Oleh Cornelis Lay
Pemekaran wilayah kembali menjadi sentral perdebatan publik. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, hampir tak ada penjelasan baru kecuali eksploitasi berlanjut atas watak patologis gejala ini. Korupsi, penyalahgunaan wewenang, kegagalan pelayanan, inefisiensi, ketamakan elite, kebangkitan politik etnis, egoisme, oligarki, dan sejenisnya diproyeksikan sebagai penyakit kronis daerah baru. Beberapa di antaranya diandaikan sebagai penjelas di balik maraknya usul pemekaran. Penyakit-penyakit ini diisolasi dari tata kelola kekuasaan
Problema distribusi
Maraknya usulan pemekaran punya penjelasan bervariasi. Namun, data 10 tahun terakhir menunjukkan lebih dari 90 persen tuntutan datang dari luar Jawa dan
Salah satu kelemahan regulasi di sekitar pemekaran adalah menempatkannya sebagai properti dan kepentingan daerah. Negara nasional diandaikan tak punya kepentingan atau, setidaknya, netral. Tengok saja berbagai kriteria dan prosedurnya. Semua berbicara tentang daerah. Yang terlewatkan justru kepentingan nasional—melindungi integritas teritorial dan memastikan kehadiran negara secara lebih konkret di tengah rakyatnya—yang sangat mungkin difasilitasi melalui instrumen ini. Pemekaran mestinya bisa sebagai dasar legal bagi pusat untuk menginstalasi infrastruktur pemerintahan di kawasan perbatasan. Kawasan, karena lemahnya kapasitas governability negara, sering dihadapkan pada persoalan. Kealpaan negara di banyak kawasan terisolasi untuk jangka waktu sangat lama mestinya bisa dijembatani jika negara nasional bisa berinisiatif menghadirkan diri secara lebih konkret lewat kebijakan ini. Kembali ke distribusi. Sebagian ketimpangan merupakan fungsi dari rendahnya kapasitas negara dalam memproduksi barang-barang publik. Kita belum mampu menghasilkan dokter dan paramedik atau guru yang setara kebutuhan. Kapasitas finansial kita pun belum cukup membiayai berbagai aktivitas yang mewakili kehadiran negara sebagai pelayan: pembangunan infrastruktur dan sebagainya.
Namun, sebagian persoalan terletak pada kebiasaan kita mengelola barang publik yang masih tunduk pada hukum sederhana: melayani negara, bukan rakyat. Penyediaan rumah sakit (RS), misalnya, sepenuhnya mengikuti logika level pemerintahan. RS kelas tertentu hanya bisa dibangun di level pemerintahan tertentu, bahkan sebatas di ibu
Representasi
Problem lain yang berada di balik hasrat menggebu pemekaran adalah representasi. Hasil riset panjang UGM mengindikasikan seriusnya persoalan ini. Kecenderungan untuk melayani kawasan atau kelompok primordial sendiri sambil mengecualikan kelompok lain adalah fenomena yang luas berkembang di daerah- daerah. Ditutupnya akses suatu kawasan atau kelompok primordial dari wilayah pengambilan kebijakan—bahkan sekadar menjadi PNS—adalah gejala yang sama luasnya. Kita, sialnya, belum memiliki instrumen pencegah. Namun, hal ini harus juga jadi perhatian serius. Pembentukan UU yang menjamin hak warga negara menuntut otoritas politik jika diperlakukan diskriminatif untuk mendapatkan akses ke pelayanan atau ke arena publik boleh jadi akan jadi alat legal penting. Namun, bisa dipastikan ini saja jauh dari memadai. Kita membutuhkan instrumen yang bisa menjadi kesepakatan sosial sesama warga bangsa: kita adalah
Cornelis Lay Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Sumber: Kompas
Comments :
Post a Comment