Rapor Biru Kredit Perbankan

Oleh Agus Suman

TABURAN kredit perbankan sampai pertengahan tahun ini mengabarkan berita positif. Bahkan, pada pekan-pekan akhir menjelang ujung semester I/2010, keran kredit menyembur cukup kencang. Sepanjang sepekan saja, kredit dengan mata uang rupiah berhasil digenjot hingga Rp 10,91 triliun. Memang, kredit dengan valas melorot hingga hanya Rp 2,09 triliun. Tapi, bila dihitung, total kucuran kredit perbankan hingga akhir semester I/2010 meningkat Rp 239,88 triliun bila disandingkan tahun lalu atau mencapai Rp 1.545,45 triliun. Ada pun secara year-to-date (YtD) atau mulai periode awal Januari hingga Juni 2010, pertumbuhan kredit perbankan tercatat mencapai Rp 115,25 triliun atau naik 8,06 persen. Bandingkan dengan tahun lalu. Sepanjang Januari-September 2009, kredit yang mengucur hanya Rp 46,2 triliun. Bahkan, posisi total kredit pada akhir kuartal III/2009 hanya sekitar Rp 1.353,9 triliun. Memang, kecemasan sempat menghadang pada awal warsa 2010 ini. Pada Januari tersebut, kredit perbankan sempat melorot menjadi Rp 1.405,64 triliun atau turun sekitar Rp 31,7 triliun dari akhir 2009 yang mencapai Rp1.437,93 triliun. Tapi, memasuki kuartal II/2010, pertumbuhan kredit mulai merangkak. Tercatat pada April 2010, total kredit yang sudah disalurkan bank mencapai Rp 1.446,9 triliun. Tentu, angka tersebut meningkat sekitar 1,17 persen jika dibanding posisi pada akhir 2009 tersebut.

Melihat performa kredit perbankan saat ini, pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang pemerintah pada kisaran 5,8 persen terasa ringan. Sebab, jika pertumbuhan kinerja kredit perbankan dipertahankan seperti saat ini, pencapaian pertumbuhan kredit 30 persen tahun ini menjadi kenyataan. Untuk pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah tersebut, pertumbuhan kredit hanya butuh membiak pada kisaran 17-20 persen. Tentu saja, laju kredit yang pesat itu dapat me-lena-kan jika kita tidak mencermati sektor-sektor yang dikucuri kredit baru tersebut. Seandainya kredit investasi, kredit modal kerja, maupun kredit konsumen disirami kredit secara merata, tentu kecemasan terhadap kibaran kredit tidak perlu ada. Tapi, fakta di lapangan, ternyata porsi kredit konsumsi yang disalurkan perbankan terus meningkat. Itu berbanding terbalik dengan porsi modal kerja yang terus menurun. Kondisi tersebut menjadi penegas dengan makin membesarnya kontribusi konsumsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa. Berdasar data, sektor konsumsi merupakan pasar kredit yang paling lahap dengan kucuran kredit yang mencapai Rp 483,36 triliun sejak Januari 2010 atau tumbuh sekitar 10,6 persen dari posisi tahun lalu Rp 436,99 triliun. Bila kita lihat sepuluh tahun yang lalu, porsi kredit komsumsi tidaklah terlalu mendominasi total kredit. Pada 2001, dana pinjaman untuk sektor itu hanya 14,76 persen dari akumulasi angka kredit perbankan nasional. Namun, pada 2009 yang porsinya cukup dahsyat, porsi konsumsi kini mencapai level 40 persen dari total kredit perbankan di Indonesia.

Nahasnya, efek timpangnya sektor yang digenangi kredit tersebut memang tidak dirasakan jangka pendek. Tapi, sektor perbankan yang menelantarkan sektor lain dalam pemberian kredit akan berdampak serius bagi perekonomian nasional pada masa depan. Bila dilacak lagi derasnya kucuran kredit perbankan pada kredit konsumtif yang jauh melebihi angka kredit yang dialirkan pada kredit produktif, tampak sekitar 29 persen diberikan langsung kepada nasabah perbankan. Bahkan, terdapat Rp 159,67 triliun yang merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha. Sebagian besar isinya merupakan kredit multifinance, koperasi simpan pinjam, dan institusi lain yang meneruskan pembiayaan konsumtif kepada nasabahnya. Memang, tidak dimungkiri, sektor konsumsi menjadi ''penyelamat'' pertumbuhan kita. Bahkan, selama lima tahun terakhir, sektor itu mendongkrak sumbangan terhadap PDB dari 68 persen menjadi 72 persen.

Pro-Sektor Perbankan

Dari rapor biru kredit perbankan pada semester ini, terasa bahwa ikrar pemerintah untuk memajukan sektor riil masih menjadi gaung. Bahkan, dengan BI rate yang masih di level 6,5 persen, tentu kredit murah masih belum dapat dihadirkan. Sebab, jika sektor riil yang diharapkan maju pesat karena mempunyai efek berganda terhadap kondisi ekonomi, bunga yang rendah adalah harga mati. Tentu, tanpa penurunan tingkat suku bunga, sampai kapan pun pelaku sektor riil akan sulit mendapatkan pinjaman modal usaha dengan nominal yang mereka butuhkan. Hal itu menjadi salah satu biang keladi ketimpangan pada proporsi kredit karena minimnya permintaan kredit dari sektor riil. Minimnya permintaan kredit dari sektor riil itu pula yang memotivasi sektor perbankan menjadi lebih agresif dalam menawarkan aneka kredit konsumsi kepada masyarakat, khususnya yang menengah ke atas. Pada akhirnya, sektor perbankanlah yang menikmati keuntungan dari rapor biru itu. Terbukti, dari tahun ke tahun, lumbung-lumbung labanya terus membubung. Kondisi yang cukup nyaman akhirnya membuat sektor perbankan semakin malas menawarkan kredit modal kerja kepada pelaku sektor riil.

Jika ditelaah lebih lanjut, margin keuntungan kredit konsumsi memang sangat menggiurkan. Mengingat, bunganya saja mencapai level 16 persen, sedangkan bunga kredit modal kerja dan investasi hanya berkisar 13-14 persen. Karena itu, rapor biru kredit perbankan ini tidak hanya berhenti dirayakan pada fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi semata yang semakin baik. Tapi, terjadinya ketimpangan sektor-sektor yang menerima kucuran pinjaman juga menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Jika meriahnya kredit perbankan semata yang dituju, tentu investor asing yang giat berinvestasi pada perbankan nasional akan semakin tidak terbendung. Sebab, fokus usaha bank-bank asing tersebut tidak ada lain adalah mengucurkan kredit konsumtif yang sangat menggiurkan bagi mereka. Tentu, kinerja perbankan lewat penyaluran kredit pada semester I/2010 ini harus kita apresiasi dan tentu tidak ada maksud untuk mengerem keuntungan perbankan yang didapat dari bisnis keuangan tersebut. Sebab, memang salah satu sumber pendapatan bank adalah melalui pendapatan bunga kredit yang diberikan. Hanya, kita berharap rapor biru yang dihadirkan pada semester ini nanti lebih berkualitas. Sektor riil yang kondisinya masih belum kukuh juga bisa turut menikmatinya.

*). Agus Suman, guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya

Sumber: Jawapos, Jum'at, 09 Juli 2010

Comments :

0 comments to “Rapor Biru Kredit Perbankan”

Post a Comment