Menimbang Konfederasi Parpol

Oleh Ahmad Nyarwi

Gagasan Partai Amanat Nasional (PAN) soal format konfederasi partai politik (parpol) menarik untuk dicermati. Tujuan Ketua DPP PAN Bima Arya Sugiarto menawarkan model konfederasi, Indonesia mampu mencapai penataan koalisi yang lebih maju. Asumsinya, dengan diikat landasan hukum yang jelas, sifat koalisi atau konfederasi bisa lebih permanen. Jika melihat kecenderungan format koalisi parpol dalam dua periode terakhir, gagasan tersebut cukup menarik. Selama itu, koalisi parpol mewujud dalam tiga peristiwa penting. Pertama, koalisi menjelang pemilu presiden. Kedua, koalisi menjelang pilkada. Ketiga, koalisi untuk mendukung rezim politik pemenang pascapilpres. Dua format pertama hanyalah koalisi "papan peluncur". Sedangkan format terakhir hanyalah koalisi berbasis transaksi politik. Keduanya jelas menyimpan kelemahan serius. Puncak kelemahan format koalisi parpol itu adalah ketidakefektifan dan ketidakstabilan pemerintahan serta konspirasi elite yang dominan di setiap parpol sehingga meminggirkan kepentingan publik.

Plus-Minus

Jika merujuk model Malaysia, konfederasi politik yang digagas Bima Arya dkk itu memang bisa menjadi jalan keluar yang menarik. Format koalisi sebelum pemilu dan pilkada jelas memiliki kelemahan mendasar yang terkait dengan fungsi dan dampaknya bagi kelangsungan kinerja rezim politik pemenang. Begitu pula koalisi pascapemilu, sebagaimana yang saat ini dipraktikkan melalui Sekber -kemudian menjadi Setgab- Koalisi. Koalisi pascapemilu tersebut juga rentan akan transaksi politik di luar mekanisme elektoral. Jika mengacu model konfederasi politik UMNO di Malaysia, koalisi itu memiliki keunggulan utama. Yaitu, daya ikatnya yang permanen. Sebagaimana yang kita saksikan, kekuatan UMNO yang dimotori Barisan Nasional, yakni United Malays National Organization (UMNO), Malaysian Chinese Association (MCA), dan Malaysian Indian Congress (MIC), terbukti mampu menjadi penopang rezim politik dengan lebih stabil dan efektif dalam menjalankan pemerintahan. Model konfederasi politik itu juga memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Kelemahan utama terkait dengan kecenderungan arah perkembangan model demokrasi di negeri ini. Malaysia jelas menganut pseudo democracy. Tentu saja paham itu berbeda dengan acuan Indonesia, yang telah bergerak jauh ke arah liberal democracy, yang berbasis pada pemilu langsung.

Andrew Aeria (2005) dalam Mavis Puthucheary dan Norani Othman (2005) lewat Elections and Democracy in Malaysia menjelaskan, model konfederasi politik ala Malaysia cenderung menguatkan patronase politik di level nasional dan lokal. Dampaknya, menurut Sharaad Kuttan (2005), model konfederasi politik tersebut dalam kadar tertentu meng­ancam civil society dan pressure group. Kelemahan berikutnya terkait dengan kelangsungan performance tiap parpol anggota konfederasi maupun yang bukan anggota. Khoo Boo Teik (2005) menyimpulkan bahwa konfederasi politik model Malaysia memberikan sejumlah batas terhadap tiap parpol dalam berdemokrasi. Faktor ekonomi nasional, pertimbangan ideologi negara, dan kelompok koalisi yang berkuasa cenderung dikedepankan melampui kepentingan publik mana pun dalam demokrasi. Faktor-faktor itu tentu sangat subjektif dan cenderung menguntungkan parpol-parpol anggota konfederasi yang berkuasa daripada yang tidak berkuasa. Akibatnya, diskriminasi politik sangat potensial dilakukan oleh mereka yang berkuasa. Risiko terburuk model konfederasi politik itu adalah menguatnya model otoritarianisme baru yang berbasis konfederasi.

Menimbang Konfederasi

Fakta itu hanyalah sepenggal peristiwa politik yang terus berlangsung di negeri jiran tersebut. Lantas, apakah model itu cocok dengan Indonesia? Indonesia dan Malaysia jauh berbeda. Malaysia menganut sistem parlementer serta berbasis partai lokal dan nasional. Sedangkan Indonesia, walaupun belum sempurna, menganut sistem presidensial dengan basis partai mayoritas nasional. Malaysia memiliki struktur sosial masyarakat yang tidak terlalu kompleks dan didominasi identitas sosial yang berbasis tiga etnis utama, yakni Melayu, Tionghoa, dan India. Walaupun sama-sama dihuni mayoritas muslim, Malaysia tidak terlalu liberal dan sekuler sebagaimana Indonesia. Sementara itu, persoalan Indonesia jauh lebih kompleks. Kompleksitas konfigurasi politik tidak hanya berbasis etnis, tapi juga agama, ras, dan kelas sosial. Kalau bertujuan melahirkan format koalisi permanen serta mendukung kinerja dan efektivitas pemerintahan, jelas konfederasi politik ala Malaysia menjadi model yang menarik untuk diadopsi di Indonesia. Hal tersebut penting untuk menjaga manuver elite parpol agar tidak terlalu liar. Namun, bila dipraktikkan, kemudian melahirkan persaingan loyalitas antarelite parpol dengan cara mengooptasi, bahkan mengerangkeng kekuatan ormas, civil society, dan pressure group agar tidak kritis pada rezim politik, konfederasi politik itu tentu berbahaya bagi masa depan demokrasi negeri ini.

Pada level elite, konfederasi tersebut menarik untuk dikembangkan di Indonesia. Hanya, model itu harus disertai regulasi yang lebih jelas dan detail dengan mempertimbangkan aspek yang lebih substansial bagi masa depan demokrasi Indonesia. Selain itu, jika mau mengadopsi model tersebut, regulasi politik harus dilakukan secara formal (tidak sekadar konvensi antarparpol) dengan mengedepankan aspek konsistensi, kejujuran, dan keterbukaan. Jika tidak, model konfederasi politik itu cenderung memberikan kontribusi negatif bagi demokrasi negeri ini. Pada level publik, model konferedasi politik ala Malaysia ini sebenarnya cukup menarik. Apalagi jika mampu menghasilkan kapasitan rejim politik dan pemerintahan yang excellent dan memiliki prestasi luar biasa bagi meningkatnya kesejahteraan publik. Boleh saja model ini diadopsi di Indonesia, namum dengan catatan harus selalu mempertimbangkan sejumlah faktor.

*) Ahmad Nyarwi, pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta

Sumber: Jawapos

Ayo Ikut Berantas Korupsi

PANITIA seleksi (pansel) pimpinan KPK telah merampungkan tahap awal seleksi pimpinan KPK. Di antara ratusan nama yang telah mendaftar, pansel meloloskan 145 nama yang berhak maju dalam tahap berikutnya. Kini, 145 nama bakal calon pimpinan KPK tersebut telah diumumkan di media massa dan website resmi Kemenkum dan HAM. Dengan diumumkannya nama-nama mereka, pansel berharap ada masukan dari masyarakat tentang rekam jejak para kandidat. Waktu yang disediakan untuk masyarakat cukup panjang: sebulan. Yakni, sejak diumumkan (28/6) hingga 28 Juli mendatang. Karena itu, kini saatnya masyarakat memainkan peran pentingnya. Yakni, ikut ambil peran secara aktif untuk membebaskan negara ini dari jerat korupsi. Mereka yang kebetulan mengenal atau pernah bersentuhan -baik langsung maupun tidak- dengan nama-nama yang diumumkan tersebut diharapkan secara sukarela memberikan informasi ke pansel. Masyarakat harus memahami bahwa pansel bukan segala-galanya. Mereka memiliki banyak keterbatasan. Karena itu, bila kita menginginkan hasil maksimal dari kerja pansel tersebut, peran serta masyarakat harus benar-benar ditingkatkan. Informasi sekecil apa pun -khususnya yang terkait dengan cacat moral si calon- harus segera disampaikan.

Terlebih informasi terkait dengan nama-nama populer yang selama ini dijagokan banyak pihak seperti Jimly Asshiddiqie, Muhammad Busryo Muqoddas, I Wayan Sudirta, Bambang Widjojanto, dan Bondan Gunawan. Sebab, peluang mereka untuk lolos tentu lebih besar jika dibanding para pendaftar lainnya. Memang, kepopuleran mereka telah membuat rekam jejaknya banyak diketahui publik. Mereka juga dikenal sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kredibilitas baik. Namun, itu tetaplah bukan jaminan. Tidak menutup kemungkinan ada informasi lain (tersembunyi) yang selama ini tidak tersingkap. Nah, untuk menyingkapnya, peran masyarakat -khususnya orang-orang yang bergaul dekat dengan mereka- sangat dibutuhkan. Tentu, informasi yang diberikan tersebut adalah informasi yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Artinya, informasi itu telah diyakini tidak hanya berdasar isu semata. Atau, setidaknya kita memiliki informasi cukup menyakinkan, kendati kebenarannya masih harus divalidasi atau diverifikasi lagi oleh pansel.

Pada era sekarang, memberikan informasi tentu bukanlah pekerjaan sulit. Banyak cara yang bisa ditempuh masyarakat. Selain menyampaikan secara langsung ke sekretariat pansel di kantor Kemenkum dan HAM, informasi bisa diberikan melalui e-mail yang telah tersedia, yakni: pansel_kpk@yahoo.co.id. Cukup mudah, tidak memerlukan biaya besar, tapi manfaat yang akan diperoleh bangsa ini sangatlah besar. Jadi, bagi mereka yang memiliki informasi, tentu tidak ada alasan untuk tidak ikut ambil bagian. Berikutnya, setelah masyarakat ikut ambil bagian, harapan selanjutnya kembali ke pundak anggota pansel. Kita berharap mereka mau menelusuri dan memverifikasi secara sungguh-sungguh informasi tersebut. Bila ditemukan ada kebenaran dari informasi tersebut, khususnya soal cacat moral, pansel harus bersikap jujur dan tegas: mencoret nama orang itu dari daftar bakal calon pimpinan KPK. Meskipun, nama itu (mungkin) nama populer dan mendapat dukungan dari banyak kalangan. Kendati pansel bukan segala-galanya, kerja pansel kali ini sangat menentukan masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini. Kita berharap dua nama yang nanti dinyatakan lolos dan disodorkan ke DPR benar-benar nama yang memenuhi kriteria untuk memimpin KPK. Yakni, sosok yang bersih, berkomitmen, dan memiliki keberanian untuk memberantas korupsi. Mengingat, medan yang akan dilalui nanti benar-benar terjal, berliku, dan penuh risiko.

Sumber: Jawapos

Comments :

0 comments to “Menimbang Konfederasi Parpol”

Post a Comment