Semoga Tetap Bervisi Asia

KITA, kata mendiang sejarawan Nugroho Notosoesanto, sering salah memandang Australia. Negeri Kanguru itu kita anggap sebagai "negara", padahal wilayah di sebelah selatan kita itu sejatinya adalah "benua." Maksud pernyataan tersebut tak sepenuhnya merujuk pada perkara geografis, tapi juga geopolitik. Karena Australia adalah sebuah benua, sikap negeri yang berkepala negara Ratu Inggris itu pun tak semata merepresentasikan gejolak warga mereka sendiri. Sikapnya juga merupakan sentimen kawasan. Ini yang membuat kerap kita kesulitan membaca manuver Canberra. Dalam soal Organisasi Papua Merdeka (OPM), misalnya. Australia tak bisa serta merta menegaskan sikap tak mendukung gerakan tersebut. Sebab, dia hidup di antara negara-negara yang masuk rumpun Melanesia yang bersimpati kepada perjuangan organisasi tersebut. Begitu juga ketika dulu Timor Timur (kini Timor Leste) bergolak. Canberra yang pada 1970-an mendukung masuknya Indonesia ke Timor Timur harus mengubah sikap dengan turut mendorong referendum menyusul kuatnya dukungan kepada kemerdekaan bekas wilayah jajahan Portugal tersebut di kawasan Oseania. Tentu, faktor kepentingan juga tak bisa diabaikan. Papua dan Timor Leste adalah dua kawasan yang kaya sumber daya alam. Dengan memilih bersikap "netral" (baca: tak mendukung Jakarta), Australia berpeluang mendapat konsesi. Eksplorasi minyak di Celah Timor yang sedang berjalan adalah salah satu contohnya.

Namun, bagaimanapun, hubungan baik dengan Australia harus tetap dijaga, bahkan mesti terus ditingkatkan. Selain karena Australia adalah salah satu tetangga terdekat, juga di sebagian masyarakat negeri yang dikenal dengan sebutan down under itu masih bersemayan trauma purba bahwa Indonesia adalah ancaman. Kesempatan memperbaiki hubungan itu terbuka lebar terutama ketika Australia berada di bawah kendali Partai Buruh seperti sekarang ini. Partai Buruh, kita tahu, lebih mengedepankan visi Asia. Ini, misalnya, dulu ditunjukkan Perdana Menteri (PM) John Keating yang begitu akrab dengan Jakarta. Policy tersebut berseberangan dengan rival terbesarnya, Partai Liberal, yang lebih condong ke Eropa. Meski pekan lalu kursi PM telah diserahkan Kevin Rudd kepada Julia Gillard, policy Partai Buruh itu sepertinya tak berubah. Itu setidaknya bisa ditilik dari pernyataan awal Gillard yang menyebut bahwa dia akan "memperbaiki" arah pemerintahan Rudd yang dianggapnya melenceng -dan bukannya "mengubah". Rudd sebenarnya sudah mengawali pekerjaan dengan baik. Politikus yang mahir berbahasa Mandarin itu memilih negara-negara di kawasan Asia Tenggara sebagai destinasi pertama yang dikunjungi setelah dilantik. Kesan keramahan kepada tetangga pun langsung kuat muncul. Pada konstelasi politik domestik Australia, Rudd pula yang menyampaikan permintaan maaf pemerintah untuk kali pertama kepada warga Aborigin atas tragedi The Stolen Generation di era 1960-an. Sayang, friksi internal Partai Buruh plus kepribadiannya yang agak temperamental melunturkan popularitas pengganti John Howard dari Partai Liberal itu di mata konstituen dan juga warga Australia keseluruhan. Nah, prioritas Gillard mungkin memang pada konsoliditas partai untuk persiapan menghadapi pemilu dalam beberapa bulan ke depan. Namun, kita jelas berharap dia tak lantas lupa untuk meneruskan -bahkan meningkatkan- kebijakan luar negeri Rudd yang ramah kepada tetangga sekitar. Ini terutama jika Partai Buruh kembali keluar sebagai pemenang pada pemilu mendatang. Semoga. (*)

Sumber: Jawapos, 03-07-2010

Comments :

0 comments to “Semoga Tetap Bervisi Asia”

Post a Comment