Keberanian Menjaga Konstitusi

Oleh Adnan Buyung Nasution

Tidak salah selama 45 tahun Kompas mengambil moto ”Amanat Hati Nurani Rakyat”. Moto itu cocok benar dengan pekerjaan saya sebab ketika hati saya panas, akal tidak bisa juga menjawab, maka kompas atau petunjuk yang saya ambil adalah apa yang dibisikkan oleh hati nurani (conscience). Saya lebih dulu mengenal PK Ojong yang bersama Jakob Oetama mendirikan Kompas. Waktu itu usia saya 32 tahun, tahun 1966, PK Ojong adalah teman ayah saya. Jika PK Ojong datang ke rumah kami dengan mobil pikapnya, ayah berpesan agar saya meminta masukan dari beliau, selain Mochtar Lubis, dan lain-lain yang juga merupakan kawan seperjuangan ayah saya. Ketika itu saya berangan-angan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum. Pak Ojong mendukung cita-cita saya. LBH, katanya, bertujuan untuk membela orang miskin, tertindas, dan teraniaya. Setiap warga memerlukan perlindungan hak-hak asasi tanpa membedakan agama, suku, golongan, dan keturunan. Jadi, sejak zaman itu, sebetulnya PK Ojong sudah bicara soal HAM. Tampaknya, Kompas, sampai ulang tahunnya yang ke-45, secara konsisten berupaya melakukan pencerdasan dan pencerahan bangsa, sesuai apa yang pernah menjadi sikap pendirinya. Tetapi apakah yang harus terus menjadi fokus perhatian Kompas? Di bidang hukum, saya menilai saat ini terjadi degradasi dalam moral dan etika bangsa Indonesia dibandingkan tahun 1950-an. Cerita tentang konspirasi atau kongkalikong antara advokat, polisi, jaksa, dan hakim terus berlanjut. Perkara dipermainkan demi memiliki uang dan harta. Martabat dan etika profesi, anehnya, menjadi soal yang tidak penting lagi

Saya teringat di awal tahun 1960-an, saya juga bergaul akrab dengan hakim, jaksa, dan advokat. Hampir setiap Sabtu malam minggu, kami berkumpul di rumah saya, Jalan Jawa (HOS Cokroaminoto 70), Menteng. Hakimnya antara lain Asikin Kusumaatmadja, Sri Widoyati, Aslamiyah, Purbowati, Wiratmo Sukito. Jaksanya Sumarno Sulaiman, Hasnun Arifin, Priyatna Abdul Rasyid. Advokatnya Harjono Tjitrosubeno, Sukardjo Adijojo, Nani Razak. Masing-masing membawa makanan untuk dinikmati bersama, lalu kami lanjutkan berpesta di Hotel Des Indes. Tetapi, dalam pertemuan itu, tidak satu patah kata pun kami membicarakan soal perkara yang sedang atau akan kami tangani. Padahal, hari Senin-nya, kami bertempur di ruang pengadilan, berdebat dalam suasana yang panas. Masing-masing memiliki kesadaran penuh tentang etika profesi, dan harkat martabatnya menjaga integritas. Saat itu kami punya keteguhan dan penghayatan tinggi atas etika profesi masing-masing, dan itulah yang sekarang hampir tidak ada lagi. Dulu, meskipun jaksa dan terdakwa yang didampingi pembelanya memiliki sikap dan pendirian yang berbeda, namun sering sekali putusan hakim diterima oleh kedua belah pihak yang berlawanan. Itu karena dianggap vonisnya sudah tepat dan adil. Pembela pun tidak segan-segan menasihati klien- nya agar menerima hukuman.

Ini membuat perkara efisien karena vonis di tingkat pertama selesai dan inkracht (berkekuatan tetap). Kalau sekarang, tidak demikian. Baik jaksa maupun pembelanya minta banding. Klien juga begitu karena pada masa ini klien tidak percaya lagi ada putusan yang adil. Padahal, memercayai hakim menjadikan lembaga pengadilan efisien. Tidak ada lagi perkara yang menumpuk di tingkat kedua sampai Mahkamah Agung. Dulu, di masa saya menjadi jaksa akhir 1950-an, ada cara menguji secara sederhana bagaimana kita bekerja jujur, bersih, dan adil. Satu, seberapa banyak terdakwa yang mau menerima hukuman. Kedua, pergilah ke penjara. Lihat bagaimana reaksi narapidana, yang dulu kita tuntut, terhadap kita. Kalau mereka memaki-maki atau kita dilempari, berarti kita jaksa yang busuk. Yang kini juga saya rasakan kurang adalah minimnya keberanian menjaga konstitusi. Dan amat disayangkan mengingat sekitar 41 tahun lalu, begitu kerasnya usaha yang dilakukan para pendiri bangsa untuk meletakkan dasar konstitusi.

Konstitusi dan HAM

Ada pendapat dari dua tokoh dalam Majelis Konstituante (1956-1959) tentang HAM dan konstitusi yang tidak akan saya lupakan sampai sekarang, yaitu Soedjat- moko dan Andi Gappa. Andi Gappa dalam sidang Konstituante pernah mengatakan, jika UUD itu diibaratkan sungai, HAM adalah air yang mengalir di dalamnya. Tanpa HAM, sungai hanyalah sebentuk lika-liku yang panjang di permukaan Bumi, gersang tanpa makna. Maka HAM harus dihayati karena merupakan substansi konstitusi itu sendiri. Karena di sanalah dijamin penghormatan atas perbedaan. Tiap orang diakui eksistensinya dengan segala karakteristiknya. Saat itu Soedjatmoko memperingatkan betul bahwa konstitusi yang dibuat hanya memiliki arti bila warga negara yang diikat oleh konstitusi itu menghayati, meyakini, menyadari, dan berani mempertahankan konstitusi itu sendiri. Tanpa itu, semua kata dalam konstitusi adalah kosong belaka. Jadi, kalau kita menghadapi ancaman terhadap harkat kemanusiaan yang dijamin dalam konstitusi, jangan hanya dilawan dengan protes, dan kata-kata belaka, tetapi kita harus berani membela dengan perbuatan nyata. Contoh kecil, segolongan orang secara sepihak menutup satu ruas jalan di kawasan Jakarta Selatan. Alasannya, untuk kepentingan ritual keagamaan. Akibatnya semua yang tinggal di jalan itu tidak bisa masuk dan keluar dengan kendaraannya. Bahkan, kegiatan ekonomi di sekitar daerah itu terpaksa berhenti. Ini adalah kesewenang-wenangan atau tirani sekelompok masyarakat terhadap orang lain. Tidak ada kata pluralisme dalam konstitusi, tetapi dengan memahami HAM, konstitusi menjamin kepentingan semua golongan. Logika untung rugi saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah bisikan hati nurani untuk mendorong keberanian memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Tugas Kompas dan kita semua menjaga amanat itu.

Adnan Buyung Nasution Advokat

Sumber: Kompas, 29-06-2010

Comments :

0 comments to “Keberanian Menjaga Konstitusi”

Post a Comment