Dunga, Maradona, dan Nelson Mandela

Oleh: TRIAS KUNCAHYONO,(E-mail: ias@kompas.co.id)

Apa perbedaan antara Argentina dan Brasil? Itu kalimat pertama yang ditulis oleh Roger Kohen dalam artikelnya berjudul ”A World of Hope” yang dimuat di koran International Herald Tribune edisi hari Selasa, 6 Juli kemarin. Tidak ada bedanya antara Argentina dan Brasil! Keduanya dipaksa meninggalkan Afrika Selatan sebelum pesta sepak bola dunia, Piala Dunia 2010, berakhir. Brasil terpaksa harus meninggalkan Afrika Selatan setelah dikalahkan Belanda dengan skor 1-2 di Port Elizabeth hari Jumat lalu. Ambisi lima kali juara dunia ini untuk memenangi Piala Dunia yang keenam kalinya tak kesampaian. Kekalahan Brasil itu disambut sorak-sorai dan gegap gempita oleh rakyat Argentina. Mereka bersyukur musuh bebuyutannya gagal. Tetapi, antara tawa dan tangis itu batasnya sangat tipis. Nasib buruk ternyata tidak hanya menghinggapi Brasil, tetapi juga Argentina. Sehari setelah kekalahan Brasil, Argentina dipermalukan oleh Jerman dengan skor yang lebih telak, 0-4! Bukan hanya Dunga, Pelatih Brasil yang gagal dan kecewa, tetapi juga Maradona, Pelatih Argentina. Keduanya, gagal!

Jadi apa bedanya Brasil dan Argentina?

Itulah sepak bola. Ketidakpastian hasil akhir dalam olahraga adalah sesuatu hal yang baik. Sebab, bila hasil akhir sudah bisa diketahui sebelum pertandingan dimulai, untuk apa orang harus berpayah-payah datang ke stadion, untuk apa pula orang rela begadang menonton televisi?

Jadi adalah ilusi belaka kalau ada orang yang mengatakan tahu persis hasil akhir dari sebuah pertandingan sepak bola sebelum pertandingan dimulai. Tetapi, suatu hal yang pasti, masyarakat internasional akan mengatakan bahwa Afrika Selatan (Afsel), yang semula diragukan, terbukti mampu menjadi tuan rumah dan sukses. Meskipun, kesebelasan Afsel tak mampu menembus babak kedua. Afsel menjadi negara pertama di Afrika yang menjadi tuan rumah. Padahal, baru 16 tahun lalu Afsel terbebas dari politik apartheid. Baru 16 tahun silam Afsel menggelar pemilu multirasial yang pertama dan dimenangi oleh Kongres Nasional Afrika pimpinan Nelson Mandela. Pemilu itu mengakhiri sistem segregasi rasial legal yang dipaksakan oleh pemerintah Partai Nasional sejak tahun 1948. Sistem politik itu menjamin hak-hak penduduk nonkulit putih yang merupakan kelompok mayoritas dan pemerintahan minoritas kulit putih mendapatkan hak-hak istimewa.

Di zaman apartheid, undang-undang melarang lebih dari 80 persen penduduk negeri (berkulit hitam) untuk menggunakan hak pilih, dilarang tinggal di wilayah ”kulit putih”, tak punya akses untuk memperoleh pendidikan tinggi dan pekerjaan. Pada masa itu, kehidupan rakyat selalu dibayangi kekerasan. Seakan-akan kekerasan selalu mengiringi peristiwa-peristiwa sosial dan politik di Afsel. Hannah Arendt, seorang filsuf politik, menyebut fenomena semacam itu sebagai banalisasi kejahatan. Bagaimana kejahatan bisa dilakukan orang-orang kulit putih tanpa ada perasaan bersalah? Waktu itu nurani mereka sudah bebal. Tetapi, sejarah gelap itu sudah ditutup. Afsel lahir sebagai negara dan bangsa baru yang mampu memaafkan masa lalu meski tetap mengingatnya. Dan, ketika terpilih sebagai penyelenggara Piala Dunia, ini pengakuan dunia terhadap kemampuan negeri itu keluar dari penjara masa lalu. Semua itu tak lepas dari kepemimpinan dan ketokohan Nelson Mandela. Dialah ”Bapak Pemersatu” Afsel. Nelson Mandela beda dengan Dunga dan Maradona. Ia pemimpin yang punya visi dan misi jelas, membawa bangsanya keluar dari keterpurukan, keluar dari kotak pariah, melewati jembatan dendam untuk memasuki dunia baru, dunia yang lebih beradab, menjadi bangsa yang bermartabat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Piala Dunia memang, menjadi momen yang sungguh istimewa. Negara kaya dan negara miskin bertemu, berdiri sama tinggi, bermain dengan aturan yang sama. Tidak ada kasta. Tidak ada istilah negara maju dan negara berkembang, negara demokrasi dan otoriter, kapitalis atau komunis. Para pemainlah yang menentukan jalannya permainan.

Sumber: Kompas, Rabu, 7 Juli 2010

Comments :

0 comments to “Dunga, Maradona, dan Nelson Mandela”

Post a Comment