Refleksi Hari Bhayangkara, 1 Juli 2910; Mengubah Performansi Polri

Oleh Hari Purwadi

Reformasi Polri pada aspek struktural, instrumental, dan kultural telah digerakkan untuk menjadikan polisi modern yang berlabel ''polisi sipil'' (civilian police). Itu berarti reformasi didinamisasi sehingga polisi berperan sebagai penegak hukum dan merespons secara profesional tuntutan-tuntutan yang berbeda dan bertentangan dengan berbagai segmen masyarakat. Kata kuncinya adalah hubungan antara polisi-masyarakat (police-community relation). Karena itu, polisi harus memperoleh kepercayaan dari masyarakat sehingga satu sama lain tidak mengambil jarak (reactions of distance), namun sebaliknya saling mendekat (reactions of closeness). Tanpa kedekatan, slogan Polri ''kami melayani dan melindungi'' tidak dapat diterima, sebaliknya dimaknai dan dicibir sebagai penghias bibir. Dalam konteks itu, upaya membangun kepercayaan (trust building) yang menjadi desain besar Polri lima tahun pertama dalam reformasi tidak dapat diklaim telah berhasil, bahkan memunculkan koreksi besar. Ketegangan dan konflik internal dan eksternal belakangan, yang dipertontonkan dalam kasus Susno Duadji dan kasus penyimpangan perilaku anggota Polri lainnya -mulai kasus Anggodo hingga ''mafia pajak'', dan paling mutakhir keberadaan rekening miliaran rupiah yang melibatkan beberapa petinggi Polri- memperburuk citra Polri dan menggugat kembali pembentukan kepercayaan publik sekaligus menggambarkan permasalahan dalam penataan internal Polri. Secara eksternal, konflik dan ketegangan polisi dengan masyarakat yang masih menggunakan cara-cara kesewenangan, kekerasan, dan represif juga menampilkan wajah polisi sebagai ''bala tentara okupasi'' (army-occupation).

Problem Performansi

Fakta-fakta itu menjelaskan bahwa masih ada problem performansi Polri. Polisi disadari dibutuhkan masyarakat, tetapi sekaligus performansinya melahirkan kebencian masyarakat yang secara teoretis disebut love-hate relationship. Performansi sebenarnya merupakan salah satu di antara improvisasi yang hendak dicapai dalam reformasi struktural, instrumental, dan kultural Polri. Perubahan lain yang berusaha diimprovisasi adalah potensi dan kompetensi. Potensi dan kompetensi yang meningkat tanpa disertai performansi yang baik membuat hubungan polisi-masyarakat tidak efektif. Performansi dimaksud sebagaimana ditegaskan dalam pasal 38 ayat (2) dan penjelasan UU 2/2002 tentang Polri terkait dengan kinerja kepolisian, khususnya ihwal penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminatif, dan penggunaan diskresi yang keliru. Reformasi untuk mengimprovisasi performansi Polri tidak sunyi dari resistansi internal Polri. Cohn dan Viano dalam suatu penelitian, antara lain, mengemukakan bahwa kepentingan-kepentingan tetap (vested interests) merupakan salah satu faktor resistansi. Kepentingan ekonomi dan prestise individu selama ini menempatkan polisi pada posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Hal itu menawarkan banyak kekuasaan dan pengaruh yang dapat menghasilkan uang dan kesempatan sehingga membuat kegamangan untuk mendorong perubahan. Kekuasaan dan kesempatan yang strategis itu pada gilirannya memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power); korupsi, kolusi, dan nepotisme; pelayanan yang buruk; perlakuan tidak adil dan keberpihakan; serta penggunaan diskresi yang berlebihan. Itu merupakan kejadian yang masih mendominasi kekhawatiran masyarakat ketika berhubungan dengan polisi.

Polisi Sipil yang Civility

Kekhawatiran masyarakat itu sekaligus mengeliminasi makna polisi sipil yang harus dapat ditandai dengan civility (kesipilan atau kesopanan) dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan masyarakat (civility must be met with civility). Perubahan dari polisi yang militeristis ke polisi sipil, seperti digambarkan oleh Reiss, kenyataannya polisi masih cenderung tidak dipuaskan dalam wajah sipil dengan kesopanannya. Sebaliknya, masyarakat menganggap warna kesopanan sebagai birokrasi terbaik dan oleh karena itu menonjolkan kerendahannya sebagai pelayan masyarakat, yang menuntut petugas menunjukkan keterlibatannya dalam masalah dan menawarkan perhatian individual. Dalam warna kesopanan, marga masyarakat dengan sendirinya akan memberikan atau menjamin legitimasi kekuasaan polisi serta menghargai intervensi hukum dalam hubungan-hubungan di antara warga masyarakat. Pada akhirnya, polisi bertanggung jawab atas kekuasaan sipilnya dan masyarakat merasa dilindungi dari kesewenang-wenangan. Permasalahan pada polisi juga menjadi kecil ketika masyarakat memberikan legitimasi atas intervensi polisi pada ihwal yang sebetulnya tidak ada hak hukum bagi polisi untuk masuk dan terlibat. Seperti di Inggris dan Skandinavia, hubungan antara masyarakat dan polisi justru dibangun lebih banyak berdasar kebiasaan (custom) daripada hukum (legality).

Kebiasaan-kebiasaan yang dapat menjadi dasar legitimasi pasti yang dapat memberikan jaminan ketenteraman masyarakat secara keseluruhan, baik berdasar pertimbangan rasional maupun moral. Pelayanan dan perlindungan di luar rasionalitas dan moral publik jelas melahirkan delegitimasi. Sebagai contoh ''kecil'', penangkapan di Klaten yang kemudian dilepas oleh Densus 88 terhadap dua anak yang salah satu di antara mereka masih ''di bawah umur'', secara rasional dan moral, dapat menjadi pemicu delegitimasi keberhasilan besar yang telah dicapai selama ini dalam pemberantasan terorisme. Meningkatkan performansi Polri akhirnya membutuhkan upaya yang meminimalisasi risistansi internal maupun eksternal atas reformasi Polri. Polri harus membuka diri. Itu berarti reformasi bukan proyek atau pekerjaan Polri sendiri, namun juga dioperasikan oleh kekuatan luar Polri. Alih-alih dioperasikan juga dari luar, ketika di tingkat petinggi Polri (top official of the system) masih terjadi konflik dan ketegangan, maka di tingkatan bawah (lower official of the system) Polri tidak banyak bisa diharapkan. Padahal, secara teoretis, perubahan yang lebih baik diperkenalkan melalui putusan kelompok daripada mengandalkan individu yang diharapkan sebagai pionir praktik yang tidak lazim diterapkan oleh kelompok. Oleh karena itu, keseriusan reformasi Polri masih harus dibuktikan terlebih dahulu melalui keterlibatan seluruh sistem Polri.

*) Dr Hari Purwadi SH MHum, dosen Fakultas Hukum UNS Solo dan ketua Lembaga Studi Kepolisian dan Masyarakat

Sumber:Jawapos,01-07-2010

Comments :

0 comments to “Refleksi Hari Bhayangkara, 1 Juli 2910; Mengubah Performansi Polri”

Post a Comment