Dari Sujud, Lahirlah Negarawan; Refleksi Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW

Oleh Bashori Muchsin

"NEGARA ini butuh banyak negarawan. Sebab, di negara ini banyak problem yang membutuhkan penyelesaian, yang ketika dicoba diselesaikan muncullah penyakit perilaku gaya baru. Itu terjadi karena masih bersemainya elite strategis yang mengisi dan membingkai piramida kekuasaan, yang mengidap krisis kebertuhanan (Imam KH, Agama Langit, Agama HAM, 2006)." Pernyataan itu menunjukkan bahwa negeri ini masih "dibanjiri" banyak problem berat yang mengakibatkan keberlanjutan hidup rakyat di ujung sekarat. Kondisi itu hanya bisa dientas negarawan, sosok manusia langka yang sulit ditemukan. Tampaknya, rakyat mudah menemukan sosok istimewa itu. Namun, setelah perjalanan gaya kepemimpinannya diikuti, dia tak pantas jadi negarawan, bahkan lebih tepat menyandang stigma pecundang dan "pembangkang" amanat kerakyatan. Seseorang memang bisa menjadi penguasa, pemimpin di level nasional, atau merebut kekuasaan. Tetapi, dia belum tentu mampu merebut identitas negarawan, menjadi nasionalis, sosok pemimpin yang hatinya gampang terbakar dan berkobar memikirkan nasib rakyat. Yang sering kita temukan, seseorang yang berkuasa hanya asal bisa berkuasa atau menguasai. Seseorang yang hanya bisa berkuasa berarti tergelincir pada penahbisan kekuasan, bukan penahbisan kewajiban yang harus dia tunaikan.

Dalam buku masterpiece berjudul Republic, Plato berpesan, "Penguasa diama­natkan oleh Tuhan, pertama-tama dan terutama, agar menjadi penjaga yang baik (good guardians) sebaik terhadap anak sendiri." Pesan itu sangat sarat muatan moral-edukatif atau dimensi etika dan pendidikan. Pesan sang filsuf ditujukan kepada para pemimpin yang menduduki posisi jabatan strategis, yang dikenal dengan elitisme kekuasaan, supaya saat jadi pemimpin atau pejabat. Mereka ingat dan giat menegakkan amanat. Amanat tersebut harus dijaga dengan segenap jiwa raga atau pertaruhan apa saja. Negarawan memang tidak harus menjadi penguasa. Tetapi, penguasa harus menjadi negarawan. Roda kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan berjalan normal dan mencapai hal yang diobsesikan jika masyarakat dan negara ini mempunyai penguasa yang juga negarawan. Penguasa seperti itu adalah cerminan sosok yang pikiran dan perbuatannya difokuskan pada pengabdian terhadap kehidupan masyarakat dan negara. Jika dia terpanggil, tugas negara yang ditunaikan adalah cerminan bahasa kepentingan masyarakat.

Salah satu ajaran Islam yang terbilang fundamental dan dapat dijadikan sebagai kekuatan moral untuk mencip­takan pencerahan reformasi kehidupan manusia adalah kewajiban menunaikan salat. Kewajiban itu bisa diorientasikan untuk meluruskan perjalanan reformasi yang masih ternodai berbagai bentuk penyakit kronis. Salah satunya adalah masalah KKN yang hingga kini membelit bangsa. Melalui sujud (penyerahan diri secara total), manusia yang sudah atau sedang terjerumus sebagai "pengeropos" bangsa itu disembuhkan, dijernihkan. Kalau rohaninya bisa sembuh, berbagai bentuk penyakit yang marak di masyarakat niscaya tidak sulit disembuhkan. Setidaknya, kecenderungan menodai diri bisa dia cegah. Salat tergolong kewajiban istimewa. Sebab, salat diturunkan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Isra Mikraj. Begitu pentingnya, ajaran salat dapat dibaca dalam isyarat berikut. "Salat (sujud) dapat mencegah kekejian dan kemungkaran serta merupakan tiang agama. Karena itu, yang meninggalkan salat berarti menghancurkan agama." Artinya, sujud (dalam salat) merupakan kekuatan moral stategis untuk menyucikan dan mencerahkan perjalanan reformasi yang kini dikotori. Jika perjalanan Republik Indonesia hingga kini masih sarat akan praktik-praktik pembangkangan, politisasi agenda reformasi, dan budaya pembusukan nilai (values decay), itu mengindikasikan pengua­sa-penguasa bangsa ini belum salat secara benar. Kalaupun sudah menjalankan, salat tersebut tidak lebih dari perhiasan diri yang bersifat kultural serta menjadi formalisme spiritual yang belum menyentuh dan mencerahkan.

Kesakralan ajaran salat memberikan tekanan esoteris-humanistis. Salat adalah kewajiban yang dapat mengur­ai problem kehidupan manusia dalam berbangsa dan berne­gara. Setiap manusia yang menjalankan salat diantarkan untuk bisa memahami dan melaksanakan tugas-tugas besarnya di muka bumi, seperti memakmurkan dan menjaga bumi dari berbagai perilaku yang bermodus merusak dan menghancurkan. Ada aspek edukasi spiritualitas dan sosialitas dalam salat, terutama yang bertema amanat. Komunitas muslim diberi didikan moral ketuhanan melalui salat, khususnya elite penguasanya, tentang cara menjadi pemimpin yang negarawan, tidak semata mementingkan ambisi diri, kroni, dan golongan. Melainkan, cara menempatkan Tuhan dalam kinerjanya. Pemimpin yang negarawan dapat diniscayakan lahir dan terus tumbuh subur dari bumi pertiwi (Indonesia) bila konstruksi relasional dengan Sang Maha Pencipta tetap lestari dijaga dan ditegakkan. Adapun kekuatan spiritualitas yang bisa diharapkan adalah menunaikan salat dengan sebenar-benarnya: menghadirkan Allah SWT dalam diri dan menjadikan cahaya-Nya untuk mencerahkan batin yang masih berselimut kabut noda atau sarat akan berbagai bentuk penyakit. Krisis spiritualitas, kelabilan psikologis, atau kehampaan (kekosongan) batin manusia sudah seharusnya disembuhkan dengan kembali kepada Tuhan. Keterasingan disebabkan ulah manusia yang mengalienasikan diri dari bangunan relasi vertikal dengan-Nya. Sementara itu, salat adalah jalan yang tepat untuk kembalinya manusia dari keterasingan menuju kedekatan dan keharmonisan dengan-Nya. Semakin dekat dia dengan Tuhan, otomatis semakin besar rasa tanggung jawabnya terhadap implementasi kewajiban publik yang sudah digariskan-Nya. Kedekatan dengan Tuhan adalah jalan utama untuk menjadi pemimpin yang selalu mengemas diri sebagai pelayan masyarakat. Carilah aku di antara orang-orang yang hancur hatinya adalah jawaban Nabi Muhammad tentang pembumian pelayanan publik terbaik saat ditanya sahabat-sahabatnya.

*) Prof Dr Bashori Muchsin MSi , guru besar dan pembantu rektor II Universitas Islam Malang

Sumber: Jawapos, Sabtu, 10 Juli 2010

Comments :

0 comments to “Dari Sujud, Lahirlah Negarawan; Refleksi Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW”

Post a Comment