Tanggal 3-8 Juli 2010, Muhammadiyah akan melaksanakan muktamar ke-46 di Yogyakarta. Perhelatan ini disebut Muktamar Satu Abad Muhammadiyah. Satu abad merupakan momen penting mengkaji ulang perjalanan dan perjuangan Muhammadiyah. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, di depan 200 tokoh agama di Roma (17/06/2009), mengisyaratkan perlunya keterlibatan agamawan untuk menyuarakan dampak pembangunan yang tidak manusiawi. Menurutnya, sejauh ini pembangunan yang dilakukan negara-negara maju dinilai lebih berorientasi pada keuntungan kelas sosial tertentu dan cenderung memarginalisasi yang lainnya. Dalam konteks nasional, pidato ini memiliki relevansi dengan kondisi pembangunan di
Secara umum, peran agamawan—terutama tokoh-tokoh Islam—dalam kehidupan sosial di
Melihat arus besar modernisasi yang melibatkan tokoh agama disimpulkan peran agamawan cenderung pada cultural struggle. Cultural struggle didefinisikan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai modernitas, seperti demokrasi, pluralisme, toleransi, HAM, dan kebebasan berekspresi. Dalam batas tertentu, sebagian besar agamawan abai menyikapi ketidakadilan sosial akibat modernisasi. Saya setuju dengan analisis Moeslim Abdurrahman, cendekiawan Muhammadiyah, bahwa reinterpretasi teks dan semangat pembaruan seharusnya dilandasi pembacaan kritis konteks sosial saat ini. Dalam refleksi tersebut, penafsir diajak merenungkan konteks sosial seperti apa yang sedang dihadapi. Tanpa mengidentifikasi konstruksi sosial di mana teks tersebut ingin dicari makna barunya, penafsiran ini akan kehilangan makna pembebasannya. Dengan begitu, tafsir teks yang responsif terhadap problem sosial yang krusial dapat ditemukan. Penggabungan hermeneutika sosial dan hermeneutika teks adalah prasyarat penting membangun tafsir yang peka terhadap dampak pembangunan.
Hermeneutika sosial
Sejauh ini tokoh-tokoh Muhammadiyah kurang dalam melakukan pembacaan konteks sosial. Ini menyebabkan organisasi Muhammadiyah kurang cekatan dalam memproduksi tafsir dan fatwa yang terkait dengan problem sosial semacam kemiskinan, penggusuran, dan pendidikan mahal. Alih-alih menghasilkan fatwa yang kritis terhadap dampak modernisasi dan kapitalisasi, Majelis Tarjih Muhammadiyah lebih berkutat dengan persoalan-persoalan ibadah dan TBC (takhayul, bidah, dan churafat). Tanggung jawab para agamawan terhadap kehidupan publik merupakan bagian penting keberagamaan dan kesalehan. Karena itu, kualitas keagamaan seseorang sepatutnya diukur dari sejauh mana kepeduliannya terhadap persoalan sosial di sekitarnya. Seorang Muslim yang tidak peduli dengan problem sosial di lingkungannya dinyatakan oleh Al Quran sebagai orang yang melalaikan salat, bahkan pendusta agama (lihat
M Hilaly Basya Pengajar Studi Islam di Universitas Muhammadiyah Jakarta
Sumber: Kompas, 30-06-2010
Comments :
Post a Comment