Stagnasi Angka Kemiskinan

Oleh: IVAN A HADAR

Menurut Badan Pusat Statistik, target pemerintah menurunkan angka kemiskinan dari 14,15 persen (Maret 2009) menjadi 11 persen pada 2010 bakal sulit tercapai. Hal ini ditandai dengan laju penurunan angka kemiskinan selama Maret 2009-Maret 2010 yang hanya 0,82 persen, lebih lambat dibandingkan dengan periode 2008-2009 sebesar 1,27 persen (Kompas, 2/7/2010). Diperkirakan, pengurangan angka kemiskinan menjadi 7,5 persen pada 2015 sesuai target Pembangunan Milenium untuk Indonesia juga akan melenceng. Tingginya angka inflasi serta semakin terpuruknya daya saing ekonomi Indonesia adalah beberapa penyebab. Pada saat yang sama, BPS mencatat terjadinya penyusutan drastis lahan pertanian di Pulau Jawa sebesar 27 juta hektar per tahun (Koran Tempo, 1/7/2010) sebagai penyebab lain kemiskinan. Dua tahun lalu, mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono pernah membandingkan profil lahan pertanian Indonesia dengan Brasil. Luas lahan pertanian Indonesia yang sekitar 21 juta hektar sama dengan luas lahan kedelai Brasil yang ”hanya” berpenduduk 200 juta. Sementara luas sawah Indonesia sama dengan luas lahan tebu di Brasil, sedangkan luas ladang penggembalaan sapi yang jumlahnya 220 juta hektar lebih besar dari seluruh daratan Indonesia yang memiliki luas sekitar 190 juta ha (Kompas, 9/4/2008). Kondisi di mana jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,3 persen per tahun dan terkonsentrasi di Jawa telah mendorong laju alih fungsi lahan semakin tinggi. Jawa tereksploitasi berlebihan, tecermin dari luas pemilikan lahan rata-rata yang terus menciut. Saat ini, 0,3 ha per kepala keluarga (KK) di Jawa dan 1 ha di luar Jawa. Survei Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA, 2003) menemukan kenyataan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 ha kalah dibandingkan upah bulanan buruh industri di kota besar. Separuh rakyat Indonesia yang miskin hidup di pedesaan. Sebagian besar dari mereka berstatus petani gurem atau buruh tani. Menurut World Food Programme (2009), jumlah mereka yang miskin dan kekurangan gizi di Indonesia akan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa perubahan kebijakan signifikan.

Reforma agraria

Terkait kebijakan, beberapa hal berikut perlu diperhatikan. Pemenang Hadiah Nobel, Theodore W Schulz, dalam buku Transforming Traditional Agriculture menerangkan konsep pertanian subsisten di negara berkembang sebagai sesuatu yang ”rasional karena meminimalisasi risiko”. Ia menganjurkan peningkatan produktivitas lewat teknologi baru yang memicu varietas unggul yang jadi landasan Revolusi Hijau. Dampaknya, di Asia tahun 1960-an dan 1970-an, berupa peningkatan produktivitas dan ”lompatan besar” persediaan pangan nyaris seiring pertumbuhan penduduk. Sayangnya, pada saat sama terjadi pemiskinan petani kecil. Tak heran Amartya Sen dalam Poverty and Famines (1981) menyimpulkan, persyaratan bagi pengamanan pangan masyarakat bukan pengadaan bahan pangan semata, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang miskin dan lapar. Aksesibilitas pada pangan terkait ketersediaan dan pemilikan lahan pertanian. Hal yang mensyaratkan reforma agraria (land reform). Selain itu, diperlukan kebijakan mengatasi menyusutnya lahan pertanian. Erosi yang menyebabkan hilangnya kandungan gizi tanah, pencemaran lingkungan, dan perubahan peruntukan dari lahan pertanian ke lahan nonpertanian adalah berbagai penyebab rusak atau punahnya lahan subur pertanian. Saat ini, menurut International Soil Reference and Information Centre, lahan subur bumi seluas Eropa Barat (305 juta ha) telah rusak berat. Sementara 910 juta ha lain dalam bahaya menjadi tak subur bila upaya menahan erosi dilakukan setengah hati. Indonesia sebagai negara tropis amat mudah dilanda erosi terutama jika hutannya tidak dilestarikan.

Ketika hutan dan akar pohon dimusnahkan, lahan subur ikut punah. Menurut data FAO (2008), setiap tahun sekitar 18 miliar ha hutan hujan tropis punah, dua pertiganya di Asia dan Amerika Selatan. Indonesia memberi kontribusi besar, sekitar 10 persen. Tak jarang, lahan tersubur dikorbankan untuk perluasan kota, pembangunan jalan, kawasan industri dan pertambangan. Penyebab lain punahnya lahan subur adalah pencemaran lingkungan dan penggunaan pestisida berlebihan. Bila ”sistem-ekologi” tanah terus dibebani, suatu saat akan kehilangan daya regenerasi. Tiada resep dalam membendung punahnya tanah subur pertanian. Tiap negara harus mengembangkan strategi penggunaan lahan secara tepat. Tanah dan kualitasnya harus didata. Juga perlu diungkap penyebab—ekonomi dan sosial—dari meningkatnya erosi. Yang amat mendesak, mengupayakan terlaksananya pengelolaan lahan pertanian secara ramah lingkungan, dengan teknologi tepat guna, menanam tanaman yang telah teruji ketahanannya ratusan tahun, dan efisien menggunakan pupuk. Drama punahnya lahan subur pertanian—yang di beberapa negara berkembang berujung pada kelaparan—meski diwarnai aneka ramalan suram, pada prinsipnya bisa diubah skenarionya. Banyak contoh membuktikan, asumsi optimistis itu bukan khayalan. Salah satunya dari Kosta Rika. Dengan metode penanaman ramah lingkungan, tanpa pestisida, panen jagung melonjak dari 2.760 menjadi 3.680 kg/ha. Pelajaran yang bisa ditarik, saat petani terlibat dan yakin akan keberhasilan metode cocok tanam yang ramah lingkungan, hilangnya lahan subur bisa terhindarkan. Pada gilirannya, penghasilan petani miskin dipastikan naik.

Ivan A Hadar Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education; Wakil Pemred ”Jurnal Sosial Demokrasi”

Sumber: Kompas, Kamis, 8 Juli 2010

Comments :

0 comments to “Stagnasi Angka Kemiskinan”

Post a Comment