Menyemai Kebebasan Beragama; Tokoh Muda Inspiratif Kompas #25

Budhy Munawar Rachman – The Asia Foundation

Budhy Munawar Rachman adalah salah satu penerus pemikir Islam progresif yang melihat Islam secara lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Sebuah cakrawala pemikiran yang fondasinya dibangun oleh para tokoh Muslim di era Nurcholish Madjid. Sebagaimana gurunya di Paramadina, Nurcholish Madjid, Budhy juga dikenal sebagai penyeru pluralisme dan kebebasan beragama. Pemikiran Budhy tentang hal itu bisa dijumpai melalui buku-bukunya, dua di antaranya adalah Islam Pluralis dan Fiqih Lintas Agama, yang terbit pada tahun 2003, dengan jelas menggambarkan keberpihakannya pada kemanusiaan. Selain kesibukannya mengajar Islamologi dan Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat di Driyarkara, Budhy aktif di Yayasan The Asia Foundation sebagai Program Officer Islam and Development. Berikut petikan wawancara dengan Budhy Munawar.

Sampai di mana pergulatan pemikiran umat Islam di Indonesia terkait isu modernisasi?

Kontribusi besar tokoh-tokoh Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, dan Djohan Efendi adalah membangun fondasi pemahaman sehingga umat Islam di Indonesia gampang menerima ide baru. Misalnya, ide tentang demokrasi dengan segala turunannya: penerapan HAM, kebebasan beragama, juga hal-hal yang lebih konkret seperti pemerintahan yang baik. Dan, menurut saya, mereka berhasil. Mereka telah memberi pijakan sangat kuat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Sejak 2005 saya bekerja di Asia Foundation, saya mendapat kesempatan banyak bisa bekerja dengan komunitas di tingkat akar rumput, misalnya bekerja dengan pesantren, sekolah Islam, juga dengan lembaga peradilan agama dan organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dari persinggungan itu, saya mengerti bahwa umat Islam di Indonesia sangat siap untuk mengimplementasikan demokrasi. Tetapi, masyarakat sebenarnya masih membutuhkan tuntunan untuk menggali akar mereka sendiri di tingkat lokal.

Bisa memberi contohnya?

Contoh klasik adalah pembentukan women crisis centre (WCC), yaitu tempat bagi perempuan untuk konseling penyembuhan dan berlindung bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kebutuhan mengenai crisis center itu sudah ada sejak 80-an. Tetapi, pembangunannya mendapat tentangan. Resistensi masyarakat sangat kuat karena ide ini dianggap ”barat” dan tidak cocok dengan ide ”Timur” dan Islam. Ditambah lagi munculnya isu feminisme karena yang membawa WCC ke masyarakat adalah LSM yang peduli feminisme. Ketika kita mulai menyadari pentingnya peran lembaga seperti NU dan Muhammadiyah, serta lembaga turunannya seperti Fatayat dan Muslimat, kita kemudian mendorong mereka untuk tampil ke depan membawa isu WCC ini. Kini penyebaran WCC sudah meluas dan lebih mudah diterima. WCC pengalaman pertama tahun 90-an, yang menjadikan kita sekarang sangat sadar mengenai pentingnya ormas Islam. Untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, peran ormas Islam ini pun memang masih penting. Mereka memiliki kekuatan untuk mendorong masyarakat menjadi lebih terbuka. Tentu sekarang tantangannya juga semakin berat, yaitu semakin menguatnya konservatisme, bahkan mengarah ke radikalisme, baik radikal dalam hal wacana maupun terorisme. Yang sedikit melegakan, NU dan Muhammadiyah telah menyebut diri mereka sebagai moderat. Istilah moderat dipakai untuk menunjukkan bahwa ormas Islam di Indonesia itu bukan radikal. Oleh karena itu, mereka akan melawan segala bentuk kekerasan yang bisa muncul dari agama. Walaupun ada juga ormas Islam yang lebih kecil dengan massa yang lebih sedikit yang cenderung konservatif, bahkan cenderung radikal.

Kenapa radikalisme sekarang banyak muncul?

Karena dulu Orde Baru (Orba) serba tertutup dan melawan semua kencederungan radikalisme, baik kanan maupun kiri. Sejak reformasi, ada keterbukaan. Saya percaya pada proses bahwa membangun masyarakat yang lebih terbuka itu penting walaupun harganya mahal. Kita membayarnya dengan perang sipil di Poso, konflik etnis di Kalimantan, juga diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah. Radikalisme muncul di era keterbukaan. Ini tak bisa diatasi dengan cara seperti dulu dengan menghabisi melalui kekerasan dan tekanan. Di Malaysia masih seperti itu sehingga keterbukaan masyarakat Islam dalam berwacana dan berpendapat di sana belum bebas. Di Indonesia kita bisa memunculkan wacana apa saja, pendapat seliberal apa pun. Walaupun harus diakui tantangannnya juga ada. Namun, tidak sampai pada tahap yang membahayakan jiwa.

Apa yang bisa dilakukan untuk meredam radikalisme?

Yang paling penting adalah membuat masyarakat sadar bahwa terorisme itu berbahaya untuk perkembangan masyarakat sendiri. Karena radikalisme itu cenderung menghancurkan kelompok yang berbeda. Dalam hal ini, potensi ormas Islam sangat besar karena mereka mewakili sebagian besar umat Islam di Indonesia. Apalagi mereka sudah menyatakan diri sebagai kelompok yang moderat. Lebih baik lagi jika mereka bisa lebih progresif sehingga betul-betul menjadi penyangga dalam meredam radikalisme.

Apa hambatannya untuk mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia?

Dari segi legal kita sudah cukup progresif walaupun masih cukup banyak kontradiksi. Dari segi teologi, kita masih memerlukan suatu kejernihan berpikir dan berargumen sehingga menjadi jelas bahwa hak-hak orang lain, baik sesama Muslim maupun non-Muslim, untuk beragama itu dijamin. Isu pluralisme dimulai puluhan tahun lalu, tetapi isu kebebasan beragama belum sampai pada tahap praktis. Secara normatif memang mulai dibangun, misalnya ada uraian mengenai ayat Al Quran laa iqroha fid-dien, yang artinya tak ada pemaksaan dalam beragama. Tetapi, sekarang tantangannya lebih berat. Toleransi pasif mungkin sudah kita lakukan. Saya kira semua tokoh agama dan pemerintahan sudah melakukan, tapi toleransi aktif masih belum. Toleransi aktif maksudnya kebebasan beragama dalam implementasi nyata. Misalnya, upaya menyelesaikan masalah bersama di masyarakat dalam pendirian tempat ibadah.

Apakah Anda optimistis masyarakat Muslim Indonesia bisa menuju fase demokrasi aktif?

Optimis karena secara normatif tidak ada pertentangan. Bahkan, akar-akar demokrasi sangat kuat di Islam. Itu yang dieksplorasi oleh pemikir Islam yang demokratis. Dan, itu yang hidup di masyarakat. Kita memang sudah memilih demokrasi sebagai cara untuk mengembangkan masyarakat Indonesia. Kita tidak memilih sistem politik yang lain. Demokrasi sudah menjadi amanah waktu kita membentuk Indonesia. Kita menuju ke sana. Saya percaya pada proses. Kita ada dalam satu jalan yang benar. Amerika maupun negara-negara Eropa juga butuh waktu lama sampai ke pilihan demokrasi itu. Kini kita dalam tahap di mana demokrasi bisa ditumbuhkan. Sayangnya tak ada negara Muslim besar yang bisa jadi acuan. Banglades contoh yang menarik. Mereka menyebut sebagai negara sekuler walaupun memiliki jumlah penduduk Muslim sangat besar, terbesar kedua di dunia. Tapi, mereka jatuh bangun juga. Problemnya sama dengan Indonesia, korupsi dan lain-lain. Secara prosedural kita contoh yang baik, di mana demokrasi yang elementer sudah terjadi, di mana pemimpin dipilih masyarakat secara bebas. Pemilu dan pilkada kita damai. Tentu kita belum puas karena itu masih demokrasi yang elementer. Belum sampai pada tahap demokrasi yang membawa kesejahteraan. Jika demokrasi masih membawa tetap miskin, untuk apa? Ini kita yang masih cukup jauh. Masih perlu waktu.

Apa yang harus dikhawatirkan bisa menggagalkan kita menuju ke proses itu?

Yang bisa menggagalkan adalah radikalisme karena hal itu bisa membatalkan semua yang telah kita lakukan, terutama sejak reformasi. Kecenderungan mengenai radikalisme itu ada sehingga memang harus terus diwaspadai.

Oleh AHMAD ARIF / KOMPAS, Rabu, 25 November 2009

Tokoh Muda Inspiratif Kompas #25

Budhy Munawar Rachman – The Asia Foundation

Budhy Munawar Rachman adalah salah satu penerus pemikir Islam progresif yang melihat Islam secara lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Sebuah cakrawala pemikiran yang fondasinya dibangun oleh para tokoh Muslim di era Nurcholish Madjid. Sebagaimana gurunya di Paramadina, Nurcholish Madjid, Budhy juga dikenal sebagai penyeru pluralisme dan kebebasan beragama. Pemikiran Budhy tentang hal itu bisa dijumpai melalui buku-bukunya, dua di antaranya adalah Islam Pluralis dan Fiqih Lintas Agama, yang terbit pada tahun 2003, dengan jelas menggambarkan keberpihakannya pada kemanusiaan. Selain kesibukannya mengajar Islamologi dan Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat di Driyarkara, Budhy aktif di Yayasan The Asia Foundation sebagai Program Officer Islam and Development. Berikut petikan wawancara dengan Budhy Munawar.

Sampai di mana pergulatan pemikiran umat Islam di Indonesia terkait isu modernisasi?

Kontribusi besar tokoh-tokoh Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, dan Djohan Efendi adalah membangun fondasi pemahaman sehingga umat Islam di Indonesia gampang menerima ide baru. Misalnya, ide tentang demokrasi dengan segala turunannya: penerapan HAM, kebebasan beragama, juga hal-hal yang lebih konkret seperti pemerintahan yang baik. Dan, menurut saya, mereka berhasil. Mereka telah memberi pijakan sangat kuat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Sejak 2005 saya bekerja di Asia Foundation, saya mendapat kesempatan banyak bisa bekerja dengan komunitas di tingkat akar rumput, misalnya bekerja dengan pesantren, sekolah Islam, juga dengan lembaga peradilan agama dan organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dari persinggungan itu, saya mengerti bahwa umat Islam di Indonesia sangat siap untuk mengimplementasikan demokrasi. Tetapi, masyarakat sebenarnya masih membutuhkan tuntunan untuk menggali akar mereka sendiri di tingkat lokal.

Bisa memberi contohnya?

Contoh klasik adalah pembentukan women crisis centre (WCC), yaitu tempat bagi perempuan untuk konseling penyembuhan dan berlindung bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kebutuhan mengenai crisis center itu sudah ada sejak 80-an. Tetapi, pembangunannya mendapat tentangan. Resistensi masyarakat sangat kuat karena ide ini dianggap ”barat” dan tidak cocok dengan ide ”Timur” dan Islam. Ditambah lagi munculnya isu feminisme karena yang membawa WCC ke masyarakat adalah LSM yang peduli feminisme. Ketika kita mulai menyadari pentingnya peran lembaga seperti NU dan Muhammadiyah, serta lembaga turunannya seperti Fatayat dan Muslimat, kita kemudian mendorong mereka untuk tampil ke depan membawa isu WCC ini. Kini penyebaran WCC sudah meluas dan lebih mudah diterima. WCC pengalaman pertama tahun 90-an, yang menjadikan kita sekarang sangat sadar mengenai pentingnya ormas Islam. Untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, peran ormas Islam ini pun memang masih penting. Mereka memiliki kekuatan untuk mendorong masyarakat menjadi lebih terbuka. Tentu sekarang tantangannya juga semakin berat, yaitu semakin menguatnya konservatisme, bahkan mengarah ke radikalisme, baik radikal dalam hal wacana maupun terorisme. Yang sedikit melegakan, NU dan Muhammadiyah telah menyebut diri mereka sebagai moderat. Istilah moderat dipakai untuk menunjukkan bahwa ormas Islam di Indonesia itu bukan radikal. Oleh karena itu, mereka akan melawan segala bentuk kekerasan yang bisa muncul dari agama. Walaupun ada juga ormas Islam yang lebih kecil dengan massa yang lebih sedikit yang cenderung konservatif, bahkan cenderung radikal.

Kenapa radikalisme sekarang banyak muncul?

Karena dulu Orde Baru (Orba) serba tertutup dan melawan semua kencederungan radikalisme, baik kanan maupun kiri. Sejak reformasi, ada keterbukaan. Saya percaya pada proses bahwa membangun masyarakat yang lebih terbuka itu penting walaupun harganya mahal. Kita membayarnya dengan perang sipil di Poso, konflik etnis di Kalimantan, juga diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah. Radikalisme muncul di era keterbukaan. Ini tak bisa diatasi dengan cara seperti dulu dengan menghabisi melalui kekerasan dan tekanan. Di Malaysia masih seperti itu sehingga keterbukaan masyarakat Islam dalam berwacana dan berpendapat di sana belum bebas. Di Indonesia kita bisa memunculkan wacana apa saja, pendapat seliberal apa pun. Walaupun harus diakui tantangannnya juga ada. Namun, tidak sampai pada tahap yang membahayakan jiwa.

Apa yang bisa dilakukan untuk meredam radikalisme?

Yang paling penting adalah membuat masyarakat sadar bahwa terorisme itu berbahaya untuk perkembangan masyarakat sendiri. Karena radikalisme itu cenderung menghancurkan kelompok yang berbeda. Dalam hal ini, potensi ormas Islam sangat besar karena mereka mewakili sebagian besar umat Islam di Indonesia. Apalagi mereka sudah menyatakan diri sebagai kelompok yang moderat. Lebih baik lagi jika mereka bisa lebih progresif sehingga betul-betul menjadi penyangga dalam meredam radikalisme.

Apa hambatannya untuk mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia?

Dari segi legal kita sudah cukup progresif walaupun masih cukup banyak kontradiksi. Dari segi teologi, kita masih memerlukan suatu kejernihan berpikir dan berargumen sehingga menjadi jelas bahwa hak-hak orang lain, baik sesama Muslim maupun non-Muslim, untuk beragama itu dijamin. Isu pluralisme dimulai puluhan tahun lalu, tetapi isu kebebasan beragama belum sampai pada tahap praktis. Secara normatif memang mulai dibangun, misalnya ada uraian mengenai ayat Al Quran laa iqroha fid-dien, yang artinya tak ada pemaksaan dalam beragama. Tetapi, sekarang tantangannya lebih berat. Toleransi pasif mungkin sudah kita lakukan. Saya kira semua tokoh agama dan pemerintahan sudah melakukan, tapi toleransi aktif masih belum. Toleransi aktif maksudnya kebebasan beragama dalam implementasi nyata. Misalnya, upaya menyelesaikan masalah bersama di masyarakat dalam pendirian tempat ibadah.

Apakah Anda optimistis masyarakat Muslim Indonesia bisa menuju fase demokrasi aktif?

Optimis karena secara normatif tidak ada pertentangan. Bahkan, akar-akar demokrasi sangat kuat di Islam. Itu yang dieksplorasi oleh pemikir Islam yang demokratis. Dan, itu yang hidup di masyarakat. Kita memang sudah memilih demokrasi sebagai cara untuk mengembangkan masyarakat Indonesia. Kita tidak memilih sistem politik yang lain. Demokrasi sudah menjadi amanah waktu kita membentuk Indonesia. Kita menuju ke sana. Saya percaya pada proses. Kita ada dalam satu jalan yang benar. Amerika maupun negara-negara Eropa juga butuh waktu lama sampai ke pilihan demokrasi itu. Kini kita dalam tahap di mana demokrasi bisa ditumbuhkan. Sayangnya tak ada negara Muslim besar yang bisa jadi acuan. Banglades contoh yang menarik. Mereka menyebut sebagai negara sekuler walaupun memiliki jumlah penduduk Muslim sangat besar, terbesar kedua di dunia. Tapi, mereka jatuh bangun juga. Problemnya sama dengan Indonesia, korupsi dan lain-lain. Secara prosedural kita contoh yang baik, di mana demokrasi yang elementer sudah terjadi, di mana pemimpin dipilih masyarakat secara bebas. Pemilu dan pilkada kita damai. Tentu kita belum puas karena itu masih demokrasi yang elementer. Belum sampai pada tahap demokrasi yang membawa kesejahteraan. Jika demokrasi masih membawa tetap miskin, untuk apa? Ini kita yang masih cukup jauh. Masih perlu waktu.

Apa yang harus dikhawatirkan bisa menggagalkan kita menuju ke proses itu?

Yang bisa menggagalkan adalah radikalisme karena hal itu bisa membatalkan semua yang telah kita lakukan, terutama sejak reformasi. Kecenderungan mengenai radikalisme itu ada sehingga memang harus terus diwaspadai.

Oleh AHMAD ARIF / KOMPAS, Rabu, 25 November 2009

Comments :

0 comments to “Menyemai Kebebasan Beragama; Tokoh Muda Inspiratif Kompas #25”

Post a Comment