Pergeseran Paradigma Parpol

Oleh Salahuddin Wahid

KEHIDUPAN kepartaian di Indonesia dalam belasan tahun terakhir mengalami perkembangan menarik, baik dari segi paradigma maupun partainya sendiri (nama dan kekuatan). Hal itu merupakan keniscayaan karena memang telah terjadi perkembangan sosial yang amat luar biasa beberapa puluh tahun terakhir. Tetapi, perubahan itu tidak sempat mewujud dalam kenyataan, karena kehidupan kepartaian kita dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah. Ketika Presiden Habibie membuka kesempatan mendirikan partai baru, para politikus lama dan politikus baru beramai-ramai mendirikan partai. Dalam waktu cepat berdirilah lebih dari 100 partai. Setelah diverifikasi KPU, 48 partai berhak ikut pemilu. Secara umum kita melihat bahwa para pendiri partai pada 1998 masih mengacu pada tipologi partai besar hasil pemilu (PNI, Masyumi, NU) dan partainya Orde Baru (Golkar). PKI, karena telah lama dilarang, tidak punya partai reinkarnasi. PNI, Masyumi, NU, dan Golkar, masing-masing menjelma menjadi sejumlah partai. Hasilnya sudah kita ketahui. PDIP sebagai pelanjut perjuangan BK (identik dengan PNI) menjadi pemenang (sekitar 34 persen suara). Di luar dugaan, Partai Golkar menjadi pemenang kedua (> 20 persen suara). Suara warga NU terbagi ke dua partai menengah: PKB (± 12 persen), PPP (± 10 persen), dan beberapa partai kecil. Suara warga eks Masyumi terbagi ke PAN (±7 persen), PPP (± 3 persen), PBB (± 2 persen), dan beberapa partai kecil.

Menurunnya "Islam Politik"

Sebenarnya di dalam kalangan warga NU telah terjadi perubahan dalam pandangan politik anak-anak muda NU akibat penerimaan Pancasila oleh NU dan juga pengaruh Gus Dur. Sementara itu, banyak kiai berpengaruh di Jatim dan Jateng masih mempunyai pandangan politik seperti pada era NU menjadi partai. Perbedaan inilah yang ikut memicu berdirinya PK NU (2006), selain ketidakcocokan para kiai tersebut di atas dengan langkah politik GD. Di kalangan warga eks Masyumi juga terjadi perkembangan serupa. Amien Rais menolak tawaran menjadi ketua umum PBB dengan alasan PBB terlalu sempit. Lalu dia membentuk PAN yang dimaksudkan sebagai partai terbuka, seperti yang dimaksud oleh PKS saat ini. Di dalam Pemilu 1999, jumlah suara partai Islam dan partai berbasis massa Islam di bawah perolehan partai Islam pada 1955. Pada Pemilu 2004 jumlah perolehan suara partai-partai tersebut sedikit meningkat, tetapi pada Pemilu 2009 jumlah tersebut merosot tajam, sekitar separo dari jumlah suara pada Pemilu 1955. Ormas Islam tidak mampu lagi menjadi pengikat dalam sikap politik warganya.

Dengan adanya niat PKS menjadi partai terbuka, pasti timbul pertanyaan, apakah "Islam politik" akan makin kecil pendukungnya. Bagi saya, belum jelas apakah PKS tetap mempertahankan prinsip Piagam Madinah yang selama ini dianutnya atau memilih prinsip-prinsip dalam Pancasila. PKS harus bekerja keras meyakinkan pemilihnya kalau meninggalkan Piagam Madinah. Langkah ini sebetulnya mengandung risiko cukup besar, tetapi tentu tokoh-tokoh PKS, termasuk yang di daerah, telah menghitungnya dengan cermat. Partai Islam yang masih bisa bertahan adalah PPP, yang perlu bekerja keras mempertahankan jumlah suara kalau ambang batas 5 persen diberlakukan. Apalagi, ada suara lirih tentang niat Parmusi untuk bergabung dengan Golkar, walaupun lalu dibantah. Pemilih PKS yang kental keislamannya bisa digarap PPP. Partai Islam yang kecil (PBB dan PK NU) sulit diharapkan untuk bergabung sehingga praktis tidak akan terwakili di DPR.

Tokoh dan Dana

Tampak adanya perubahan besar pada paradigma partai. Kalau dulu bergantung pada ideologi atau gagasan besar, kini partai berkembang dengan bergantung pada tokoh. Yang tidak bergantung pada tokoh adalah Partai Golkar, PKS, dan PPP. PDIP amat bergantung pada Megawati. PKB bergantung pada GD. PAN bergantung pada Amien Rais. Gerindra bergantung pada Prabowo. Hanura bergantung pada Wiranto. Yang paling mencolok dan fenomenal adalah ketokohan SBY. Partai Demokrat yang baru berdiri pada 2001 tiba-tiba memperoleh sekitar 7 persen (2004) dari jumlah suara, lalu melejit menjadi sekitar 20 persen (2009). Tidak heran kalau para tokoh PD berani mematok perolehan sekitar 30 persen suara pada 2014. Kita tidak tahu apakah setelah SBY tidak menjabat presiden, suara PD akan merosot. Kita juga tidak tahu apakah PDIP akan merosot suaranya setelah Megawati tidak menjadi ketua umum. Tetapi, kecenderungannya seperti itu, kecuali kedua partai mempersiapkan diri dengan serius. Dalam hal ini, tampaknya, PD lebih siap dengan memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum. Partai Golkar dalam perkembangan terakhir tampaknya tidak tergantung pada tokoh, tetapi pada kekuasaan dan dana. Ketika JK menjadi Wapres, dengan kekuasaan di tangan, JK mudah terpilih menjadi ketua umum. Terpilihnya Aburizal Bakrie menunjukkan bahwa faktor utama terpilihnya seseorang menjadi ketua umum PG adalah dana yang berlimpah.

Pragmatisme
Pergeseran paradigma partai itu sejalan dengan pragmatisme para tokoh yang ingin menjadi kepala daerah. Maka, yang muncul menjadi calon kepala daerah adalah mereka yang mempunyai dana dalam jumlah besar. Politik dinasti juga menjadi sesuatu yang menjamur. Kemampuan, apalagi karakter, sang calon kurang menjadi pertimbangan elite partai. Partai hanya menjadi kendaraan politik yang disewa para calon. Kondisi di atas dilengkapi oleh perilaku negatif, yaitu maraknya politik uang. Pada Pemilu 1999, masalah itu belum muncul, pada Pemilu 2004 juga belum merata walaupun sudah ada, terutama pada pilpres. Tetapi, pada Pemilu 2009 praktik busuk itu sudah merata. Permainan uang itu mencakup pemberian uang kepada pemilih dan pembelian suara, terutama di PPK. Kondisi itu diperburuk dengan kinerja KPU dan KPUD, sehingga terjadi banyak kerusuhan di daerah. Dengan perilaku pragmatis para pemilih dan praktisi politik seperti itu, sebenarnya tidak penting lagi apakah partai Islam masih ada atau tidak. Sebab, semua partai sudah tidak menunjukkan perilaku yang terpuji. Partai kebangsaan sudah tidak menunjukkan perilaku cinta bangsa dan partai Islam juga tidak menunjukkan perilaku islami.

*)KH. Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng.

Sumber: Jawapos

Comments :

0 comments to “Pergeseran Paradigma Parpol”

Post a Comment