Menanti Kiprah KEN

Oleh Ryan Kiryanto

BARU-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk organ baru bernama Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang mengacu kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 31 Tahun 2010. KEN itu semacam Dewan Ekonomi Nasional (DEN) di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Melalui KEN, pemerintah meminta masukan soal penataan alokasi APBN untuk menghindari defisit dan kemungkinan munculnya krisis karena tidak berimbangnya sejumlah pembiayaan yang dikeluarkan negara. Presiden juga mengingatkan seluruh jajaran pemerintah bahwa ketika ada pembahasan menyangkut anggaran dengan DPR, hendaknya jangan mudah menyebutkan alokasi dan angka persentase yang tinggi dari total APBN. Semua harus dikonsultasikan dulu dengan menteri keuangan, Menko perekonomian, Wapres, dan sampai tingkat presiden. Kepala negara menegaskan kepada seluruh jajaran untuk menciptakan APBN dan APBD yang sehat dan berkelanjutan. Anggaran diarahkan serta ditargetkan untuk membiayai kegiatan yang memang tepat untuk dibiayai. Konsultasi diperlukan agar jangan sampai penetapan alokasi anggarannya kebablasan (overbudget). Sebab, jika sudah dituangkan dalam UU, pemerintah wajib menjalankannya. Untuk itu, penyusunannya harus dilakukan dengan tepat dan ditata berimbang. Dalam perpres tentang KEN disebutkan ruang lingkup tugasnya meliputi tiga hal. Pertama, mengkaji permasalahan perekonomian nasional serta perkembangan perekonomian regional dan global. Kedua, menyampaikan saran tindak strategis dalam rangka percepatan perekonomian nasional kepada presiden. Ketiga, melaksanakan tugas lain dalam lingkup perekonomian yang diberikan presiden. Selain itu, KEN bertugas di bawah koordinasi dan bertanggung jawab kepada presiden. Pendek kata, KEN diharapkan bisa memberikan solusi bagi masalah perekonomian.

Solusi yang diminta presiden itu nanti tidak berbentuk kajian akademik. Melainkan sebuah solusi penting bagi pemerintah dalam membuat kebijakan perekonomian nasional. Arahnya adalah policy yang akan menjadi bagian atau masukan penting di jajaran pemerintah. Jadi, selain sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang ekonomi, presiden masih perlu memperkuat tim ekonomi dengan membentuk KEN. Dengan keanggotaan KEN yang melibatkan unsur mantan birokrat, akademisi, pengusaha, dan ekonom, diharapkan masukan atau rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah akan lebih membumi (down to earth). Sinergi antaranggota dari berbagai disiplin ilmu dan profesi tersebut diharapkan akan memberikan masukan solutif yang jitu dan efektif bagi perbaikan perekonomian. Tentu seluruh anggota KEN harus mampu membentuk kesatuan senyawa (chemistry). Maklum, mencermati pandangan Paul Krugman, ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2008, betapa berbahayanya jika kebijakan ekonomi suatu negara diserahkan kepada pengusaha. Menurut Kurgman, seorang presiden direktur perseroan yang menghasilkan uang 1 miliar dolar AS bukan orang yang tepat untuk dimintai pendapat soal perekonomian sebesar 1 triliun. Apa sebabnya? Sebab, negara bukanlah sebuah perseroan besar. Mengelola perekonomian negara tentu jauh lebih rumit daripada mengelola bisnis perseroan.

Di dalam perekonomian suatu negara, ada ribuan lini bisnis yang berlainan dan bahkan tidak jarang saling bertentangan. Mereka dipersatukan hanya karena berada di batas wilayah negara yang sama. Sebaliknya, mengelola perseroan relatif lebih mudah karena lini bisnis yang dikendalikan tidak sebanyak dan sekompleks mengelola perekonomian nasional. Itulah tantangan nyata yang dihadapi KEN, yakni menyinergikan perbedaan latar belakang menjadi satu kekuatan. Sebuah perekonomian suatu negara yang berhasil menjual banyak barang biasanya akan mendapatkan umpan balik negatif dari sektor-sektor perekonomian yang lain. Contoh konkretnya adalah kebijakan suku bunga. Para pengusaha kerap meminta suku bunga ditekan serendah-rendahnya supaya kegiatan bisnis mereka bisa semakin lancar. Dengan suku bunga rendah, kalangan pengusaha properti berharap rumah atau apartemen jualannya cepat laku. Padahal, dari sisi bank sentral, suku bunga perlu diatur karena bank sentral berkepentingan untuk menjaga inflasi tetap terkendali pada level rendah agar perekonomian tidak menjadi kepanasan (overheating economy) yang pada akhirnya justru menimbulkan masalah baru perekonomian.

Pemanasan ekonomi sebagai respons kegiatan mesin-mesin pertumbuhan yang bergerak cepat biasanya efektif didinginkan melalui kebijakan menaikkan suku bunga. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa negara -sebut saja Korsel, Tiongkok, India, dan Australia- begitu muncul tanda-tanda pemanasan ekonomi. Bahkan, kebijakan Tiongkok lebih ekstrem lagi, yakni menyetop aliran kredit ke sektor riil dan menaikkan rasio giro wajib minimum (GWM) dari 15 persen menjadi 17 persen. Di pihak lain, kalangan perbankan pun tidak bisa didikte untuk menurunkan suku bunga pinjaman tanpa alasan jelas. Acap kali kenaikan suku bunga justru didorong oleh permintaan pasar (deposan besar) yang menginginkan imbal hasil lebih tinggi sehingga menyulitkan perbankan menurunkan suku bunga pinjaman. Tidaklah mungkin suku bunga pinjaman dapat diturunkan sebagaimana permintaan pelaku sektor riil tanpa penurunan suku bunga simpanan terlebih dahulu. Hal itu sering tidak bisa dipahami masyarakat, termasuk pelaku usaha. Mestinya, pemilik dana besar tidak meminta suku bunga yang tinggi, apalagi meminta special rate, agar perbankan mau menurunkan suku bunga pinjaman untuk mendorong penyerapan kredit sehingga sektor riil bergerak. Akhirnya, apa pun tantangan dan peluangnya, kelak kinerja KEN akan terlihat ketika di akhir tahun Badan Pusat Statistik mengumumkan capaian seluruh indikator makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi (pro-growth), laju inflasi, persentase angka pengangguran, dan penciptaan lapangan kerja baru (pro-jobs) serta persentase angka kemiskinan (pro-poor). Jadi, semoga nasib KEN tidak seperti DEN di masa lalu yang dinilai gagal dalam menjalankan perannya sebagai policy advisor bagi pemerintah, terutama tim ekonomi.

*) Ryan Kiryanto, analis ekonomi dan keuangan

Sumber: Jawapos

Comments :

0 comments to “Menanti Kiprah KEN”

Post a Comment