Menimbang Hak Pilih TNI

Oleh: M. Alfan Alfian

WACANA hak pilih Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemilu mencuat kembali. Kalangan petinggi TNI, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun, memberikan lampu hijau agar hak pilih TNI itu bisa diterapkan pada Pemilu 2014. Dari pihak partai politik, suaranya belum seragam. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, setuju dengan penggunaan hak pilih itu. Tetapi, PDIP mewacanakan penolakan. Sementara Partai Golkar, cenderung "tengah-tengah". Partai-partai yang lain tentu ikut sibuk memikirkan sikap untuk merespons wacana ini. Secara prinsip memang tidak dapat dimungkiri bahwa TNI-Polri secara individu punya hak politik. Memang, lembaganya harus mutlak independen alias taat pada asas netralitas politik. Politik TNI-Polri adalah politik negara, yang jauh di atas politik praktis partai-partai politik. Dari prinsip ini, tampaknya, tidak ada satu pun kelompok politik yang menolak. Toh secara individu anggota TNI-Polri juga warga negara seperti yang lain. Hanya, profesi kemiliteran memang berbeda dengan profesi-profesi lain. Penggunaan senjata dan pendekatan militer secara sah adalah wilayah profesi militer, walaupun otoritas penggunaan senjata itu diatur sedemikian rupa dalam konstitusi sipil. Profesi militer membutuhkan disiplin tersendiri, ketat, dengan berbasis sistem komando. Yang dipermasalahkan bukan hak politik TNI-Polri itu sendiri, melainkan ekses darinya. Mengapa ekses dikhawatirkan? Sebab, politik itu adalah medan konfliktual. Apakah ada jaminan bahwa penggunaan hak pilih anggota militer tidak akan menambah beban konflik politik yang selama ini terjadi?

Tentu saja jawabannya tidak serta merta harus datang dari Panglima TNI dan jawaban itu langsung dapat dipakai untuk mengegolkan sebuah keputusan politik. Panglima TNI punya cara untuk menjawab pertanyaan itu, dengan dalih argumentasi yang analitis. Panglima TNI punya hak mengusulkan pencabutan penundaan hak politik TNI yang selama ini sengaja dilakukan. Tetapi, lagi-lagi politisi juga punya kesempatan membendung usul itu. Sejatinya, para politikus tidak punya hak untuk menghalangi desakan atau tuntutan penggunaan hak pilih tersebut. Mengapa? Sebagaimana dijelaskan di atas, hak pilih adalah bagian integral dari hak politik warga negara yang mendasar. Para politikus tak berhak membatasi (mendiskriminasi) hak warga negara lain, bukan?

Namun, politisilah yang memiliki ruang manuver luas untuk pada akhirnya membuat gagasan dan desakan hak pilih TNI itu bisa atau tidak bisa diterapkan pada Pemilu 2014. Apabila keputusan itu secara politik dilakukan melalui pemungutan suara (voting) di DPR, misalnya, kalkulasi kekuatan politik partailah yang mengemuka. Apa memang sudah siap militer menggunakan hak pilih dalam konteks politik Indonesia saat ini? Pertanyaan ini sesungguhnya klasik, setidaknya mencuat sejak dua pemilu lalu. Dari sisi internal, TNI kita masih mengalami banyak keterbatasan, termasuk soal kesejahteraan prajurit. Pada 2014, tampaknya hal itu masih menjadi persoalan. Kalau kesejahteraan terbatas, banyak yang khawatir berimbas negatif ke politik, sehingga menyuburkan konflik. Soal tradisi komando memang tidak bisa diutak-atik. Tetapi, dalam demokrasi, mereka bisa bebas menentukan pilihan. Apakah pengurangan atas tradisi komando ini bisa diimplementasikan? Ataukah akan menjadi sumber konflik politik baru, ketika elite militer mengomandokan pilihan politiknya? Soal ini memang perlu eksperimentasi, tetapi seharusnya jauh sebelumnya dilakukan sosialisasi.

Dari sisi eksternal TNI bagaimana? Memang perjalanan reformasi politik kita sudah lebih dari sewindu, dan mestinya terjadi perubahan perilaku politik yang demokratis. Tetapi, apabila melihat kondisi lapangan, perilaku politik yang demokratis itu masih gampang digoyang oleh rekayasa-rekayasa politik yang terkadang kurang canggih pelaksanaannya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat banyak jenis pelanggaran pemilu yang, sayangnya, banyak yang tidak tuntas penyelesaiannya. Kualitas demokrasi kita belakangan ini juga tampak masih banyak meninggalkan catatan yang tidak menyedapkan. Konsolidasi demokrasi memang sangat diharapkan terjadi dengan mulus, tetapi belenggu-belenggunya masih banyak. Wajar saja kalau banyak yang khawatir, TNI malah terjebak konflik politik bila hak pilihnya dipakai. Bagaimana pula dengan partai-partai apabila hak pilih TNI itu dipakai? Akan dapat dipastikan bahwa para anggota TNI akan menjadi sasaran bidik partai-partai. Secara formal, kampanye yang ditujukan khusus ke para anggota TNI mungkin bisa diatur sedemikian rupa. Tetapi, bagaimana sisi informalnya? Bagaimana bisa ada sebuah jaminan bahwa potensi konflik-konflik akan terkelola? Syarat lain yang ditekankan berbagai kalangan adalah profesionalitas TNI itu sendiri. Asumsinya, kalau TNI kita mampu menjamin kualitas profesionalismenya, penggunaan hak pilih itu pada 2014 tidak menjadikan permasalahan serius. Tetapi, kalau tidak ada jaminan profesionalitas yang berkualitas, penggunaan hak pilih TNI hanya akan menjadi persoalan baru.

*) M. Alfan Alfian, dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Sumber: Jawapos

Comments :

0 comments to “Menimbang Hak Pilih TNI”

Post a Comment