Seriuskah Kita Perangi Perdagangan Manusia?

Oleh Wahyu Susilo

Pada tanggal 14 Juni 2010, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melalui Kantor Khusus Urusan Perdagangan Manusia mengeluarkan laporan rutin tahunan (Trafficking in Person Report) mengenai situasi perdagangan manusia dan upaya-upaya untuk memeranginya di seluruh dunia. Laporan rutin, yang biasa disebut TIP Report, ini dikeluarkan sejak tahun 2001 sebagai mandat dari UU Anti-Perdagangan manusia yang disetujui bersama oleh Senat AS. Pasti tak terhindarkan bahwa isi dari TIP Report ini berada dalam perspektif kebijakan politik luar negeri AS. Banyak pihak menduga bahwa politik anti-perdagangan manusia ini juga merupakan bagian dari proyek utama AS, yaitu perang melawan terorisme. Seruan utama dari kebijakan anti-perdagangan manusia AS ini adalah migrasi yang aman (safe migration). Seruan ini lebih dibaca oleh negara-negara yang mengikuti kebijakan anti-perdagangan manusia AS sebagai pengetatan arus keluar masuk manusia melintas batas negara. Ada anggapan, dan memang tidak terlalu berlebihan, lalu lintas manusia melalui migrasi lintas negara adalah salah satu cara yang bisa diboncengi oleh agen-agen pelaku kejahatan lintas negara. Lepas dari persoalan politik perang melawan terorisme dan subyektivisme kebijakan luar negeri AS, laporan tahunan mengenai perdagangan manusia ini harus diakui sebagai laporan yang komprehensif dan cukup mempunyai daya desak yang kuat bagi negara-negara yang memilih AS sebagai mitra utamanya. Daya desak yang terkandung di dalam TIP Report ini adalah pemeringkatan negara-negara dalam upaya memerangi perdagangan manusia melalui legislasi dan implementasinya. Pemeringkatannya disebut Tier dan dalam TIP Report ada empat kategori Tier, yaitu Tier 3 (negara-negara yang terburuk dalam mengatasi masalah perdagangan manusia), Tier 2-watchlist (negara-negara yang telah menunjukkan upaya memerangi perdagangan manusia, tetapi belum signifikan), Tier 2 (negara-negara yang telah menunjukkan upaya memerangi perdagangan manusia dengan legislasi, tetapi belum optimal), dan Tier 1 (negara-negara yang secara signifikan berhasil memerangi perdagangan manusia). Secara eksplisit, Pemerintah AS menyatakan bahwa peringkat negara dalam TIP Report menjadi salah satu pertimbangan untuk kerja sama pembangunan.

Terburuk

Dalam TIP Report edisi perdana yang diterbitkan tahun 2001, Indonesia masuk kategori Tier 3, artinya praktik perdagangan manusia di Indonesia sangat buruk dan sama sekali tidak ada respons kebijakan untuk memeranginya. Peringkat terburuk juga masih tertempel pada tahun 2002. Situasi tersebut sebenarnya telah lama dilaporkan oleh berbagai pihak yang bekerja untuk advokasi melawan perdagangan manusia. Bentuk-bentuk perdagangan manusia tersebut antara lain melalui praktik penempatan buruh migran, penggunaan pekerja anak, kerja tak layak yang dialami oleh pekerja rumah tangga, serta bentuk-bentuk eksploitasi pengupahan dan pemaksaan seksual. Seruan-seruan itu selalu dianggap angin lalu, bahkan selalu dituduh menjelek-jelekkan citra Indonesia sehingga Pemerintah Indonesia tersentak berada di kategori terburuk negara-negara yang abai dalam memerangi perdagangan manusia. Tak ingin kategori buruk itu tertempel terus, barulah Pemerintah Indonesia—itu pun atas dukungan pendanaan dari Pemerintah AS—memulai inisiatif untuk memerangi praktik perdagangan manusia dengan membentuk gugus tugas memerangi perdagangan manusia. Namun, tak banyak yang diperbuat oleh gugus tugas ini.

Ada beberapa alasan, pertama, model gugus tugas ini menyontek 100 persen gugus tugas anti-trafficking Pemerintah AS. Kedua, tidak ada kebijakan baru yang signifikan yang dibuat untuk memerangi praktik perdagangan manusia. Ketiga, inisiatif memerangi perdagangan manusia oleh Pemerintah Indonesia juga didorong untuk memanfaatkan dana bantuan dari AS. Pada tahun 2003 peringkat ini merangkak ke Tier 2 dengan alasan bahwa Indonesia telah berinisiatif membuat gugus tugas anti-perdagangan manusia, dengan sejumlah catatan bahwa masih banyak kasus perdagangan manusia belum teratasi. Geliat perang melawan perdagangan manusia memang makin kentara. Kucuran dana untuk program anti-perdagangan manusia mengalir dari berbagai negara. Dalam situasi ini sangat terlihat bahwa perubahan kebijakan negara terhadap perdagangan manusia ternyata masih tergantung dari pendanaan negara lain.

Tak ada peningkatan

Hingga tahun 2005, tak ada peningkatan peringkat. Hal itu menandakan tak ada pula peningkatan kualitas kebijakan pemerintah dalam memerangi perdagangan manusia. Bahkan, pada tahun 2006, peringkat Indonesia merosot ke Tier 2 watchlist. Alasannya, tidak ada perkembangan yang berarti dari kebijakan antiperdagangan manusia di Indonesia. Penandatanganan MOU antara Indonesia dan Malaysia yang membolehkan paspor buruh migran Indonesia dipegang oleh majikan Malaysia adalah kebijakan yang kontraproduktif dan memiliki potensi terjadinya praktik perdagangan manusia. Inisiatif legislasi hingga membuahkan adanya persetujuan DPR atas adanya UU No 21/2007 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di atas kertas memang bisa menjadi senjata untuk memerangi perdagangan manusia dan mampu mengembalikan Indonesia ke Tier 2 TIP Report pada tahun 2007. Namun, ternyata hingga saat ini tidak mampu menghentikan secara signifikan praktik-praktik perdagangan manusia, baik di dalam negeri maupun lintas negara. Jika saat ini Indonesia tetap berada pada Tier 2 TIP Report tahun 2010, yang terjadi adalah stagnasi dari inisiatif pemerintah dalam memerangi perdagangan manusia. Patut disayangkan jika semua inisiatif memerangi perdagangan manusia yang dilakukan Pemerintah Indonesia hanya demi perbaikan peringkat dalam TIP Report Pemerintah AS. Keraguan itu pantas diungkapkan ketika sekarang ini kita melihat keengganan Pemerintah Indonesia dan DPR dalam memprioritaskan lahirnya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, padahal pekerja rumah tangga adalah salah satu sektor yang paling rentan untuk terjadinya praktik perdagangan manusia, baik di dalam maupun di luar negeri.

Wahyu Susilo Analis Kebijakan Migrant Care

Sumber: Kompas

Comments :

0 comments to “Seriuskah Kita Perangi Perdagangan Manusia?”

Post a Comment