Jelang Muktamar Muhammadiyah, Jogjakarta, 3-8 Juli 2010; Kegamangan dalam Euforia Satu Abad

Oleh Syamsul Arifin

PEKAN depan, Muhammadiyah menghelat muktamar ke-46 di Jogjakarta. Muktamar Muhammadiyah kali ini bertepatan dengan peringatan satu abad organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 8 Zulhijah 1330 H (18 November 1912 M). Warga Muhammadiyah patut bergembira dengan capaian usia organisasi yang panjang. Sebab, tidak banyak organisasi umat Islam di Indonesia yang berkembang secara dinamis, selain eksis, kendati telah melampaui usia seabad. Ahmad Dahlan mungkin tidak pernah membayangkan bahwa organisasi yang dia bidani ternyata tidak hanya melekat dalam memori kolektif umat Islam sebagai sebuah nama, tetapi dari sisi basis massa serta jaringan kian berkecambah, berkelindan dengan pertambahan amal usaha yang dimiliki. Ada banyak kontribusi yang telah diberikan oleh Muhammadiyah dengan modal yang dimilikinya itu. Salah satu kontribusi yang dicatat sejumlah pengamat dan peneliti Muhammadiyah adalah kontribusi di bidang politik, selain bidang keagamaan dan pendidikan yang memang sudah dikenal baik oleh publik. Di bidang politik, Muhammadiyah dalam penelitian Alfian (1989) yang mendalam terhadap perilaku politik Muhammadiyah untuk kurun 1912-1942 dinilai memiliki posisi strategis sebagai kekuatan politik (as political force) meskipun bukan partai politik.

Tanpa harus menjadi partai politik, Muhammadiyah sebenarnya telah memainkan peran politik penting. Peran yang ditemukan oleh Alfian selama meneliti, Muhammadiyah mampu menjadi masyarakat sipil atau civil society -menurut kosakata politik mutakhir. Ahmad Dahlan -karena lebih menonjol sebagai sosok kiai- tidak pernah memberikan atribut kepada Muhammadiyah dengan ungkapan yang tidak pernah ditemukan dalam teks kitab suci Alquran. Yang ada di benak Ahmad Dahlan hanyalah keinginan memperbarui sosial-keagamaan dengan agama sebagai sumber inspirasi dan motivasi. Praksis gagasan Ahmad Dahlan, rupanya, mengundang apresiasi. Karena itu, banyak kalangan Islam perkotaan yang bergabung dengan Muhammadiyah, kendati banyak juga yang bersikap oposisi. Terlepas dari kontroversi yang mengiringi perkembangan Muhammadiyah, ada suatu fakta yang tidak terbantahkan. Yakni, Muhammadiyah memiliki basis massa dan jaringan yang lumayan kuat serta luas sehingga dapat mengefektifkan Muhammadiyah dalam berperan sebagai civil society.

Dengan peran tersebut, Muhammadiyah di satu pihak selalu konsisten di luar jalur kekuasaan dalam pengertian formal. Tetapi, di pihak lain, Muhammadiyah tidak pernah kehilangan nyali untuk menyampaikan kritik secara objektif dan elegan terhadap lembaga kekuasaan formal, pemerintah. Soal kemampuan mengkritik sebagai civil society, kalangan internal Muhammadiyah selalu menjadikan A.R. Fachruddin sebagai contoh yang baik. Tokoh yang dikenal bersahaja dan pernah memimpin Muhammadiyah dalam rentang waktu yang cukup panjang (1968-1990) itu memahami betul konteks budaya penguasa. Beberapa episode kepemimpinan Pak AR, panggilan akrab A.R. Fachruddin, semasa dengan kekuasaan Presiden Soeharto yang memang kental akan nuansa budaya Jawa dan dikenal otoriter. Pak AR tidak jarang menggunakan bahasa Jawa kromo inggil saat berkomunikasi dengan Soeharto sehingga aspirasi, kritik, dan lobi bisa disampaikan secara elegan, tanpa menimbulkan stigma, apalagi friksi utama antara Muhammadiyah dan pemerintah.

Dengan kompetensi personal dalam berkomunikasi di ranah politik, Pak AR mampu mengawal karakter kepolitikan Muhammadiyah, yang sejatinya harus mengutamakan keadaban berdemokrasi. Pak AR tentu sangat sadar bahwa Muhammadiyah bukan partai politik yang memang terbiasa dengan dua pilihan: berkuasa atau oposisi. Muhammadiyah merupakan institusi dakwah. Secara diametral, perspektif dakwah berbeda dengan pandangan partai dalam memahami realitas politik. Perspektif dakwah lebih mengedepankan kearifan atau hikmah dalam berhadapan dengan realitas politik. Realitas politik jarang dilihat secara hitam-putih. Kekuasaan secara kelembagaan maupun personal, misalnya, tidak melulu dilihat dari sisi buruk atau baik. Agar bisa sampai pada penilaian yang seimbang, kita dituntut menjaga jarak dan tidak boleh mengambil posisi sebagai partisan. Sebab, jika mengambil posisi sebaliknya, kita dengan mudah terperangkap pada sikap hitam-putih lazimnya partai politik. Mengapa Pak AR sering dijadikan contoh yang baik dalam komunikasi politik? Sebab, Pak AR lebih mengutamakan pola berpikir dakwah yang menjadi karakter Muhammadiyah!

Dalam lima tahun terakhir, warga Muhammadiyah mulai merindukan sosok seperti Pak AR, yang piawai memosisikan Muhammadiyah ketika berhadapan dengan realitas politik. Suasana kebatinan itu merupakan hal yang wajar. Sebab, elite Muhammadiyah, terutama di level puncak, kian kehilangan nalar dalam memahami dua realitas sekaligus: Muhammadiyah dan politik. Cara memosisikan Muhammadiyah sebagai institusi dakwah dengan politik tak ubahnya yang dilakukan oleh aktivis partai politik. Karena itu, Muhammadiyah menjadi seperti partisan dan terbawa ke arus kontestasi perebutan kekuasaan. Hal tersebut tampak pada pemilihan presiden 2009. Sampai pilpres usai pun, elite puncak Muhammadiyah tidak mau belajar dari kesalahan yang baru saja dibuat. Mereka tetap menggiring Muhammadiyah ke dalam pusaran politik partisan. Kinerja elite puncak Muhammadiyah yang demikian tentu bisa menimbulkan efek psikologis sebagai pihak yang kalah jika agenda politik partisannya terhambat. Sebaliknya, jika agenda politik partisan terakomodasi ke ranah kekuasaan, efek psikologis sebagai pemenang meluap-luap. Model logika biner, kalah-menang, lazim digunakan oleh aktivis partai politik. Logika seperti itu sungguh tidak elok bila dikembangkan di Muhammadiyah. Mengapa elite puncak Muhammadiyah memiliki agenda politik partisan, sedangkan di pihak lain mengabaikan potensi besar Muhammadiyah sebagai civil society? Tanpa agenda politik partisan, apakah kekuatan Muhammadiyah tergerus? Saya khawatir, dengan mendorong Muhammadiyah terlibat dalam praktik politik partisan, elite puncak Muhammadiyah mulai dihantui kegamangan saat Muhammadiyah justru memasuki abad kedua. Kegamangan merupakan pertanda bahwa elite puncak itu dihinggapi rasa kurang percaya diri terhadap potensi besar Muhammadiyah sebagai civil society, yang semestinya memiliki kekuatan sejati, tanpa perlu mencari patron kekuasan dengan melibatkan diri dalam percaturan politik partisan.

*) Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si , guru besar dan wakil direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber: Jawapos

Comments :

0 comments to “Jelang Muktamar Muhammadiyah, Jogjakarta, 3-8 Juli 2010; Kegamangan dalam Euforia Satu Abad”

Post a Comment