Harapan dari G-20

Oleh Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo

Konferensi Tingkat Tinggi dari 20 perekonomian terbesar di dunia yang diselenggarakan di Toronto, Kanada, hari-hari ini, merupakan sebuah peristiwa yang menarik. Daya tarik utama KTT ini adalah karena perkembangan perekonomian dunia saat ini sedang mengalami gejolak besar, terutama di Eropa, setelah sebelumnya gravitasi krisis terjadi di Benua Amerika. Dalam pertemuan kali ini, kita melihat dilema yang dihadapi negara-negara Eropa dan AS yang secara umum mengalami defisit besar pada perekonomian mereka. Di satu pihak, terdapat keinginan besar dari negara-negara tersebut ataupun perekonomian global pada umumnya, untuk terjadinya pertumbuhan ekonomi lebih lanjut agar bisa mengentaskan dunia dari resesi. Di lain pihak, stimulasi ekonomi menggunakan instrumen fiskal yang selama ini dilakukan pada akhirnya berujung pada keterbatasan baru, yaitu tingkat utang negara- negara tersebut, yang akhirnya melampaui batas bagi terselenggaranya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Itulah sebabnya, pesan yang disampaikan negara-negara G-20 menjadi lebih rumit dari biasanya, yaitu bagaimana bisa menciptakan pertumbuhan berkualitas, tetapi pada saat yang sama tetap menjaga keberlanjutan viabilitas keuangan negara. Itulah sebabnya muncul istilah baru ”growth friendly fiscal consolidation” yang ditujukan bagi negara-negara yang mengalami defisit. Yaitu, suatu upaya konsolidasi keuangan negara, tetapi pada saat yang sama tetap mampu memberikan pertumbuhan pada perekonomian. Untuk itu, negara- negara tersebut diharapkan mampu mendorong peningkatan tingkat tabungan mereka sehingga kecenderungan terjadinya defisit tersebut dapat dikurangi.

Bagi negara-negara yang mengalami surplus, muncul seruan bagi didorongnya perekonomian domestik yang lebih besar untuk mengurangi ketergantungan pada permintaan luar negeri. Dengan mendorong perekonomian domestik, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi akan dapat ditingkatkan, tetapi pertumbuhan ini tidaklah berasal dari peningkatan ekspor mereka. Ini berarti pertumbuhan ekonomi tercapai tanpa harus menghasilkan surplus yang terlalu besar. Pada hakikatnya, pesan ini adalah untuk dapat dilakukannya penyeimbangan kembali sumber pertumbuhan ekonomi negara- negara tersebut (rebalancing of growth). Dalam kaitan ini, upaya Pemerintah China untuk meningkatkan fleksibilitas mata uang yuan disambut gembira banyak kalangan karena ini diharapkan akan membawa perekonomian China pada jalur pertumbuhan yang lebih seimbang. Agenda lain KTT G-20 adalah penguatan lembaga keuangan dan perbankan terutama dari sisi pengaturannya, efektivitas pengawasannya, penanganan lembaga keuangan yang bersifat sistemik, dan pengawasan oleh lembaga keuangan internasional ataupun negara mitra (peer review). Sementara, penguatan lembaga keuangan internasional, baik IMF maupun lembaga keuangan multilateral lain (Bank Dunia, ADB, dan sebagainya) terus dilakukan terutama dalam meningkatkan kemampuan bantuan mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan penguatan modal lembaga-lembaga tersebut, yang sebagian sudah dilakukan, sehingga kemampuan pemberian bantuan mereka bisa dilipatgandakan. G-20 juga memberikan penegasan untuk tetap menjaga tingkat keterbukaan perekonomian negara anggota sehingga dapat menjauhkan diri dari berbagai bentuk proteksionisme sebagaimana yang terjadi setiap kali perekonomian dunia mengalami resesi. Dengan tekad ini, langkah yang bersifat kontra produktif tersebut dapat dihindarkan.

Pemadam kebakaran

Meskipun kita melihat komprehensifnya agenda yang dibicarakan dalam G-20, pada akhirnya langkah tersebut hanya memiliki sifat yang bersifat jangka pendek, yaitu sebagai upaya dalam ”memadamkan kebakaran” yang terjadi dalam perekonomian global. Dalam jangka menengah ataupun panjang, negara-negara G-20 pada akhirnya akan menyadari terjadinya pergeseran besar yang terjadi dalam peta perekonomian global yang pada akhirnya akan memengaruhi tingkah laku para pelaku ekonomi dalam perubahan yang bersifat masif tersebut. Tahun 2010 ini, banyak diperkirakan bahwa perekonomian China akan melampaui Jepang sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia. Perekonomian China diperkirakan akan menjadi yang terkuat di dunia dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama lagi. Pada tahun 2002, Goldman Sach memperkirakan China akan menjadi perekonomian terbesar di dunia pada 2035. Prediksi tersebut kemudian direvisi pada 2007 dengan memperkirakan pergeseran akan terjadi pada tahun 2027, delapan tahun lebih cepat dari perkiraan semula. Saya menduga, perkiraan tersebut pun harus direvisi lagi sehingga sangat mungkin China akan jadi kekuatan perekonomian terbesar lebih cepat dari perkiraan terakhir Goldman Sach.

Sementara itu, India juga memiliki kapasitas untuk berkembang lebih cepat dari prediksi sebelumnya. Lama mengalami pertumbuhan lambat yang sering diledek sebagai ”Hindu Growth”, pertumbuhan ekonomi negara tersebut beberapa tahun terakhir berlangsung fenomenal. Dengan penduduk yang secara rata-rata memiliki usia cukup muda, potensi India untuk tumbuh lebih cepat rasanya cukup besar. Dalam pergeseran perekonomian global itulah Indonesia beruntung berada pada kawasan yang dewasa ini menjadi gravitasi perekonomian global. Demografi dan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia pada akhirnya memungkinkan negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup imbang (balanced) sehingga pada akhirnya bahkan menjadi acuan banyak pihak yang mengalami ekses baik surplus ataupun defisit. Saya percaya, keberuntungan yang kita miliki tersebut menjadi modal yang sangat kuat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi pada tahun-tahun mendatang yang oleh Chaerul Tanjung dikatakan sebagai tahun keemasan bagi Indonesia. Pendapatan per kapita sekitar 3.000 dollar AS akan dicapai Indonesia pada tahun ini yang akan memunculkan gelombang pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia.

Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo Pemerhati Ekonomi

Sumber: kompas,29-06-2010

Comments :

0 comments to “Harapan dari G-20”

Post a Comment