Merajut Kemajemukan

Oleh: Sukidi

Pada pembukaan kolom ”45 tahun Kompas: Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia”, Jakob Oetama menyadarkan kita tentang fakta kemajemukan sebagai ”realitas yang harus diterima”, dan karena itu ”perlu disyukuri” (Kompas, 28/6/2010). Ini pesan yang arif dan bersifat perenial, tetapi sering kali kita lupakan, abaikan, dan bahkan cederai. Karena itu, pesan ini diingatkan kembali agar kita sadar bahwa kemajemukan adalah modal sosial kita untuk bertahan dan maju. Secara teologis, kemajemukan adalah anugerah yang diberikan Tuhan yang tidak mungkin dapat kita ubah. Tuhan menciptakan kita majemuk dari segi apa pun, terutama agar kita saling mengenal satu sama lain. Kemajemukan hanya dapat dirajut kembali jika kita, sebagai warga negara, berkenan mengenal satu sama lain dengan sikap hati serta pikiran positif dan terbuka. Positif karena kita menganut paham bahwa sifat dasar manusia adalah baik. Kita mengenal orang lain pertama-tama dengan pikiran positif dan, konsekuensinya, bersikap terbuka terhadap perbedaan-perbedaan yang mungkin timbul dari perkenalan itu. Sebaliknya, kemajemukan tak mungkin dapat dirajut jika kita terbiasa dengan pikiran serta sikap hati negatif dan tertutup. Padahal, pikiran negatif dan tertutup menjadi hambatan dan penyakit sosial dalam merajut masyarakat majemuk yang sehat.

Modal awal

Setelah fase perkenalan satu dengan yang lain, kemajemukan juga mensyaratkan kita untuk bersikap toleran, terutama toleran dalam menyikapi kemajemukan. Toleransi menjadi modal awal agar kita setidaknya terbebas dari sikap intoleran terhadap yang lain, terutama yang berbeda agama, suku, etnisitas, ataupun diferensiasi sosial lainnya. Spirit toleransi ini sengaja ditegaskan kembali karena kita masih rentan bersikap intoleran terhadap yang lain, terutama terefleksikan pada gejala persekusi terhadap kelompok agama dan etnisitas yang berbeda. Karena itu, toleransi menjadi penting sebagai modal awal agar kita terbebas dari intoleransi. Toleransi tidak pernah mengajarkan kita berdiri setara karena konsep ini lahir dari struktur sosial yang timpang di mana yang satu—biasanya mayoritas—dituntut untuk sekadar bersikap toleran kepada ”yang lain”, biasanya minoritas yang mengalami persekusi sosial, agama, dan politik. Pengalaman Amerika dan Eropa sejak abad ke-16 menjadi bukti bahwa toleransi ditekankan agar masyarakat dapat terbebas dari intoleransi dan persekusi—sisi gelap dari sejarah Barat di masa silam. Karena itu, kemajemukan mensyaratkan kita melangkah lebih jauh dari sekadar toleransi, ke arah peneguhan komitmen dasar kita bahwa bangsa Indonesia memang majemuk. Saat para Bapak Pendiri Bangsa kita memilih moto ”Bhinneka Tunggal Ika”, mereka tentu sadar bahwa bangsa kita memang sangatlah majemuk dari segi apa pun, bahwa disintegrasi menjadi tantangan utama di tengah kemajemukan itu dan bahwa persatuan di tengah kemajemukan menjadi cita-cita ideal bersama. Untuk itu, seperti saran Jakob Oetama, ”kemajemukan perlu disyukuri” antara lain dengan cara melibatkan diri kita secara aktif dan konstruktif dalam kehidupan bangsa. Inilah makna dan tahapan ideal yang dituju dari spirit kemajemukan.

Makna kemajemukan

Saat ini, perlu disadarkan kembali makna kemajemukan sebagai proyek bersama yang hanya terwujud jika setiap warga negara terpanggil bersama-sama aktif dan konstruktif dalam memajukan kehidupan bangsa. Tanpa keterlibatan aktif dan konstruktif setiap warga negara, sendi-sendi kemajemukan kita pasti segera pudar dan runtuh terutama karena kemajemukan bukanlah semata-mata sebagai sesuatu yang terberikan, tetapi sesuatu yang harus dirajut dan dirawat terus dengan nilai-nilai dan kebiasaan moral yang baik. Kita dapat bertahan selama ini sebagai bangsa Indonesia yang ber-”bhinneka tunggal ika” bukan karena kita homogen, tetapi murni karena kita sadar akan kemajemukan, memandang kemajemukan itu dengan pikiran positif dan terbuka, dan merajutnya kembali secara aktif dan konstruktif sebagai modal sosial membangun bangsa yang lebih adil, terbuka, dan demokratis.

Sukidi Kandidat PhD di Universitas Harvard, Cambridge, MA, AS

Sumber: Kompas, Rabu, 7 Juli 2010

Comments :

0 comments to “Merajut Kemajemukan”

Post a Comment