Dialog Tiga Mojang

Oleh: Alois A Nugroho

Pematung Nyoman Nuarta gundah akibat pembongkaran paksa karya ”Tiga Mojang” yang sudah terpancang beberapa tahun di sebuah kompleks perumahan di Bekasi (Kompas, 4/7/2010). Tak hanya dari sudut estetika pembongkaran paksa itu dapat dipermasalahkan. Dari sudut etika komunikasi politik, pembongkaran paksa ini menimbulkan tanda tanya besar: benarkah bangsa kita masih terdiri dari manusia-manusia yang adil dan beradab? Atau, sebaliknya, sudah berubah jadi bangsa yang lalim dan biadab? Pertanyaan ini dapat kita kaji pada tataran negara atau administrasi publik (eksekutif, yudikatif, legislatif) ataupun pada tataran ruang publik dalam pengertian masyarakat sipil. Para pendiri bangsa kita telah jenial menemukan dan merumuskan ”kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai salah satu ”konsepsi politis” dalam kehidupan bernegara. Manusia Indonesia sebagai warga negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 ialah warga negara yang beradab dan adil. Apa arti beradab? Beradab ialah berusaha menjadi ”manusia sempurna” sesuai dengan agama atau doktrin moral yang dianut, setidaknya berusaha hidup sedekat mungkin dengan ideal atau cita-cita kesempurnaan moral itu. Begitulah waktu penulis masih anak balita, mendiang ayah selalu meminta penulis menjadi seperti Santo Aloysius Gonzaga (9 Maret 1568-21 Juni 1591), yakni menjaga kemurnian dan rela mengorbankan hidup demi keselamatan orang-orang lain. Adapun ibu menemani tidur sambil bertembang ”Mijil” dari Wulangrèh: poma kaki pada dipun éling mring pituturingong, sira uga satriya arané, nora kendhat jatmika ing budi, welas sarta asih samubarangipun (anakku, ingatlah selalu nasihatku, dirimu juga dapat disebut ksatria, bila senantiasa berbudi halus, dan berbelas kasih pada semua saja). Tentu saja dalam perjalanan menjadi manusia dewasa, ajaran-ajaran moral itu saling berkontestasi dalam diri manusia sebagai arena. Begitulah, ajaran menjaga kemurnian, misalnya, berkontestasi dengan habitus aristokrasi Jawa-pusat, bahkan dengan kalimat Goethe yang dikutip oleh Milan Kundera, einmal ist keinmal (sekali itu sama dengan tidak pernah) dan dengan uraian Soren Kierkegaard dalam The Diary of A Seducer. Meskipun pergulatan pada tataran pribadi dalam mengeja dan mewujudkan peradaban sangatlah dinamis dan kompleks, negara wajib mengakui kebebasan tiap warga negara untuk mengejar cita-cita sesuai dengan peradabannya, keyakinan moralnya atau keyakinan moral komunitasnya.

Pluralitas

Para bapak bangsa yang genius itu juga sudah melihat kenyataan pluralitas bangsa yang membentuk Republik Proklamasi ini. Maka, dipasanglah semboyan Bhinneka Tunggal Ika pada lambang negara kita. Ini berarti, dalam konteks manusia beradab wajib pula diwujudkan manusia adil. Kalau keberadaban lebih menyangkut liberty dalam mewujudkan ajaran kesempurnaan moral, keadilan lebih menyangkut kesetaraan dalam hubungan antar-ajaran moral itu. Tak ada ajaran moral yang diizinkan menang sendiri, mendominasi, atau mengoloni ajaran moral lain. Itu sebabnya, praktik yang berasal dari era Orde Baru yang menyebut semua kantor gubernur dengan pendopo gubernuran, misalnya di Aceh, adalah praktik yang tak dapat dibenarkan dalam etika komunikasi politik yang tak hanya beradab, tetapi juga adil. Banyak contoh lain dapat kita tambahkan. Lebih-lebih dalam politik dan administrasi publik, bahasa dan argumentasi yang dipakai seharusnya tidak berupa bahasa dan argumentasi yang berasal dari doktrin moral atau agama tertentu. Penggunaan kata pendopo dalam komunikasi politik nasional, bersama dengan ajaran ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, merupakan indikator adanya dominasi doktrin moral Jawa vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta). Ini melanggar kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni konsepsi politis yang menjadi prasyarat agar bangsa yang majemuk ini dapat bekerja sama dalam Negara Republik Proklamasi.

Biarpun jumlah orang Jawa secara statistik dapat disebut mayoritas, kosakata dan argumentasi yang berasal dari ajaran moral Jawa tidak boleh memenuhsesaki wacana politik dan administrasi publik. Nah, mayoritas Jawa, sama seperti mayoritas-mayoritas yang lain, tidak sepatutnya mendominasi kosakata dan argumentasi dalam administrasi publik. Dengan demikian, pembongkaran paksa patung Tiga Mojang dengan dalih ajaran moral mayoritas secara sadar atau tidak akan mengundang kembalinya praktik-praktik totalitarianisme Orde Baru. Bersama dengan penyerangan terhadap acara PDI-P di Banyuwangi dan kejadian-kejadian semacam, membuat kita sebenarnya tak lagi absah menepuk dada bahwa Indonesia adalah negara demokratis. Cukup menyedihkan bahwa pemerintah dan para politisi menganggap peristiwa-peristiwa semacam sebagai badai di cangkir kopi. Apakah mereka tak lagi memegang kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai konsepsi politik?

Ruang publik

Yang tak kalah penting adalah dialog dalam ruang publik, dalam pengertian masyarakat sipil. Dalih moral-religius atas pembongkaran paksa itu terus terang amat menggelikan, sekaligus menunjukkan bahwa tak ada komunikasi dan dialog pada tataran sosial. Memang selalu akan ada kelompok-kelompok yang tak mau berdialog, atas alasan apa pun. Etika diskursus mewajibkan semua pihak untuk berbesar hati, bertekun dan sabar, dalam meyakinkan mereka yang antidialog, bahwa musyawarah untuk mufakat itu penting, biarpun hasilnya bisa saja sebuah permufakatan bahwa kita memang berbeda. Dalam wawancara dengan Kompas, Nyoman Nuarta prihatin bahwa Indonesia sulit maju seperti Korea dan China karena bangsa Indonesia berada dalam ”kotak-kotak yang memecah belah”. Bangsa Indonesia memang terkotak-kotak dalam beraneka doktrin moral. Itulah pluralisme. Namun, bangsa Indonesia juga bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika dan mempunyai konsepsi politis ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Apakah kita sudah melupakan warisan bijak founding fathers kita? Apakah kita masih Indonesia?

Alois A Nugroho Guru Besar Filsafat Unika Atma Jaya Jakarta

Sumber: Kompas, Kamis, 8 Juli 2010

Comments :

0 comments to “Dialog Tiga Mojang”

Post a Comment