Pada pembukaan kolom ”45 tahun Kompas: Merajut Nusantara, Menghadirkan
Modal awal
Setelah fase perkenalan satu dengan yang lain, kemajemukan juga mensyaratkan kita untuk bersikap toleran, terutama toleran dalam menyikapi kemajemukan. Toleransi menjadi modal awal agar kita setidaknya terbebas dari sikap intoleran terhadap yang lain, terutama yang berbeda agama, suku, etnisitas, ataupun diferensiasi sosial lainnya. Spirit toleransi ini sengaja ditegaskan kembali karena kita masih rentan bersikap intoleran terhadap yang lain, terutama terefleksikan pada gejala persekusi terhadap kelompok agama dan etnisitas yang berbeda. Karena itu, toleransi menjadi penting sebagai modal awal agar kita terbebas dari intoleransi. Toleransi tidak pernah mengajarkan kita berdiri setara karena konsep ini lahir dari struktur sosial yang timpang di mana yang satu—biasanya mayoritas—dituntut untuk sekadar bersikap toleran kepada ”yang lain”, biasanya minoritas yang mengalami persekusi sosial, agama, dan politik. Pengalaman Amerika dan Eropa sejak abad ke-16 menjadi bukti bahwa toleransi ditekankan agar masyarakat dapat terbebas dari intoleransi dan persekusi—sisi gelap dari sejarah Barat di masa silam. Karena itu, kemajemukan mensyaratkan kita melangkah lebih jauh dari sekadar toleransi, ke arah peneguhan komitmen dasar kita bahwa bangsa
Makna kemajemukan
Saat ini, perlu disadarkan kembali makna kemajemukan sebagai proyek bersama yang hanya terwujud jika setiap warga negara terpanggil bersama-sama aktif dan konstruktif dalam memajukan kehidupan bangsa. Tanpa keterlibatan aktif dan konstruktif setiap warga negara, sendi-sendi kemajemukan kita pasti segera pudar dan runtuh terutama karena kemajemukan bukanlah semata-mata sebagai sesuatu yang terberikan, tetapi sesuatu yang harus dirajut dan dirawat terus dengan nilai-nilai dan kebiasaan moral yang baik. Kita dapat bertahan selama ini sebagai bangsa Indonesia yang ber-”bhinneka tunggal ika” bukan karena kita homogen, tetapi murni karena kita sadar akan kemajemukan, memandang kemajemukan itu dengan pikiran positif dan terbuka, dan merajutnya kembali secara aktif dan konstruktif sebagai modal sosial membangun bangsa yang lebih adil, terbuka, dan demokratis.
Sukidi Kandidat PhD di Universitas Harvard, Cambridge, MA, AS
Sumber: Kompas, Rabu, 7 Juli 2010
Comments :
Post a Comment