DALAM situasi kekhawatiran akan dampak lanjutan krisis Yunani, kini sebagian besar negara di berbagai belahan dunia kembali dipusingkan dengan harga minyak. Hukum ekonomi tampaknya sudah tidak lagi berlaku dalam bisnis perminyakan. Harga minyak pernah menyentuh USD 130 pada 2008 dan setelah sempat mengalami penurunan, per 16 Juni 2010 menyentuh level USD 77 per barel dari sebelumnya hanya berkisar USD 27 (2003). Dengan demikian, harga minyak pernah mengalami lonjakan hingga 380 persen. Sementara itu, jumlah penduduk dunia pengonsumsi minyak hanya naik kurang dari 5 persen.
Jika gambaran di atas benar adanya, dapat disimpulkan bahwa dewasa ini bisnis minyak bukan hanya berada dalam genggaman para kapitalis pemilik modal, bahkan sudah masuk dalam ranah politik, terutama bagi pemerintahan Amerika. Jika memang supply minyak tidak dapat mengimbangi demand, mestinya Amerika ikut bertanggung jawab dengan melepaskan cadangannya, bukan sebaliknya menuduh Arab Saudi. Akibat politik Amerika, bukan hanya rakyat kecil, bahkan pemerintahan di berbagai negara belahan dunia, yang menjadi korban karena harus memberikan subsidi minyak. Beberapa negara kini memberikan subsidi minyak kepada rakyatnya sehingga harga minyak di bawah harga rata-rata dunia. Beberapa negara yang memberikan subsidi harga BBM antara lain: Iran, Arab Saudi, Mesir, Burma, Malaysia, Kuwait, Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan, Trinidad, dan Tobago, Brunei, dan Nigeria. Pemberian subsidi minyak oleh berbagai negara dilatarbelakangi suatu keyakinan bahwa subsidi harga minyak dapat meningkatkan kegiatan ekonomi. Melalui subsidi minyak, biaya transportasi menjadi lebih murah, sehingga ongkos produksi semakin murah. Namun, ketergantungan pada subsidi minyak juga sangat membahayakan perekonomian. Ketika keuangan negara mengalami masalah karena tekanan defisit, terpaksa pemerintah mengambil kebijakan pembatasan konsumsi minyak bersubsidi, atau dengan kata lain mengurangi subsidi minyak.
Kebijakan pengurangan subsidi minyak akan berdampak pada tingkat inflasi, defisit anggaran, dan ketidakstabilan politik. Sebagai contoh, kebijakan menaikkan harga premium dari Rp 1.800 per liter menjadi Rp 2.400 per liter pada 2005 dan Oktober berikutnya premium naik lagi menjadi Rp 4.500/liter. Kebijakan menaikkan harga premium ini berdampak pada inflasi hingga mencapai 12,5 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi dari proyeksi 6 persen turun menjadi 4-5 persen. Belum lagi ongkos politik yang harus dibayar pemerintah akibat kebijakan ini. Jika kita bandingkan harga minyak eceran di
Kebijakan ke Depan
Sudah dapat dipastikan bahwa permintaan minyak ke depan akan meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dunia. Dalam 50 tahun terakhir saja jumlah penduduk dunia meningkat dua kali lipat. Tentu kalau menggunakan deret hitung, ke depan pertambahan jumlah penduduk dunia akan lebih pesat. Ini belum memperhitungkan kebutuhan minyak untuk industri yang juga terus meningkat. Seperti Tiongkok dan
Perlu diketahui bahwa menurut International Energy Agency (IEA) total biaya subsidi untuk energi fosil diperkirakan telah mencapai US 400 miliar per tahun dan USD 55 miliar di antaranya dikeluarkan oleh 37 negara berkembang. Sementara itu, subsidi untuk pengembangan energi nuklir diperkirakan mencapai USD 45 miliar per tahun, subsidi untuk pengembangan renewable energy (tidak termasuk hydroelectricity) mencapai USD 27 miliar per tahun, dan subsidi untuk pengembangan biofuels hanya mencapai USD 20 miliar per tahun. Subsidi untuk energi nuklir, renewable energy, dan biofuel memang jauh lebih mahal daripada subsidi untuk fossil fuels. Namun, dalam jangka panjang ketersediaan energi lebih terjamin, karena bahan
Makmun ,Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Sumber: Jawapos, Selasa, 06 Juli 2010
Comments :
Post a Comment