Menguji Kemandirian Muhammadiyah; Jelang Muktamar Muhammadiyah, Jogjakarta, 3-8 Juli 2010

Oleh Biyanto

MUKTAMAR satu abad Muhammadiyah segera dilaksanakan di kota kelahirannya, Jogjakarta. Yang agak berbeda pada muktamar kali ini adalah ketidakhadiran Presiden SBY secara langsung. SBY dipastikan tidak menghadiri muktamar karena melakukan kunjungan kenegaraan di Turki dan Kanada. Setelah menjalankan tugas kenegaraan itu, SBY langsung melaksanakan ibadah umrah. Sebagai gantinya, SBY akan membuka muktamar melalui sambungan telepon satelit dari Madinah. Ketidakhadiran SBY tersebut memunculkan sejumlah spekulasi. Sebagian warga persyarikatan menduga, itu pertanda SBY kecewa atas sikap kelewat kritis yang selama ini diperlihatkan elite Muhammadiyah. Bahkan, ada yang berpikiran lebih jauh bahwa SBY sudah tidak lagi menempatkan Muhammadiyah sebagai mitra dalam menyukseskan program pemerintahan. Spekulasi tersebut langsung dimentahkan Din Syamsuddin. Dia meyakini tidak ada niat SBY untuk meremehkan atau merendahkan Muhammadiyah. Karena itu, ketidakhadiran SBY secara fisik di Jogjakarta seharusnya disikapi positif oleh warga Muhammadiyah (Jawa Pos, 26/6).

Meski penjelasan telah dikemukakan, ketidakhadiran SBY tetap menyisakan pertanyaan dan kekecewaan sebagian warga Muhammadiyah. Kekecewaan tersebut dapat dipahami karena dalam sejarah perkembangannya, Muhammadiyah selalu memiliki kedekatan dengan pemerintah. Hal itu dapat dilihat dari keterlibatan kelompok profesional yang berlatar belakang Muhammadiyah dalam sejumlah jabatan penting pada pemerintahan. Permintaan Din Syamsuddin untuk tidak mempersoalkan ketidakhadiran SBY rasanya sudah tepat. Muhammadiyah harus tetap menatap masa depan dengan rasa optimistis sehingga dapat melahirkan amal sosial sesuai dengan karakter ideologinya yang berprinsip pada gerakan amal (a faith with action). Apalagi muktamar ke-46 akan menjadi momentum untuk mengantar Muhammadiyah memasuki abad kedua. Bahkan, Muhammadiyah juga harus mulai terbiasa melaksanakan acara resmi organisasi, meski tanpa dihadiri perwakilan pemerintah. Bukankah muktamar satu abad Muhammadiyah itu telah dirancang untuk mandiri?

Bahkan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah me-launching program Gerakan Infak Rp 2000 (GI 2000) untuk muktamar mandiri. Sasaran program GI 2000 adalah siswa, guru, karyawan, dan pimpinan amal usaha Muhammadiyah. Muhammadiyah juga mengajak simpatisan dan dermawan untuk beramal melalui gerakan tersebut. Melalui program GI 2000, Muhammadiyah berkomitmen untuk melaksanakan muktamar mandiri dengan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki. Meski banyak yang mempersepsi bahwa program GI 2000 diluncurkan sebagai konsekuensi sikap kritis Muhammadiyah pada berbagai kebijakan pemerintah. Sikap kritis itu bahkan dipahami sebagai bentuk kekecewaan Muhammadiyah karena tidak diakomodasi pemerintah dalam pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Terlepas dari adanya faktor sosial politik yang melatarbelakangi, rasanya niat Muhammadiyah untuk menjadi organisasi yang mandiri layak diapresiasi. Sebab, sudah menjadi tradisi di pimpinan ormas senantiasa meminta dukungan pemerintah. Dukungan itu terutama berupa bantuan pendanaan dan kehadiran saat ormas menyelenggarakan berbagai acara. Bahkan, ada kesan kurang percaya diri dari pimpinan dan anggota ormas ketika acara-acara resmi organisasi itu tidak dihadiri wakil pemerintah. Jika kultur bergantung pada pemerintah tersebut terus terjadi, kemandirian ormas jelas patut dipertanyakan. Sebab, ketergantungan ormas kepada pihak-pihak eksternal, termasuk pemerintah, dalam tingkat tertentu pasti mengurangi sikap independensinya. Apalagi jika ketergantungan itu berupa bantuan pendanaan untuk menggerakkan kegiatan organisasi.

Muhammadiyah sebagai salah satu pilar civil society diharapkan dapat memainkan peran penting di tengah kondisi sosial politik partai-partai besar yang telah mengambil posisi untuk berkoalisi dengan pemerintah. Padahal, dalam alam demokrasi yang sehat, jelas dipersyaratkan adanya kelompok oposisi sebagai penyeimbang pemerintah. Pada konteks itulah, sesungguhnya kita banyak berharap pada ormas dan pilar civil society lainnya di luar partai politik. Karena itu, kesempatan muktamar satu abad itu sesungguhnya dapat dijadikan momentum untuk meneguhkan semangat kemandirian Muhammadiyah. Inilah saat yang tepat bagi Muhammadiyah keluar dari beban psikologis yang telah dijalani bertahun-tahun. Selama ini, dalam tingkat tertentu, Muhammadiyah merasa ewuh pakewuh ketika harus mengkritisi kebijakan pemerintah. Salah satu sebab yang sangat mungkin terjadi adalah Muhammadiyah masih sering bergantung pada pemerintah. Dengan usia yang lebih tua dari negeri ini, Muhammadiyah berarti sudah berpengalaman dan teruji mengelola organisasi. Muhammadiyah tetap eksis dan tidak pernah mengubah jati diri gerakan. Jadi, kalau hanya untuk memenuhi keperluan menyukseskan program, sudah saatnya Muhammadiyah tidak lagi meminta belas kasihan pemerintah. Jika pemerintah memberikan fasilitas, itu harus dipahami sebagai timbal balik karena Muhammadiyah telah membantu tugas negara untuk turut mencerdaskan dan menyejahterahkan rakyat. Yang penting diingat, komitmen untuk mandiri tersebut tidak harus diekspresikan dengan membusungkan dada karena itu menunjukkan kesombongan. Muhammadiyah harus tetap bersinergi dengan pemerintah untuk terus berkarya, memberi, dan tanpa berharap kembali. Ibarat jarum jam, Muhammadiyah harus terus bergerak untuk melahirkan amal sosial yang bermanfaat bagi bangsa dan negara ini. Semoga muktamar satu abad ini dapat memberikan spirit bagi Muhammadiyah untuk menjadi organisasi yang mandiri.

*) Dr Biyanto MAg, dosen IAIN Sunan Ampel dan aktif di PW Muhammadiyah Jatim

Sumber: Jawapos,30-06-2010

Comments :

0 comments to “Menguji Kemandirian Muhammadiyah; Jelang Muktamar Muhammadiyah, Jogjakarta, 3-8 Juli 2010”

Post a Comment