Sisi Moral dalam Adu Penalti

Oleh AZYUMARDI AZRA

”Penalty shoot-outs are more of a lottery—a matter of who gets lucky on the d ay —than a regular game.”

(Robert Northcott, 2010)

Apa lagi yang mau kita bilang ketika tim Jepang, ”Samurai Biru”, yang merupakan satu dari dua wakil Asia dalam 16 besar Piala Dunia 2010, akhirnya kalah lewat adu penalti 3-5 dari Paraguay. Padahal, Jepang bermain sangat luar biasa. Meminjam kerangka Northcott dalam ”Bad Luck or the Ref’s Fault? ” (2010), tersingkirnya Jepang ibarat kalah lotre, tidak mendapat keberuntungan pada hari tersebut. Jadi, namanya juga lotre, pertandingan menjadi ”tidak biasa”. Kekalahan akibat adu penalti setelah pertandingan berakhir imbang dalam 90 menit, plus perpanjangan waktu 2 x 15 menit, boleh jadi bakal terulang dalam partai-partai berikutnya sampai tim juara Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan ditentukan pada laga final 12 Juli nanti. Hal ini bukan tidak mungkin karena dalam pertandingan yang kian menentukan, semua tim bermain kian hati-hati dan bertahan habis-habisan yang dianggap lebih sedikit risikonya. Selain itu, dalam sejarah Piala Dunia, adu penalti bukan tidak ada presedennya; bahkan cukup sering terjadi. Pada perdelapan final Piala Dunia 2006, Jerman mengalahkan Argentina 4-2 lewat adu penalti setelah imbang 1-1, dan Portugal melibas Inggris 3-1 setelah skor kacamata 0-0, dan bahkan pada final Italia juara lewat adu penalti dengan memukul Perancis 5-3, setelah skor 1-1. Drama adu penalti di Piala Dunia lebih awal bisa dilacak menyusul skor imbang sampai akhir waktu normal dan perpanjangan waktu. Ini terjadi pada semifinal 1982 antara Jerman Barat dan Perancis, 5-4; semifinal 1990 antara Argentina dan Italia, 4-3, Jerman Barat-Inggris, 4-3; final 1994 antara Brasil dan Italia, 3-2; semifinal 1998 antara Brasil dan Belanda, 4-2; dan perdelapan final 2002 antara Korea Selatan dan Spanyol, 5-3.

Wacana moral

Jika pertandingan setingkat Piala Dunia harus berakhir dengan drama adu penalti seperti lotre, wajar kalau kita melihatnya dari sisi moral. Hal ini penting karena sepak bola bukan hanya ”permainan”, tetapi juga menyangkut nilai, pandangan dunia (world view), etos kerja, dan moral.

Hal ini tak luput dari pembahasan akademisi yang juga pengamat dan penggemar sepak bola, yang kemudian mengkajinya, semacam John Foster, Tell me How You Play and I’ll Tell You Who You Are (2010); Victor Dura-Vila, Why Playing Beautifully is Morally Better (2010); Stephen Minister, What’s Wrong with Negative Soccer (2010); dan Andre Krnac, Kierkegaard at the Penalty Spot’ (2010). Memang secara filosofis terasa tidak fair jika pertandingan yang berlangsung dengan seru selama 120 menit, yang melibatkan perjuangan tidak kenal lelah dari setiap pemain, akhirnya diputuskan lewat adu penalti. Menjadi pertanyaan, apakah secara moral bisa dibenarkan (morally accepted) jika laga yang telah susah payah diperjuangkan kedua belah tim akhirnya hanya melibatkan dua orang; kiper dan eksekutor tendangan penalti. Dalam segi-segi tertentu terasa juga tak adil—yang secara moral tidak bisa dibenarkan—jika ”beban” mencapai kemenangan diletakkan hanya di pundak kiper dan para penendang. Bahkan juga tak fair satu kiper harus menghadapi lima penendang pertama dan ditambah penendang selanjutnya sampai terjadi selisih gol. Karena beban demikian berat, tidak heran jika kita menyaksikan kiper yang sangat nervous dan sebaliknya penendang yang sangat grogi menendang penalti. Akibatnya, kiper paling tangguh sekalipun bisa blunder saat mencegah gol. Atau sebaliknya, penendang paling mahir sekalipun bisa gagal menceploskan gol. Pada tahap ini, kiper atau penendang tertentu secara instan bisa menjadi ”pahlawan” atau sebaliknya ”pengkhianat”. Mereka bisa menjadi ”musuh masyarakat” nomor satu (number one public enemy) di negaranya. Bukan tidak pernah terjadi jika mereka menjadi incaran target pembunuhan, karena sang kiper atau penendang yang gagal dipandang bertanggung jawab atas kekalahan timnya atau bahkan negaranya. Lagi-lagi di sini terlihat masalah moral sangat mendasar.

Dilematis

Jelas terdapat dilema moral dalam adu penalti. Karena itu, pernah pula dilakukan eksperimen yang tidak kurang dilematisnya. Pada Piala Dunia 1998 dan 2002, misalnya, FIFA memberlakukan gol sudden death (”kematian mendadak”) atau sering juga disebut sebagai golden goal (gol emas) dalam perpanjangan waktu. Format yang diadopsi dari American Football ini bahkan mungkin lebih tidak fair, untuk menyebutnya lebih dramatis atau lebih sadis. Contoh klasik gol sudden death yang patut dikenang adalah pada Piala Dunia 1998 di Perancis ketika tuan rumah berhadapan dengan Paraguay dalam putaran kedua. Dalam perpanjangan waktu, ketika skor masih 0-0, pada menit ke-113 pemain Perancis, Laurent Blanc, berhasil menjebol gawang Paraguay. Pertandingan tidak lagi dilanjutkan sehingga tak ada lagi kesempatan bagi Paraguay walau sampai 120 menit saja, sesuai akhir perpanjangan waktu kedua.

Hasil ini membawa Perancis ke babak berikutnya dan akhirnya menjadi juara dunia mengalahkan Brasil di final dengan skor 3-0. Dalam Piala Dunia 1998 dan 2002, terjadi empat gol sudden death dalam sembilan pertandingan yang harus berakhir melalui perpanjangan waktu. Kian konservatif. Format golden goal tidak lagi diterapkan FIFA dalam Piala Dunia 2006; dan kembali pada format 2x45+2x15+adu penalti seperti yang juga berlaku dalam Piala Dunia 2010. Pertimbangannya, antara lain, format sudden death membuat kedua tim kian konservatif dan menerapkan total catenaccio—bertahan total, yang sering disebut sebagai negative soccer.

Lagi pula, dengan kembali kepada format perpanjangan waktu plus adu penalti, masih ada waktu bagi tim yang kemasukan gol dalam perpanjangan waktu untuk membalas. Jika seri kembali, barulah adu penalti. Saya tidak tahu persis apakah FIFA pernah memikirkan format lain sebagai alternatif adu penalti dan gol sudden death. Namun, hemat saya format yang, misalnya, dipakai dalam Piala FA di Inggris agaknya bisa dipertimbangkan. Dalam format Piala FA, jika terjadi seri, selanjutnya adalah pertandingan ulang (replay), yang dalam konteks Piala Dunia mungkin bisa dilakukan dalam waktu 1 atau 2 x 24 jam. Ini berarti, FIFA dan tuan rumah penyelenggara mesti menyediakan ”hari cadangan” untuk pertandingan ulang. Jika dalam pertandingan ulang plus perpanjangan waktu kedudukan masih seri juga, apa boleh buat, adu penalti agaknya lebih bisa diterima. Namun, boleh jadi ini sangat ribet bagi FIFA dan penyelenggara. Akhirnya, kita terpaksa menerima adu penalti apa adanya, terlepas dari perbincangan tentang soal moral tadi, dan siap-siap lemas ketika tim favoritnya tersingkir dalam drama adu penalti.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta; Penggemar Sepak Bola

Sumber: Kompas, Selasa, 6 Juli 2010

Comments :

0 comments to “Sisi Moral dalam Adu Penalti”

Post a Comment