Dilema Tajdid Muhammadiyah; Jelang Muktamar Muhammadiyah, Jogjakarta, 3-8 Juli 2010

Oleh: M. Zainuddin

Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan besar di Indonesia hingga sekarang tetap menunjukkan eksistensinya dalam membimbing dan merawat jamaahnya. Banyak peran yang dimainkan, baik di bidang sosial-keagamaan maupun ekonomi. Seiring dengan usianya yang hampir seabad ini, tentu Muhammadiyah dituntut untuk tetap mampu menghadapi tantangan yang semakin kompleks seiring pula dengan perkembangan zaman dan tuntutan global dan multikultural saat ini. Sebagai organisasi yang selalu mengedepankan jargon pembaruan (tajdid), Muhammadiyah mesti memperluas horizon tajdidnya, terutama dalam bidang pendidikan. Sebagai organisasi yang dikenal sebagai pengusung purifikasi agama, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan tentang ''meredefinisi makna purifikasi (tanqiyah)" itu sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam dunia global dan multikultural.

Jika dikaitkan dengan doktrin teologis maupun jurisnya, dalam pengamatan penulis, sebetulnya tajdid di Muhammadiyah mengalami problem (tantangan) ketika dihadapkan pada kondisi masyarakat yang multikultural saat ini. Era multikultural menuntut masyarakat memiliki pandangan (world-view) yang lebih luas dan bidang garap yang lebih bersifat mondial dan humanistis. Ideologi dan bahkan agama dituntut mampu melakukan proyek atau bidang garap seperti itu. Jika tidak, ideologi dan agama akan ditinggalkan pengikutnya.Era multikultural menuntut relasi sosial berbasis pada pertimbangan kemanusiaan, bukan golongan dan sektarian. Itu artinya bahwa ideologi dan agama dituntut untuk mengedepankan dan mampu merumuskan konsep kemanusiaan dan sosialnya secara komprehensif dan universal melintasi batas etnisitas, sekte, ideologi, dan agama itu sendiri. Dalam era multikultural, semua organisasi sosial-keagamaan tidak bisa lepas dari bidang garap yang terkait dengan kelompok-kelompok interest-group seperti petani, buruh, nelayan, dan sebagainya. Nah, bagaimanakah Muhammadiyah menghadapi persoalan itu? Bagaimana watak Muhammadiyah yang puritan, elitis, dan antitradisi? Mampukah Muhammadiyah hidup berdampingan dengan tradisi dan budaya masyarakat multikultural? Haruskah Muhammadiyah bertahan dengan watak aslinya, atau bersedia melakukan adaptasi dan akomodasi dengan tuntutan budaya yang ada?

Secara ideologis, Muhammadiyah mengklaim diri sebagai organisasi sosial keagamaan yang puritan dan anti-TBC (takhayul, bidah, dan khurafat). Konsekuensi dari itu, Muhammadiyah tidak bisa tidak, harus tegas melawan budaya yang mengakar dalam masyarakat, terutama di Jawa. Selama ini gerakan yang dilakukan Muhammadiyah masih berkutat pada persoalan di atas. Kalaupun ada pembaruan, belum memiliki arti yang substantif. Risiko organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah yang antitradisi tersebut memang tidak kecil. Sebab, tradisi dan budaya dalam suatu masyarakat memiliki akar yang luar biasa kuatnya. Oleh karena itu, untuk mengubah itu perlu waktu dan pendekatan yang akomodatif dan toleran. Tidak sekadar Muhammadiyah harus mengikuti tradisi tahlilan, istighatsah, dan rukyah seperti yang diusulkan oleh Syafik Mughni (Jawa Pos, 25/05/2005), melainkan lebih dari itu dia harus melintas batas agama. Beranikah Muhammadiyah melakukan gerakan lebih jauh seperti itu? Rasanya memang dilematis. Sebab, Muhammadiyah sudah menentukan pilihannya sebagai oraganisasi puritan, neo-wahabisme -meminjam istilah Fachry Ali. Dus dengan demikian sangat rigid dan rigiditas itulah yang agaknya menjadi kendala Muhammadiyah untuk melangkah lebih cepat dalam gerakan pembaruannya.

Problem yang dihadapi Muhammadiyah adalah menyangkut soal pemberdayaan masyarakat multikultural, melintas batas etnisitas, sektarianisme, dan agama. Selama ini, secara organisatoris, Muhammadiyah belum mau -untuk tidak mengatakan tidak berani- berdekatan dengan kelompok agama lain. Pemberdayaan-pemberdayaan yang dilakukan Muhammadiyah selama ini masih bersifat ke dalam ketimbang ke luar. Di situlah muncul dilema antara elitisme dan populisme, reformisme dan multikulturalisme. Tanpa menutup mata terhadap kontribusi pendidikan yang diberikan oleh Muhammadiyah, Kuntowijoyo (1994:268-269) memberikan catatan kritisnya bahwa gerakan rasionalisasi yang dilancarkan Muhammadiyah untuk melawan tradisi yang berkembang di masyarakat membawa ongkos dan berisiko tinggi yang tidak banyak disadari oleh Muhammadiyah sendiri. Misalnya, hilangnya budaya ikatan unitas yang utuh seperti yang tampak dalam kesatuan-kesatuan masyarakat desa yang memiliki sistem perekonomian, pemupukan solidaritas, dan kerja sama (gotong royong). Tanpa disadari, dalam sistem sekolah di Muhammadiyah juga turut andil menumbuhkan gejala individualisme. Misalnya, hubungan impersonal dan transaksional guru-murid, sekolah-alumni dan murid-murid seperti yang berkembang dalam masyarakat kapitalis. Itu tentu berbeda dengan pola pendidikan pesantren yang memiliki sistem relasi sangat erat antara kiai-santri.

Tidak bermaksud mengunggulkan satu dengan yang lain -karena semua memiliki keunggulan dan kekurangannya- maka dalam era multikultral seperti ini, Muhammadiyah sudah saatnya untuk terus melakukan evaluasi dan reorientasi dalam melakukan pembaruan. Sebab, bagaimanapun, kondisi objektif masyarakat dan konteks sosial harus dilihat secara cermat untuk melakukan dakwah ke depan. Kecenderungan-kecenderungan untuk lebih peka terhadap hal-hal yang bersifat trivial, khilafiyah, dan furuiyyah sudah saatnya untuk dihilangkan. Persoalan yang lebih besar, seperti kepekaan terhadap problem-problem sosial: masalah hak-hak asasi manusia (HAM), demokratisasi, supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kemiskinan, dan seambrek isu-isu sosial lainnya merupakan lahan garap yang mendesak yang mesti dilakukan dan diprioritaskan oleh organisasi sosial Islam seperti Muhammadiyah.

*) M. Zainuddin, dosen pemikiran Islam pada PPs UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang

Sumber: Jawapos

Comments :

0 comments to “Dilema Tajdid Muhammadiyah; Jelang Muktamar Muhammadiyah, Jogjakarta, 3-8 Juli 2010”

Post a Comment