan baku saja. Kebetulan pembuatan kerajinannya ada di Filipina. Jadi, kami memasok bahan bakunya,” kata Nur di bengkel kerjanya, April 2010.

Meski sudah mampu mengurangi sampah pantai dan ikut terlibat dalam menghidupi warga sekitar, termasuk nelayan, Nur tidak ingin berhenti di titik itu. Menurutnya kerang yang ia kirimkan seharusnya bisa lebih berharga lagi jika ada nilai tambahnya. Akhirnya ia mulai menjual bahan baku dengan kondisi lebih baik lagi, yakni yang sudah dibersihkan. Dari hasil jual kulit kerang bersih itu, ia bisa mendapatkan hasil yang lebih dan bisa mempekerjakan lebih banyak orang. Dalam perkembangannya, Nur pun berinisiatif menggeluti industri kerajinan sendiri. Dibantu sang suami, Nur mengawali kreativitasnya dalam mengolah kulit kerang menjadi kap lampu di bengkel kerjanya di Astapada, Kecamatan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon. Mulanya hanya jenis lampu gantung, lalu berkembang menjadi berbagai macam produk lain dengan model dan ukuran. Lampu duduk, misalnya, ada yang model berdiri serta ditempel di dinding. Kesemuanya menggunakan bahan kulit kerang, terutama kerang simping yang diperolehnya dari para nelayan di pantura. Dari sekadar lampu itu, hasil karyanya berkembang lagi menjadi furnitur. Meja rias dengan berbagai bentuk yang unik dan glamor, meja tamu, hingga kursi santai. Inovasinya terus mengalir hingga kemudian muncul dinding berornamen kerang hingga lantai keramik dari kerang. Perhiasan mulai dari gelang, kalung, hingga anting pun tak luput dari bidikannya.

Bahannya pun tak lagi hanya dari kerang simping, tetapi juga dari kerang dara atau kerang lain yang selama ini juga hanya menjadi sampah dan terbuang begitu saja di tepi pantai. Sesuatu yang diyakini juga terjadi di seluruh wilayah Indonesia, negara dengan lebih dari 17.000 pulau ini. Dengan sentuhan seni dan kreativitas, sampah kulit kerang yang awalnya tak berharga itu kini berubah menjadi perkakas cantik dan glamor yang digemari masyarakat, terutama di Eropa. Tujuh ruang pamernya di Cirebon, Bali, dan Jakarta kini penuh dengan berbagai macam hasil karya kerangnya. Bahkan, bisa dikatakan hanya menggambarkan sedikit dari karya yang telah ia buat. Usahanya juga telah mengangkat perekonomian warga di sekitarnya. Jumlah karyawan di bengkel kerjanya kini tidak hanya 60 orang seperti saat ia memulai karier sebagai pengekspor kulit kerang, tetapi berkembang menjadi 500 orang. Mereka rata-rata adalah kaum perempuan dan ibu-ibu di sekitar pusat kerajinannya, yang awalnya tidak bekerja. Kini perekonomian keluarga mereka terbantu.

Kuncinya di kreativitas

Kreativitas selama ini memang menjadi kunci yang selalu dipegang Nur Handiah. Selama ini saingan berat bisnisnya adalah para perajin dari Filipina yang telah lebih dulu terjun dalam industri kulit kerang. Nur memang sempat menyewa desain khusus. Namun, ia akhirnya lebih memilih belajar mendesain sendiri karena selama ini desainnya ternyata juga bisa diterima di pasaran internasional. Bukan hal yang mudah menciptakan barang yang laku di pasaran. Demi sebuah ide, Nur harus meluangkan waktu untuk belajar, membuka wawasan, membaca berbagai rubrik desain, dan menyempatkan diri untuk berkontemplasi, bahkan survei. Promosinya dalam mengenalkan kerajinan kulit kerangnya juga tak terbatas di dalam ruang pamer. Ketika harus bertemu dengan orang lain, perempuan yang selalu berpenampilan rapi ini mengenakan berbagai pernak-pernik dari kulit kerang, mulai dari aksesori hingga tas tangan. Semuanya agar langsung diketahui orang lain. Bahkan, rumahnya pun berhias kulit kerang. Ia juga memutar otak untuk bisa membuat barangnya tetap terjangkau di pasaran. Dengan trik desain tertentu, sebuah sofa berhiaskan kulit kerang bisa berharga lebih murah dibandingkan dengan sofa yang dibuat oleh perajin dari Filipina. Dengan berbagai jalan itulah ia mampu bersaing dengan perajin luar negeri lain meski baru saja memulai bisnis sepuluh tahun lalu.

Nur mengakui, bisnisnya memang sempat surut ketika dunia digoyang krisis ekonomi akhir tahun 2008 hingga awal tahun 2009. Meski demikian, pasarnya tidak mati. Permintaan dari Amerika Serikat memang berkurang, tetapi Eropa tetap memberikan tempat bagi kerajinannya. Kini pasar kerajinannya di Amerika Serikat berangsur-angsur pulih. Di dalam negeri sendiri, kerajinan kulit kerang belum banyak ditiru oleh perajin lain. Padahal, bahan baku sangat mudah didapati. Nur tidak pernah kesulitan mendapatkan 60 ton kulit kerang setiap bulan untuk bahan bakunya. ”Mungkin orang mengira ini kerajinan dari sampah sehingga kurang menarik, mungkin juga karena keuntungannya kecil,” katanya merendah. Meski demikian, Nur mengaku tetap setia pada kulit kerang. Menurutnya, yang penting bukan dari mana bahannya, tetapi jadi apa hasilnya. Bagi Nur, sampah bisa menjadi apa saja tergantung dari cara merawatnya. Jika dibuang tetap, akan menjadi sampah. Namun, jika dirawat, bisa lebih berguna, misalnya kulit kerang bisa dinilai dalam dollar AS seperti apa yang telah ia lakukan.

Sumber: Kompas

Bila Partai Golkar "Ngambek"

Oleh Ikrar Nusa Bhakti

Setelah usulan Partai Golkar mengenai Dana Aspirasi di-tolak kawan-kawan sekoalisinya dan juga pemerintah, Partai Golkar mengancam akan keluar dari Sekretariat Ga-bungan atau Setgab (Kompas, 10/6/2010). Seperti diuraikan Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso dalam acara talkshow di sebuah stasiun televisi di Jakarta, Senin (7/6) petang, melalui usulan Dana Aspirasi dan Dana Pedesaan, Partai Golkar mempunyai niat baik agar terjadi pemerataan pembangunan daerah. Golkar bahkan menantang untuk memperdebatkan usulannya tersebut dengan partai-partai lain. Usulan mengenai Dana Aspirasi memang pernah dibahas di dalam Setgab secara informal. Oleh karena Golkar merasa bahwa partai-partai anggota koalisi pemerintah tidak menanggapinya secara negatif, Golkar lalu mengungkapkan usulan itu kepada publik untuk menguji reaksi masyarakat. Ternyata, bukan hanya pemerintah, partai-partai non-koalisi dan kalangan masyarakat sipil yang menentangnya, melainkan juga sebagian besar partai-partai koalisi pemerintah yang tergabung di dalam Setgab. Tak heran apabila Golkar merasa terkejut, termehek-mehek, mutung, lalu mengancam akan mengundurkan diri dari Setgab. Jika usulan Partai Golkar diterima, negara harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 8,4 triliun (560 anggota DPR x Rp 15 miliar) untuk dana aspirasi, atau sebesar Rp 72 triliun untuk dana pedesaan (72.000 desa x Rp 1 miliar) pada APBN 2011 yang angkanya hampir dua kali lipat dari anggaran pertahanan negara. Angka-angka yang amat fantastis!

Tujuan halalkan cara

Usulan itu mungkin saja didasari oleh niat baik Partai Golkar. Namun, kita juga dapat mempertanyakan apakah ada niat politik lain di balik usulan-usulan Partai Golkar tersebut. Partai Golkar tampaknya sedang menawarkan ”Dagangan Politik” baru agar tetap mendapatkan simpati masyarakat di daerah-daerah yang menjadi konstituen Partai Golkar melalui dana aspirasi dan juga di daerah pedesaan melalui dana desa. Bukan mustahil ini merupakan bagian dari mekanisme trade-off politik antara politisi Partai Golkar dan para pemilihnya. Dengan kata lain, melalui kedua usulan tersebut Partai Golkar ingin melakukan investasi politik jauh-jauh hari sebelum pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden pada tahun 2014. Golkar ingin meraih kembali kejayaan politiknya setelah jatuh bangun pada pemilu legislatif 1999, 2004, dan 2009 serta gagalnya Partai Golkar pada pilpres 2004 dan 2009. Usulan Partai Golkar itu juga dapat dikatakan ”akal-akalan politik” Partai Golkar atas dihentikannya untuk sementara waktu (moratorium) pemekaran daerah. Seperti sudah menjadi rahasia umum, pemekaran daerah telah menjadi investasi politik bagi para anggota DPR dan partai-partai politik untuk mendapatkan dukungan dari konstituen di daerah-daerah yang dimekarkan.

Apabila dikaitkan dengan pemerintahan desa, apa yang diusulkan Partai Golkar juga merupakan investasi politik sebelum DPR dan pemerintah membahas Undang-Undang Pemerintahan Desa sebagai pengganti UU No 5/1979 dan pasal-pasal mengenai pemerintahan desa yang kini masih tercakup di dalam UU No 32/2004 mengenai pemerintahan daerah. Di masa Orde Baru, pemerintah pernah melakukan birokratisasi pemerintahan desa melalui UU No 5/1979 dan juga intervensi langsung di dalam pembangunan pedesaan melalui berbagai kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) Desa Tertinggal atau inpres-inpres lainnya, termasuk program SD Inpres. Kini, kalangan politisi di lembaga legislatif, khususnya di Partai Golkar, ingin menggantikan peran eksekutif dengan memolitisasi desa demi kepentingan pemilu. Dengan kata lain, bukan mustahil apa yang diusulkan Partai Golkar merupakan bagian dari tujuan yang menghalalkan cara (ends justify the mean). Akan lebih buruk lagi jika usulan Partai Golkar tersebut terkait dengan janji-janji Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie yang saat kampanye pemilihannya menjanjikan akan membangun kantor-kantor DPD Partai Golkar yang megah di setiap provinsi dan memberikan dana taktis sebesar Rp 1 triliun kepada masing-masing DPD Partai Golkar. Ini berarti, Dana Pedesaan sebesar Rp 72 triliun tersebut lebih dari dua kali lipat anggaran bagi setiap DPD tingkat provinsi Partai Golkar.

Gertak sambal

Usulan Partai Golkar baik dalam bentuk Dana Aspirasi maupun Dana Pedesaan dapat dipandang sebagai kebablasan politik lembaga legislatif yang telah berubah peran menjadi pelaksana kebijakan (eksekutor). Dari sisi politik anggaran negara atau pelaksanaan kebijakan negara, usulan-usulan Partai Golkar tersebut sulit untuk diterima akal sehat. Bayangkan, bagaimana pengajuan anggaran tersebut akan dilakukan, siapa yang akan mengajukan anggarannya, siapa yang akan melaksanakannya, bagaimana mekanisme pengawasannya, dan peran apa yang akan dimainkan para anggota legislatif pusat. Ini belum termasuk dari mana anggaran tersebut akan didapatkan di tengah defisit anggaran negara yang semakin membengkak. Dana PNPM Mandiri yang berlangsung di sejumlah daerah perkotaan dan pedesaan saja masih menggunakan dana dari Bank Dunia. Mutung dan akan keluarnya Partai Golkar dari Setgab belum menjadi kebijakan resmi Partai Golkar karena hanya dilontarkan oleh Ketua DPP Partai Golkar Yamin Tawari dan bukan dari Sekjen Partai Golkar Idrus Marham atau Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie. Seandainya Partai Golkar keluar dari Setgab, otomatis Golkar berarti keluar dari koalisi partai pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boedino. Jika ini terjadi, Partai Golkar akan dipandang sangat ”kekanak-kanakan” baik di mata anggota koalisi, kekuatan pengimbang (oposisi), maupun bahkan masyarakat umum. Partai Golkar tampaknya tidak memiliki ”nyali politik” yang besar untuk keluar dari Setgab karena tidak ingin kehilangan saluran dan aset kekuasaan politik yang dapat dimainkan. Karena itu, pernyataan Partai Golkar akan keluar dari Setgab hanyalah ”gertak sambal” politik yang tak perlu dihiraukan oleh kawan ataupun lawan politiknya.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI)

Sumber: Kompas

Kembali pada Jalan Ekonomi Konstitusi

Oleh Hendri Saparini

Dalam sebuah seminar yang digelar minggu lalu, penulis diminta memberikan pandangan tentang pengelolaan ekonomi nasional menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Seminar tersebut hanyalah satu dari sekian banyak forum yang digelar karena semakin banyak kalangan resah terhadap pembangunan ekonomi yang menghasilkan ketergantungan, ketertinggalan, kemiskinan, dan kesenjangan. Bukankah dalam pembukaan Konstitusi UUD 1945 jelas disebutkan bahwa tujuan membentuk pemerintah negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa? Setiap negara pasti akan mengelola ekonomi sesuai konstitusinya. Negara yang menekankan pada peran negara akan memiliki kebijakan ekonomi yang sejalan dengan paradigma tersebut. Negara yang memilih untuk mempercepat penyerahan peran negara kepada swasta juga akan tecermin pada pilihan kebijakan ekonominya. Apabila pengelolaan ekonomi Indonesia semakin menyimpang dari tujuan konstitusi, mungkinkah karena tidak dijalankan sesuai konstitusi?

Jalan ekonomi konstitusi

Dalam Konstitusi UUD 1945, Indonesia memiliki Pasal (33) yang mengatur arah dan strategi kebijakan ekonomi. Dalam Pasal 33 Ayat (1) disebutkan bahwa pengaturan ekonomi seharusnya berbasis pada kekeluargaan dan kebersamaan. Adapun pada Ayat (2) ditegaskan bahwa seluruh rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi dan ikut menikmati hasilnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Dalam Ayat (3) diatur bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ini berarti konstitusi menjamin rakyatlah pemegang hak atas kekayaan sumber daya alam (SDA) tersebut. Meskipun demikian, menurut penulis, pembahasan Pasal (33) yang mengatur pengelolaan ekonomi seharusnya tidak terlepas dari pembahasan pasal-pasal tentang tanggung jawab sosial negara terhadap warganya, baik kewajiban untuk menyediakan pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan, serta dalam menjamin orang miskin. Dalam Pasal (27), misalnya, ditegaskan bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi hak rakyat atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Pada Pasal (28) c disebutkan bahwa rakyat memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak dasarnya oleh negara. Sementara pada Pasal (31) dijelaskan negara bertanggung jawab atas hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.

Dalam Pasal (34) juga ditekankan bahwa fakir miskin dan anak telantar memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar dari negara. Pasal (23) Ayat 1 menegaskan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut, pengelolaan anggaran dan keuangan harus diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila pasal-pasal ekonomi dan sosial tersebut diyakini saling terkait, maka dalam UUD 1945 ada enam (6) pasal, yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33) dan (34), yang keseluruhannya saling terkait dan harus dimaknai secara bersama-sama. Satu pasal mengatur paradigma pengelolaan ekonomi, sedangkan lima pasal lainnya mengatur paradigma kewajiban sosial negara terhadap rakyat. Apabila keenam pasal ekonomi-sosial tersebut dimaknai secara bersama, menjadi jelas mengapa para pendiri bangsa menegaskan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam (SDA) strategis. Tentu saja karena tugas sosial-ekonomi negara terhadap rakyat sangat berat sehingga akan mengandalkan SDA sebagai sumber pembiayaannya.

Mengaburkan jalan

Setelah sekian lama, kebijakan ekonomi Indonesia yang cenderung liberal telah mereduksi peran besar negara dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keenam pasal ekonomi-sosial bahkan telah dimaknai secara terpisah sehingga seolah tidak saling terkait. Akibatnya, meskipun Pasal (33) menegaskan bahwa seluruh rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi, tetapi konsekuensi dari amanah tersebut yang antara lain kewajiban untuk memberikan akses modal yang sama bagi seluruh warga negara, baik modal kapital maupun modal ilmu, tidak dijalankan. Akan tetapi, Pasal (31) yang mewajibkan negara memberikan modal ilmu bagi seluruh rakyat telah digeser lewat liberalisasi pendidikan. Akibatnya, negara tidak lagi berkewajiban memberikan akses dan jaminan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Liberalisasi telah membeda-bedakan hak rakyat dalam mendapatkan pendidikan. Alasan klasik bahwa negara tidak memiliki cukup dana tak masuk akal karena Indonesia memiliki SDA yang melimpah. Seharusnya SDA dimanfaatkan sebagai modal dalam membangun bangsa, termasuk modal untuk menyediakan pendidikan setinggi-tingginya. Akan tetapi, liberalisasi pendidikan dan liberalisasi SDA telah memisahkan keterkaitan antara kewajiban untuk menjamin pendidikan dan kewajiban untuk menjadikan SDA sebagai modal pembangunan.

Tegas dinyatakan dalam Pasal (23) bahwa APBN adalah untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya kewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar, memberikan penghidupan yang layak lewat lapangan kerja, dan sebagainya seharusnya tecermin dalam alokasi APBN. Namun, saat ini APBN tidak lagi ”berkewajiban” mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kewajiban tersebut karena kewajiban negara untuk menciptakan lapangan kerja, misalnya, telah disimpangkan menjadi sekadar menciptakan iklim usaha yang baik dan menyerahkan penciptaan lapangan kerja kepada swasta. Padahal, apabila Pasal (27) diyakini sebagai amanah yang harus dilaksanakan, maka banyak jalan untuk menciptakan lapangan kerja. Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia, tetapi pemerintah memilih membebaskan ekspor rotan mentah. Seharusnya, melimpahnya rotan di Kalimantan menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk membangun industri pengolahan berbasis SDA rotan. Selain akan menciptakan lapangan kerja dan memberikan penghidupan yang lebih baik bagi masyarakat, juga akan mengurangi kesenjangan antara wilayah Jawa dan luar Jawa. Apabila kebijakan yang sama juga dilakukan untuk kekayaan SDA lainnya, seperti timah, coklat, kelapa sawit, dan SDA lainnya.

Pengelolaan SDA yang menyimpang dari Pasal (33) juga akan berpengaruh terhadap APBN. Apabila dilihat dari struktur APBN, pemerintah memang mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk subsidi BBM, listrik, dan pupuk sehingga seolah tepat untuk memotong segera dipangkas. Padahal, masalah sesungguhnya bukan pada besarnya alokasi subsidi, tetapi pada kesalahan pengelolaan SDA energi. Untuk subsidi listrik, misalnya, tarif dasar listrik (TDL) cenderung meningkat karena bauran energi (energy mix) PLN dari BBM mencapai sekitar 85 persen. Biaya produksi dapat ditekan apabila energi yang digunakan adalah gas dan batu bara. Namun, liberalisasi SDA lewat berbagai undang-undang, mengakibatkan PLN tidak mendapatkan jaminan pasokan gas dan batu bara sehingga harus menggunakan BBM yang jauh lebih mahal. Ternyata pengelolaan ekonomi yang semakin menyimpang dari tujuan pembentukan negara Republik Indonesia terjadi karena ekonomi tidak dijalankan sesuai jalan ekonomi konstitusi. Jadi, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan koreksi terhadap arah kebijakan ekonomi dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai referensi.

Hendri Saparini Pengamat Ekonomi, Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Sumber: Kompas

"Green Energy" Solusi Terbaik

Oleh M Sigit Cahyono

Saat ini Indonesia di ambang keterpurukan karena krisis energi. Harga minyak mentah yang melonjak sampai 145 dollar per barrel menekan pemerintahan SBY untuk menaikkan harga bahan bakar minyak dengan alasan menyelamatkan APBN. Akibatnya, harga kebutuhan pokok semakin meningkat, yang berakibat menurunnya kesejahteraan masyarakat. Adanya kebijakan ini ditentang banyak kalangan, terutama mahasiswa dan politikus yang vokal terhadap pemerintah. Bahkan, nasib pemerintah di ujung tanduk setelah munculnya hak angket di DPR, yang bisa berujung pada impeachment terhadap presiden. Jika ini terjadi, bisa dibayangkan kondisi bangsa Indonesia kelak. Sebenarnya, semua permasalahan menyangkut krisis energi tidak akan terjadi jika menyadari bangsa ini memiliki potensi besar yang belum dikembangkan secara optimal. Apa itu? Jawabannya adalah green energy!

Energi hijau adalah energi yang berasal dari tanaman hidup (biomassa) yang terdapat di sekitar kita. Energi itu biasa disebut sebagai bahan bakar hayati atau biofuel. Energi ini tidak akan pernah habis selama tersedia tanah, air, dan matahari masih memancarkan sinarnya ke muka bumi. Selama mau menanam, membudidayakan, serta mengolahnya menjadi produk bermanfaat seperti bahan bakar. Kita sering kali diingatkan, Indonesia sebagai negara agraris merupakan negara yang kaya akan potensi energi terbarukan, salah satunya adalah energi dari biomassa. Menurut data Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (2001), potensinya mencapai 50.000 megawatt. Ironisnya, dari potensi yang besar itu baru 302 megawatt atau 0,64 persen yang dimanfaatkan. Saat ini, Indonesia merupakan negara yang paling kaya dengan energi hijau. Kita memiliki minimal 62 jenis tanaman bahan baku biofuel yang tersebar secara spesifik di seluruh pelosok Nusantara. Kelapa sawit tumbuh di wilayah basah dengan curah hujan tinggi.

Selain itu, ada tanaman tebu yang menghendaki beda musim yang tegas antara hujan dan kemarau. Singkong mampu berproduksi baik di lingkungan sub-optimal dan toleran pada tanah dengan tingkat kesuburan rendah. Jarak pagar mampu berproduksi optimal di daerah terik dan gersang. Kelapa terdapat di pantai-pantai, bahkan di pulau- pulau terpencil. Ditambah tanaman lainnya, seperti sagu, nipah, nyamplung, bahkan limbah-limbah pertanian, seperti sekam padi, ampas tebu, tongkol jagung, dan biji-bijian sangat mudah didapatkan di Indonesia. Ini menunjukkan ada banyak pilihan untuk memproduksi biofuel di seluruh Indonesia sesuai karakter daerah, sifat lahan, kekayaan sumber energi hijau setempat, dan penguasaan ilmu. Betapa indah dan bijak jika warga Papua menghasilkan biofuel dari ubi jalar dan nipah, warga Maluku dari sagu, penduduk Madura dari jagung dan nyamplung, orang Manado dari aren, masyarakat Lampung dari singkong, Pulau Sangir Talaud dan pulau-pulau terluar Indonesia dengan biofuel berbasis kelapa, rekan-rekan di Rote dengan kesambi, dan warga Kupang dengan jarak pagar atau kelor.

Teknologi

Di sisi lain, penguasaan teknologi sangat diperlukan dalam memanfaatkan energi biomassa. Ada tiga cara yang paling populer dalam mengonversi biomassa jadi energi, yaitu pembakaran langsung (direct combustion), pembuatan gas biomassa, dan konversi menjadi bahan bakar cair. Pemanfaatan energi biomassa melalui pembakaran langsung telah dilakukan sejak zaman nenek moyang kita, dengan pemanfaatan kayu bakar. Saat ini, teknologi yang bisa menghasilkan energi cukup besar, yaitu pembakaran biomassa untuk menghasilkan uap pada pembangkit listrik atau bahan penunjang manufaktur. Dalam sistem pembangkit, kerja turbin biasanya memanfaatkan ekspansi uap bertekanan dan bersuhu tinggi untuk menggerakkan generator yang bisa menghasilkan listrik. Sebagai contoh, Pembangkit Listrik Tenaga Sekam di Desa Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. Di sana terdapat mesin setinggi 4 meter hasil penelitian PT Indonesia Power, anak perusahaan PLN, yang berdiri sejak September 2003. Pembangkit ini berkekuatan 100 kilowatt, berbahan bakar sekam padi, yang dibakar menjadi gas yang dialirkan ke dalam ruang bakar mesin diesel. Tambahan gas itu bisa menekan kebutuhan solar hingga tinggal 20 persen, artinya enam kilogram sekam menggantikan satu liter solar sebagai bahan bakar.

Sementara itu, pemanfaatan gas biomassa pada skala kecil sudah banyak diaplikasikan masyarakat, yaitu pemanfaatan gas metana hasil fermentasi yang langsung dibakar untuk kebutuhan rumah tangga, yang dikenal melaui teknologi biogas digester. Teknologi ini berkembang pesat di India, yang ditandai dengan pembangunan digester sebanyak 400.000 unit pada kurun waktu 1980- 1985. Pada skala yang lebih besar dan massal, pemanfaatan gas biomassa melalui sistem pirolisis dan gasifikasi menggunakan temperatur tinggi untuk mengubah biomassa menjadi campuran gas hidrogen, karbon monoksida, dan metana, yang telah banyak diaplikasikan di negara-negara maju sebagai bahan bakar kendaraan yang ramah lingkungan. Cara ketiga dan yang paling populer adalah mengonversi biomassa menjadi bahan bakar cair, yaitu bioetanol dan biodiesel. Bioetanol adalah alkohol yang dibuat dengan fermentasi biomassa, terutama bahan berpati, seperti singkong, biji jagung, biji sorgum, sagu, gandum, dan kentang, serta bahan bergula seperti tetes tebu, nira kelapa, dan batang sorgum manis.

Adapun biodiesel adalah ester yang dibuat menggunakan minyak tanaman, lemak binatang, ganggang, atau minyak goreng bekas melalui proses esterifikasi. Kedua produk biofuel ini paling sering digunakan sebagai aditif bahan bakar untuk mengurangi emisi karbon monoksida (CO) dan asap lainnya dari kendaraan bermotor. Secara ekonomis, kedua produk ini lebih murah dibanding BBM. Bandingkan, biaya produksi bioetanol per liter hanya Rp 2.400, jauh lebih murah daripada harga bensin saat ini yang Rp 6.500 per liter. Melihat potensi biomassa yang cukup melimpah di Indonesia dan teknologi pemanfaatannya yang berkembang sangat cepat, green energy merupakan alternatif terbaik dalam mengatasi krisis energi di Indonesia. Kini saatnya kita mendirikan "kilang-kilang hijau" berupa alat pemerah biji tanaman penghasil biodiesel dan bio-oil skala rumahan, juga alat mini fermentasi penghasil bioetanol skala kemasyarakatan. Melalui alat-alat sederhana itu, akan terwujud desa mandiri energi. Harapannya, oil-refinery Pertamina akan berubah pula menjadi "kilang hijau" karena disuplai dengan biofuel untuk diolah menjadi green diesel, bahan bakar nabati ramah lingkungan yang harganya pasti lebih murah dibanding biodiesel konvensional.

M Sigit Cahyono Mahasiswa Magister Sistem Teknik UGM, Yogyakarta Bekerja sebagai Konsultan di Bidang Lingkungan Hidup

Sumber: Kompas

Bulan Keramat Pencandu Bola

Oleh Anton Sanjoyo

Tiap kali memasuki putaran final Piala Dunia, sebagian besar manusia di muka bumi ini, terutama pencandu sepak bola, seperti menyambut bulan keramat. Di banyak negara—tak sebatas 32 negara elite sepak bola yang ikut pergelaran sport paling masyhur itu—orang melupakan segala masalah, mulai dari problem domestik rumah tangga hingga problem politik-ekonomi negara yang paling pelik sekalipun. Di Indonesia, puluhan juta orang pada bulan keramat ini paling tidak bisa melupakan dulu kebusukan dan sandiwara politik para pemimpin negara yang bikin perut mual. Korban lumpur Lapindo yang sampai kini belum jelas nasibnya bisa menghibur diri sejenak menyaksikan pesona Xavi Hernandez atau Ricardo Kaka. Rakyat yang muak dengan polah konyol para wakilnya di DPR bisa terhibur jiwanya. Para pesohor yang sedang gundah dicecar gosip video panas bisa rehat sejenak dari kejaran pekerja infotainment yang bak mendapat durian runtuh atau gempuran oknum-oknum sok moralis, padahal kelakuan sosialnya pun amburadul. Pendeknya, semua problem menyingkir. Khusus urusan sepak bola, Indonesia sekali lagi cuma mampu jadi penonton. Buruknya mutu kompetisi yang digelar PSSI membuat tim ”Merah-Putih”, jadi anak bawang pun belum mampu di kancah pergaulan internasional. Lelucon ala PSSI yang mencari jalan pintas dengan ikut bidding Piala Dunia 2022 pun kandas karena bahkan orang paling dungu sekalipun tahu aksi itu cuma akal-akalan rezim Nurdin Halid untuk mengalihkan problem bobroknya pembinaan sepak bola nasional.

Sementara itu, Afrika Selatan sudah tak sabar untuk mencatatkan diri dalam sejarah dunia dengan tinta emas. Meski problem keamanan dan transportasi masih belum terpecahkan sepenuhnya, euforianya sudah menggema menyusuri sepanjang garis khatulistiwa. Presiden FIFA Sepp Blatter, meski dalam beberapa kesempatan sempat mengkhawatirkan soal isu keamanan dan transportasi, berkomentar positif untuk menyokong moral panitia Afrika Selatan. ”Hal terpenting, Piala Dunia kali ini akan membuktikan bahwa Afrika Selatan khususnya, dan Benua Afrika umumnya, mampu mengorganisasi kegiatan seagung ini,” paparnya. Persis tiga tahun setelah babak kualifikasi dimulai, Jumat besok, 90.000 kursi di Stadion Soccer City, Johannesburg, dipastikan penuh sesak saat tuan rumah menghadapi Meksiko di laga pembuka. Setelah itu, sebanyak 63 pertandingan akan berlangsung di seantero Afsel mulai dari Stadion Peter Mokaba Polokwane di timur laut sampai dengan Stadion Green Point Cape Town di barat daya. Sebanyak 10 stadion akan menjadi pusat-pusat keriaan, drama, dan air mata, dan semuanya itu akan berpuncak di Soccer City, Johannesburg, pada 11 Juli. Bagi Afsel, momen ini pasti sejarah emas. Tapi sejarah besar tak hanya bagi rakyat yang pernah merasakan pahitnya politik pemisahan warna kulit ini. Bagi sejumlah negara lain, Piala Dunia kali ini juga momen emas. Korea Utara, misalnya, merayakan kembalinya mereka ke pentas dunia setelah 44 tahun absen dan terkucil dari pergaulan internasional. Sedangkan Spanyol yang tak pernah merasakan manisnya menjadi juara dunia bertekad menyejajarkan diri dengan klub elite jawara dunia seperti Brasil, Italia, atau Jerman.

Piala Dunia sendiri merupakan sebuah sistem yang sudah berjalan sangat rapi dan bergulir tanpa rintangan. Sejak Perang Dunia II, tak ada satu perang pun yang mampu menghentikan guliran ajang akbar ini. Tak satu pun pergolakan politik, bahkan bencana alam paling dahsyat sekalipun, yang mampu menghentikannya. Putaran final di Afsel ini bermula dari proses panjang kualifikasi tiga tahun lalu, tepatnya 25 Agustus 2007, saat Samoa jumpa Vanuatu di wilayah Oceania bertanding dengan kurang dari 100 penonton. Sejak itu, secara akumulatif, lebih dari 20 juta penonton berduyun-duyun datang ke stadion di 204 negara untuk menjalankan ”ritual sepak bola” secara langsung. Dari 204 negara, termasuk Indonesia yang tak mampu bicara banyak, terseleksi 32 negara elite untuk ikut pesta empat tahunan yang paling masyhur ini. Jika Korea Utara kembali setelah 44 tahun dan Brasil tetap menjadi satu-satunya negara yang selalu ikut putaran final, Slowakia adalah pendatang baru di kancah ini. Sebanyak 31 negara lainnya paling tidak sudah pernah sekali merasakan hebatnya tampil di Piala Dunia.

Meski digelar di Benua Afrika, tak satu pun negara Afrika yang masuk dalam kategori favorit juara. Bahkan tuan rumah yang diisi oleh sebagian besar pemain muda hanya diprediksi lolos ke babak kedua. Adapun Aljazair, Nigeria, Kamerun, dan Pantai Gading hanya dijagokan sebagai ”kuda hitam”. Favorit juara masih menjadi dominasi Eropa dan Amerika Latin, khususnya Spanyol dan Brasil di posisi teratas, disusul Inggris, Italia, dan Argentina di level kedua. Spanyol barangkali menjadi negara yang paling disorot berkat penampilan mereka yang luar biasa sejak menjuarai Piala Eropa 2008. Dengan tim yang semakin matang, pelatih berpengalaman Vicente del Bosque, serta sejumlah bintang kelas elite dunia seperti Xavi, David Villa, dan Fernando Torres, memang tak ada momen yang paling pas bagi mereka untuk menjadi juara di Afsel. Inggris juga punya peluang untuk membuktikan bahwa mereka layak disebut kiblat sepak bola dunia. Setelah tahun 1966, Piala Dunia bukanlah tempat yang nyaman bagi pasukan ”Three Lions”. Kini, dengan sentuhan midas Fabio Capello, mereka bertekad membawa pulang trofi, seperti saat mereka rebut di Wembley, 44 tahun lalu.

Sumber: Kompas

Uang atau Memajukan Pengetahuan?

Oleh Mayling Oey-Gardiner

Tanggal 3-4 Mei 2010, saya mendapat kesempatan mewakili Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengikuti pertemuan perencanaan Konferensi Tantangan Penduduk Lansia yang akan dilangsungkan pada akhir 2010. Konferensi tersebut akan dilaksanakan di Beijing dan New Delhi. Indonesia diundang sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia dan akan memiliki penduduk lanjut usia (lansia) yang tumbuh sangat pesat dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Konferensi ini direncanakan akan disponsori empat Akademi Ilmu Pengetahuan dari Amerika Serikat (AS), China, India, Indonesia, dan Jepang. Pada saat pembahasan tentang banyaknya penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan negara bersangkutan, saya teringat pada nasib ilmuwan Indonesia dan kegiatan pengumpulan data oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di negara peserta ada data dari berbagai survei yang dibiayai oleh negara yang dapat diakses oleh ilmuwan dari seluruh dunia secara gratis. Akses secara gratis tersebut kemungkinan mengembangkan dunia ilmu pengetahuan masing- masing bangsa dan dunia, menghasilkan puluhan bahkan ratusan penelitian yang berkualitas diterbitkan dalam berbagai majalah ilmiah terkemuka. Tidak hanya ilmuwan terkenal yang mampu mengakses data tersebut, tetapi juga mahasiswa, calon ilmuwan di negara masing- masing yang relatif miskin. Itulah keuntungan dari keterbukaan akses pada data yang dikumpulkan dengan dana publik, dana rakyat pembayar pajak dikembalikan lagi kepada rakyat untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat juga. Saya hanya tinggal gigit jari.

Membingungkan tatkala pimpinan pertemuan menyarankan agar pembahasan keadaan dan perkembangan lansia di Indonesia dilakukan oleh peneliti AS dengan data yang disediakan oleh suatu perusahaan AS, Indonesian Family Life Cycle, bukan berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS dengan dana publik, dari rakyat, atau dari APBN. Saya sangat tersinggung, tetapi tidak dapat berkata karena alasannya amat sederhana. Data yang dikumpulkan tentang Indonesia oleh perusahaan AS dengan dana yang sejatinya berasal dari pembayar pajak AS itu disediakan di web secara gratis. Pada bulan Mei tahun 2010 BPS melaksanakan sensus penduduk Indonesia keenam sejak Indonesia merdeka. Sensus Penduduk 2010 ini berbeda dari sensus penduduk sebelumnya dari segi cakupan dan kelengkapan informasi yang dikumpulkan. Usaha Sensus Penduduk 2010 ini membutuhkan dana sebanyak Rp 3,3 triliun, tahun ini saja, suatu jumlah yang tidak kecil. Di samping itu, BPS juga merencanakan pengumpulan data kependudukan melalui dua survei lain. Kedua survei tersebut merupakan kegiatan tahunan, yaitu Susenas dan Sakernas. Kedua sumber data ini biasanya sangat kaya informasi keadaan sosial ekonomi masyarakat dan ketenagakerjaan. Hasilnya merupakan informasi yang banyak ditunggu tentang kemiskinan dan ketenagakerjaan, termasuk pengangguran. Kedua survei ini juga menggunakan dana publik yang tidak sedikit. Setelah pengumuman jumlah penduduk menurut Sensus Penduduk 2010, angka kemiskinan hasil Susenas, angka pengangguran dari Sakernas, maka beberapa tabulasi akan diterbitkan oleh BPS.

Sulit terjangkau

Dalam suatu terbitan sebenarnya tidak terlalu banyak data yang disajikan oleh BPS, dijual dengan harga yang cukup mahal, umumnya tidak terjangkau oleh mahasiswa atau peneliti di perguruan tinggi. Namun, lebih tidak terjangkau lagi apabila peneliti ingin melakukan analisa yang agak canggih, memerlukan apa yang disebut ”data mentah” untuk beberapa tahun. Data mentah juga dijual oleh BPS dengan struktur harga sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPS. Bayangkan seorang peneliti ingin mengetahui perkembangan suatu gejala kependudukan dan memerlukan akses pada data mentah Susenas dan atau Sakernas untuk beberapa tahun. Data Susenas terdiri dari dua set: kor dan modul. Kalau seorang peneliti ingin mempelajari perubahan kemiskinan yang dikaitkan dengan berbagai karakteristik penduduk serta memerlukan data kor dan modul yang memungkinkan analisa kemiskinan, ia memerlukan dana Rp 30 juta hingga Rp 40 juta untuk memperoleh data mentah untuk 1 (satu) tahun saja. Bandingkan dengan harga data mentah tersebut dengan gaji seorang dosen pegawai negeri sipil (PNS) yang telah mencapai guru besar. Umumnya, ia telah sekolah lebih dari 20 tahun untuk menyelesaikan S-3, dan telah berkarya selama 20-30 tahun. Gaji dasar mereka adalah Rp 3,5 juta per bulan. Mana lebih penting? Penerimaan PNBP hasil penjualan data oleh BPS atau kontribusi BPS kepada dunia pengetahuan dalam mencerdaskan bangsa?

Mayling Oey-Gardiner Peneliti; Ilmuwan Sosial

Sumber: kompas