Muktamar Seabad Muhammadiyah, 3-8 Juli 2010; Memperbarui Kiblat Kebangsaan

Oleh: Zainuddin Maliki

DALAM usia satu abad, organisasi civil society besar yang bernama Persyarikatan Muhammadiyah sedang bermuktamar di tempat kelahirannya, Jogjakarta. Perhelatan akbar itu Sabtu ini (3/7) dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Muktamar ke-46 ini diliputi semangat untuk meneguhkan kembali identitas Muhammadiyah yang sejak berdiri dikenal sebagai organisasi reformis atau pembaharu. Identitas itu oleh Jainuri dalam disertasinya di McGill University dikatakan sebagai ideologi Muhammadiyah. Pembaharuan itulah yang melekat dalam ide dan cita-cita KH Ahmad Dahlan ketika mendirikan organisasi ini tahun 1912. Sebagai ideologi, pembaharuan adalah cita-cita dan ide yang melekat pada setiap anggota persyarikatan. Mereka menjadikan ideologi pembaharuan itu sebagai tempat mengacu untuk apa, bagaimana, dan mengapa warga persyarikatan hidup dan memberikan pengkhidmatan kepada sesama di wilayah agama, budaya, ekonomi, maupun politik. Ideologi pembaharuan itu pula yang menjadikan warga Persyarikatan Muhammadiyah memiliki spektrum pemikiran dan pengkhidmatan yang luas, rasional, dan moderat. Mereka tidak hanya berkhidmat dalam rangka mewujudkan semangat taabud atau pengabdian secara vertikal, melainkan juga secara horizontal di tengah-tengah kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.

Ideologi pembaharuan yang ditawarkan Muhammadiyah itu dicatat, pada masa awal Indonesia ini dibangun, berhasil menawarkan ide counter hegemony, yang bisa membawa bangsa ini keluar dari impitan masalah sosial ekonomi, yaitu kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itulah, tercatat dalam sejarah bangsa ini akhirnya berhasil meretas jaringan politik alienasi yang pada saat itu dilakukan penguasa kolonial. Sebagaimana diketahui, penguasa kolonial pada masa itu menanamkan kuku penjajahannya tidak hanya secara represif, tetapi juga hegemonik. Para penasihat penguasa kolonial, seperti Snouck Hurgronje, menerapkan politik alienasi. Dalam arti, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini harus dipisahkan perhatiannya dari urusan dunia. Mereka digiring dan dibatasi ruang kesadarannya untuk hanya berurusan dengan masalah akhirat. Ideologi Hurgronje itulah yang diterapkan penguasa kolonial untuk membangun formasi kesadaran bangsa ini bahwa hidup di dunia ini terpisah dari akhirat. Mereka tegaskan bahwa rugi di dunia tidak apa-apa. Rugi di akhirat bakal celaka. Penguasa kolonial saat itu tentu tidak tertarik untuk mendakwahkan bahwa agama sesungguhnya menghendaki kebaikan dalam dua wilayah kehidupan, yaitu kebaikan kehidupan dunia dan kebaikan akhirat.

Mayoritas bangsa Indonesia saat itu benar-benar terlena dengan hegemoni yang ditanamkan penguasa kolonial tersebut. Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini lalu percaya bahwa yang disebut agama itu hanya berurusan dengan tempat dan kegiatan ibadah khusus atau ritual. Energi bangsa yang mayoritas muslim ini lalu terserap habis ke situ. Lihatlah catatan kelam di masa lalu. Pertengkaran dan perbedaan paham tentang hal-hal kecil (baca furu) seperti cara membuka dan menutup pidato, qunut atau tidak, jumlah rakaat dalam salat sunah Tarawih, kapan mengangkat telunjuk dalam duduk tasyahud, seorang khatib harus memegang tongkat atau tidak dan lain-lain bisa menghabiskan seluruh energi mereka. Konflik-konflik semacam itu menyebabkan energi bangsa ini tak lagi sempat diarahkan untuk keperluan membenahi dan memperkuat diri dalam urusan dunia ekonomi, politik, maupun sosial. Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini dalam jangka waktu yang cukup lama teralienasi dari urusan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka terperangkap dalam urusan doa dan ritus-ritus keagamaan belaka. Pendek kata, penguasa kolonial berhasil menancapkan pemikiran hegemoniknya, sehingga bangsa ini tidak lagi memiliki modal, kesadaran, dan landasan religi maupun ideologis untuk memasuki wilayah ekonomi dan politik. Masalahnya, mereka percaya bahwa agama hanya berurusan dengan ritus kepada 'yang di atas'. Agama tidak ada hubungannya dengan problema sosial seperti kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Pendiri Muhammadiyah pada saat itu, KH Ahmad Dahlan, berhasil menawarkan gerakan counter hegemony. Dahlan berhasil meyakinkan publik bahwa agama tidak hanya berurusan dengan ritus-ritus keagamaan, melainkan juga harus aktif memberikan sumbangan bagi pengembangan masyarakat dan kemanusiaan. Cara Dahlan menggerakkan organisasi pembaharu yang berorientasi pada tindakan nyata itu berhasil meyakinkan bangsa ini. Dengan gerakan yang jelas arahnya, KH Dahlan melalui Persyarikatan Muhammadiyahnya berhasil melembagakan ide dan gagasannya itu ke wilayah pendidikan dan pelayanan masyarakat, baik di bidang kesehatan maupun pelayanan sosial. Melalui pelembagaan pendidikan dan pelayanan sosial yang modern, bangsa ini lalu pelan tapi pasti menjadi semakin tercerahkan. Mereka juga kemudian menyadari bahwa agama tidak hanya soal meluruskan arah kiblat salat, tetapi juga kiblat kehidupan kebangsaan. Ideologi reformis yang dilontarkan KH Ahmad Dahlan itu saat ini sungguh masih sangat relevan untuk turut mereformasi arah atau kiblat kehidupan kebangsaan kita. Ketika dirasakan bangsa ini sekarang kehilangan arah dalam membangun dan mereformasi kehidupan kebangsaan. Semangat meneguhkan identitas sebagai bangsa "merah putih" yang berfalsafah Pancasila dan bercita-cita menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa serta turut serta menjaga perdamaian dunia, semua itu tergerus oleh semangat pragmatisme dan prinsip-prinsip transaksional.

Prinsip pragmatis dan transaksional itu terasa begitu menggurita, tidak hanya di wilayah ekonomi, tetapi juga ke ranah politik. Apa yang dilakukan elite negeri ini, baik elite memerintah dan yang bukan, terutama jika dilihat dari bagaimana cara mereka menumpuk kekayaan, menggambarkan bahwa mereka tidak membangun idealisme. Mereka tidak punya visi untuk mentransformasikan bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Melihat cara mereka menghimpun kekayaan, apalagi terkait dengan maraknya isu aliran dana ke rekening sejumlah elite di negeri ini, hanya mengatakan kepada khalayak bahwa elite di negeri ini terus-menerus melakukan transaksi secara sangat pragmatis, hanya untuk kepentingan memperkaya diri. Menyedihkan dan mengerikan sekali jika prinsip-prinsip transaksional itu juga ditengarai telah masuk ke ranah agama. Bukan hanya ritus-ritus ekonomi politik seperti rapat di parlemen, pansus, panitia anggaran, kampanye, pemilu dan arena ekonomi politik lainnya, institusi, arena dan simbol-simbol keagamaan seperti di berbagai muktamar tertentu pun lalu dikemas dan diintervensi oleh praktik-praktik politik transaksional. Pendek kata, energi bangsa ini terkuras dalam permainan transaksional. Setiap ritus dan manuver politik dikaitkan dengan "ongkos" atau modal yang bernilai pragmatis dan jauh dari nilai-nilai idealisme. Pantaslah jika lalu Pancasila, sebagai sumber idealisme bangsa kita, kini banyak dilupakan orang. Menyedihkan dan mengerikan, justru dilupakan oleh politisi di parlemen tempat elite politik memainkan peran mereka mengendalikan kehidupan kebangsaan di negeri ini. Semangat transformasional yang dilakukan KH Dahlan kiranya bisa dijadikan inspirasi untuk meluruskan kiblat kehidupan kebangsaan ini. KH Dahlan mentransformasikan umat dan anak negeri dengan idealisme dan gerakan nyata. Dia bangun Persyarikatan Muhammadiyah tidak melalui transaksi jangka pendek atau pragmatis, melainkan dengan idealisme dan cita-cita mengeluarkan bangsa ini dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan penjajahan.

Prof Dr Zainuddin Maliki MSi , Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Sumber: Jawapos, 03-07-2010

Comments :

0 comments to “Muktamar Seabad Muhammadiyah, 3-8 Juli 2010; Memperbarui Kiblat Kebangsaan”

Post a Comment