Pemecah Gelombang Tipe Baru

Oleh: Mawar Kusuma

Mayoritas pemecah gelombang dibuat dengan rumus ”coba-coba” sehingga pembangunan prototipe di lapangan sering kali tidak sesuai dengan uji coba laboratoriumnya. Mudah rusaknya beberapa pemecah gelombang di beberapa pantai seperti di Tegal, Jawa Tengah; Jember, Jawa Timur; dan DI Yogyakarta menunjukkan lemahnya teknologi lapis pelindung breakwater. Untuk menjinakkan dahsyatnya gaya gelombang pecah lautan, peneliti dari Great Lakes Institute for Environmental Research (GLIER) University of Windsor, Kanada, Wasi Tri Pramono, membuat terobosan dengan penemuan alat ukur gaya gelombang dan desain breakwater. Wasi menjadi orang pertama yang mampu mengukur semua komponen gaya gelombang pecah, yaitu gaya cabut, gaya dorong, dan momen pusar secara simultan. Dari hasil penelitian selama enam tahun, Wasi kini memegang hak paten internasional untuk konsep teknologi baru lapis pelindung breakwater yang dijuluki Integrated Armour System (IAS). ”Sistem ini sangat tangguh, tahan gempa, indah, dan cocok dengan kondisi pantai Indonesia,” ujar Wasi seusai Workshop Teknologi Pemecah Gelombang di Universitas Janabadra Yogyakarta, pertengahan bulan lalu. Wasi memulai penelitiannya melalui studi gaya gelombang laut yang tergolong rumit. Sejak 1950-an, hanya lima peneliti yang pernah mencoba mengukur gaya gelombang pecah tersebut. Padahal, pengetahuan gaya gelombang pecah sangat penting untuk perencanaan breakwater, seperti halnya pentingnya pengetahuan gaya yang bekerja pada perencanaan suatu jembatan, gedung, dan jalan raya.

Untuk pengukuran besarnya pukulan gaya gelombang pecah, Wasi menciptakan alat ukur gaya dinamik (dynamometer). Alat ini juga telah digunakan peneliti dari Australia, yang menjulukinya sebagai Wasidevice. Wasidevice mampu mengukur secara simultan (bersamaan waktu) gaya dorong, gaya angkat, dan gaya putar yang dialami suatu unit pelindung akibat pukulan gelombang pecah. Pengetahuan gaya gelombang simultan pada pemecah gelombang ini adalah yang pertama kali ditemukan. Wasi membangun dua dynamometer untuk memetakan selimut gaya gelombang maksimum di sepanjang permukaan potongan melintang submerged breakwater sampai low-crested breakwater. Alat dynamometer dibangun dengan menggunakan unit pemecah gelombang berbentuk kubus. Kubus dipilih untuk mempelajari kondisi terburuk sebuah unit pelindung breakwater. Di tengah kubus tersebut, Wasi meletakkan instrumen sebagai adaptor. Kubus digantung dengan menggunakan kawat piano 0,3 milimeter. Ketika gelombang pecah datang, pengukuran gaya dorong, gaya angkat, dan gaya putar bisa dilakukan secara bersamaan dengan tingkat kesalahan 0,4 persen. ”Prinsipnya seperti memancing. Kawat ibarat senar yang bisa mentransfer gaya sehingga bisa dirasakan seperti ketika ada ikan memakan umpan,” kata Wasi.

Dengan pemasangan dua unit kubus secara tandem tanpa bersinggungan, gaya gelombang bisa diperbandingkan. Meskipun kondisi gelombang sama, gaya gelombang yang dirasakan setiap kubus berbeda. Hasil penelitian menunjukkan, gaya gelombang unit depan ternyata lebih tinggi dari unit belakang. Unit depan menjadi yang pertama kali merasakan pukulan sangat kuat gelombang pecah. Sesaat kemudian, unit belakang merasakan pukulan gelombang, tetapi lemah. Penggunaan kedua dynamometer untuk meneliti secara simultan gaya gelombang yang disusun tandem (muka-belakang) itulah yang melahirkan lapis pelindung breakwater generasi III IAS. Wasi terus memperkenalkan IAS sebagai alternatif perencanaan unit pelindung breakwater ke jajaran pemerintah pusat, kalangan akademisi, hingga berbagai negara tropis lainnya. Konsep IAS tersebut dipastikan mampu memperkecil gaya dorong gelombang dengan konsep pembagian gaya. Setiap unit pemecah gelombang saling terangkai dengan konektor sebelum dipasang. Kesatuan rangkaian IAS melindungi setiap unit pelindung terhadap getaran kuat dari gempa sampai batas kekuatan konektornya sehingga tidak bercerai-berai. Ketika salah satu blok mengalami pukulan gelombang pecah, konektor kapsul penghubung antarblok akan seketika membagi gaya melalui desakan. Proses distribusi terus berjalan ke semua blok sehingga beban terbagi. Akibatnya, beban gaya yang dipikul setiap blok lebih kecil.

Dengan konsep IAS, gaya ke atas juga bisa diperkecil dengan menciptakan lubang pelepas tekanan. IAS tergolong hemat karena hanya menggunakan satu lapis pelindung yang pejal dan berukuran kecil. Wasi optimistis desain IAS ini awet hingga 50 tahun. Selama ini, kurangnya pengetahuan tentang gaya gelombang pecah telah memunculkan beragam bentuk unit pelindung untuk menghasilkan kestabilan. Pemecah gelombang lalu dibangun dengan menggunakan bermacam-macam lapis pelindung, seperti batu alam, tetrapod, dan plat beton. Cara coba-coba dengan menggunakan beragam bentuk unit pelindung ini terus berlangsung hingga sekarang. Cara coba-coba ini, menurut Wasi, harus segera dihentikan seiring dengan semakin tingginya abrasi di 81.000 kilometer panjang garis pantai Indonesia, yang diperparah oleh pemanasan global. Selama ini, peneliti cenderung kesulitan mengetahui besar gaya gelombang laut yang akan dialami suatu jenis unit pelindung. Apalagi, gaya gelombang dipengaruhi beragam faktor mulai ukuran dan bentuk unit pelindung, karakteristik gelombang, cara pecahnya gelombang, karakteristik air laut, sampai konstruksi pemecah gelombang. Gaya gelombang sebuah unit pelindung di suatu titik tertentu pada permukaan pemecah gelombang juga berbeda dibandingkan dengan gaya gelombang di tempat lain. Dengan keberhasilan pengukuran gaya cabut, gaya dorong, dan momen pusar secara simultan, Wasi memberi titik terang untuk membangun prototipe yang sesuai dengan uji coba di laboratoriumnya.

Sumber: Kompas, Rabu, 7 Juli 2010

Comments :

1
Jimail said...
on 

Pencerahan untuk dunia coastal engineering Indonesia dan dunia secara luas.

Post a Comment