Panitia mana pun pasti akan menolak menyelenggarakan kongres besar di Afrika Selatan di tengah perhelatan Piala Dunia! Namun, tidak demikian Guy Berger,
Pendidikan jurnalisme?
Pertanyaan pertama yang membelalakkan mata di tengah kelompok kajian serius itu ternyata amat sederhana, tetapi tak terselesaikan hingga satu sesi berakhir. Apa yang harus diajarkan tentang jurnalisme sekarang ini? Wakil beberapa negara maju dengan cepat mengatakan, pendidikan jurnalisme harus mengajarkan terus-menerus kegiatan mengawasi bagaimana pemerintah menjalankan kekuasaannya. Beberapa pakar yang diturunkan untuk mendukung kelompok ini menambahkan, pendidikan jurnalisme harus mengajarkan bagaimana menolak Public Relations (Kehumasan) yang bisa disederhanakan dalam inisial BS (sebuah singkatan yang artinya ”omong kosong”). Sebagian wakil negara berkembang mulai terpancing membantah bahwa jurnalisme di negeri mereka masih berlangsung baik dengan basis etika dan nilai- nilai budaya. Seorang teman dari Brasil menambahkan bagaimana di negerinya masih bisa ditemui koran dengan rata-rata
Deddy Mulyana mencoba menampilkan sebuah model piramida untuk membantu memberi arahan. Pada bagian atas piramida diletakkannya unsur Skill (Keahlian), lalu di bagian tengah Knowledge and Competence (Pengetahuan serta Kompetensi), dan sebagai dasarnya adalah Moral, Ethics, Cultural Values (Moral, Etika, Nilai-nilai Budaya Lokal). Tanggapan malah semakin ramai. Sebagian mengatakan unsur Bahasa, serta Hukum Positif, jauh lebih penting daripada Moral serta Etika. Seorang wakil tuan rumah, Afsel, malah khawatir semua keahlian yang diajarkan kepada seorang jurnalis tiba- tiba saja bisa berpindah ke pihak berlawanan ketika sebuah institusi pendidikan sudah tak mampu lagi membayar sesuai tuntutan pasar. Artinya, pasar berbicara lebih nyaring ketimbang unsur-unsur ideal tersebut. Saya mencoba menambahkan model disertasi saya saat melakukan riset mengenai apa yang harus dilakukan jurnalis. Waktu saya meneliti kehendak aneka pemangku kepentingan di bawah supervisi Denis McQuail, terasa betul apa yang diagung-agungkan tentang jurnalisme telah berubah. Pendidikan jurnalisme harus dipahami sebagai sebuah upaya memberikan pemahaman untuk mampu memosisikan diri di tengah interaksi bebas antara pemerintah (ada yang menambahkan unsur Power), Pasar (Market, ada yang memasukkan unsur Teknologi, Digitalisasi, dan sebagainya), serta Publik (ada yang menamakannya Citizen, atau Civil Society). Pendek kata, jurnalis kini tidak sendiri lagi. Semua unsur tadi kadang kala tak mesti berinteraksi melalui jurnalisme. Media sosial seperti Facebook atau Twitter juga bisa bekerja dengan lebih dahsyat. Tak hanya jurnalis yang harus terus mengawasi pemerintah. Di banyak negara, pemerintah atau kekuasaan mampu mengawasi bahkan mengalahkan jurnalisme, antara lain dengan kekerasan, atau bahkan dengan pencitraan. Publik atau masyarakat sipil pun kadang kala tidak perlu dibela oleh jurnalis; mereka sering marah terhadap jurnalis yang terasa betul takut pada pemerintah atau sudah terbeli oleh kekuasaan pasar, entah itu dalam bentuk iklan atau kehumasan.
Riuh sejenak
Semua kesadaran di atas tampaknya jadi jiwa dari kongres bertema ”Journalism Education in the Era of Radical Change” ini. Salah satu kekhawatiran yang pelan-pelan mencuat dalam banyak diskusi di antara peserta, antara lain, apa yang akhirnya saya namakan ”Jurnalisme Vuvuzela”! Saya khawatir, jurnalisme di era perubahan ini hanya mampu memekakkan telinga atau riuh rendah sejenak saja. Begitu usai pertandingan atau selesai perhelatan Piala Dunia, tak banyak yang diambil hikmahnya oleh berbagai pihak. Contohnya, sama seperti di
Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI
Sumber: Kompas, Rabu, 7 Juli 2010
Comments :
Post a Comment